--> Skip to main content

MEDIA DAN BUDAYA MASSA

Adalah Allan O ‘Connor salah satu pengkaji budaya, saat menyoroti topic ‘popular culture’ menjelaskan bahwa istilah budaya massa atau budaya pop ini mengacu pada ‘proses budaya yang berlangsung di antara masyarakat umumnya. Allan dalam bukunya “ Culture and Communication” (dalam John Downing,1991:29) melihat bahwa budaya massa tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari , sebelum ia menjadi bagian dari masyarakat pasti ada kelompok atau bagian masyarakat yang merancang atau memproduksinya.

Bagaimana produk budaya itu sampai ke masyarakat dan produk yang ‘sebagaimana’ itu yang disampaikan kepada masyarakat membutuhkan media atau agen yang menyampaikannya. Budaya dalam kamus besar bahasa Indonesia mencakup pikiran; akal budi. Akal budi dan pikiran sejatinya karya atau ciptaan manusia yang bermasyarakat, sehingga terbentuk peradaban. Dengan demikian, budaya erat kaitannya dengan masyarakat dan adat istiadat dari generasi ke generasi.

Budaya tidak hanya kesenian atau hal-hal yang berkaitan dengan intelektual, namun mencakup seluruh pola kehidupan tatanan masyarakat. Contohnya, cara berbicara, cara makan, atau kebiasaan berpikir dan lainnya. Di Indonesia sendiri, budaya yang terbentuk akhirnya menjadi ciri budaya nasional yang mengakar dari generasi ke generasi. Budaya lokal yang kita kenal sarat dengan nilai-nilai adab dan kesopanan, religius, dan nuansa mistik.

Menurut kamus Wikipedia, kebudayaan Indonesia didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang ada sebelum terbentuk bangsa Indonesia tahun 1945. Seluruh kebudayaan lokal berasal dari aneka ragam budaya suku-suku di Indonesia sebagai bagian terpadu kebudayaan Indonesia. Derasnya arus globalisasi telah mengubah cara masyarakat kita dalam berbudaya. Perlahan tetapi pasti, budaya lokal mulai tergerus oleh budaya luar yang meng-hegemoni. 

Budaya negara-negara barat yang menganut paham kapitalisme itu tidak saja mengubah tatanan sosial yang ada, namun mempengaruhi perilaku, gaya hidup, dan pola pikir masyarakat kita. Budaya ini menumbuh-kembangkan konsumerisme dan hedonisme di segala lapisan masyarakat, laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, budaya lokal yang merupakan identitas yang kita miliki dan warisan para leluhur makin memudar, bahkan menghilang. Budaya tersebut kita kenal dengan istilah budaya populer (pop-culture). Awalnya, budaya popular (budaya pop) bersifat massal (umum), komersial, terbuka, dan lahir dari rakyat, dan tentunya disukai rakyat. Sehingga budaya pop dikategorikan sebagai budaya rakyat (folk culture), atau budaya rendah (low culture). Budaya massa pop culture sering disebut budaya popular mulai berkembang sejak dasawarasa 1920-an ke atas.Dasawarsa 1920-an dan 1930-an merupakan titik balik penting dalam kajian dan evaluasi budaya populer (Strinati 2003: 4) dimulai dari munculnya sinema dan radio produksi massal dan konsumsi kebudayaan ,bangkitnya fasisme dan kematangan demokrasi liberal di sejumlah Negara barat ,semuanya memainkan peran dan memunculkan perdebatan atas budaya massa.Selain itu perubahan sosial lainnya dihasilkan oleh kemajuan industri 

Perkenalan masyarakat industri dan pergeseran pola hidup modern tersebut menjadi bagian budaya jam kerja dan waktu libur. Bentuknya berupa musik, tarian, teater, gaya, ritual sosial, dan bentuk lain yang bersifat tradisional. Tumbuh pada tingkatan bawah (grass-root) sebagai perwujudan eksistensi dengan akses yang terbatas dan dicirikan dengan kesederhanaan. Oleh karena itu, budaya pop dapat disimpulkan sebagai produk kultural yang berasal dari rakyat bawah. Ada low ada high. Ada budaya rendah, ada budaya tinggi. Kebalikan dari budaya rendah, yakni budaya tinggi (high culture), yang bersifat khusus dan tertutup, lahir dari kalangan atas (kaum elite). Budaya ini dianggap bernilai luhur dan adiluhung dan memiliki standarisasi yang tinggi (selera, kualitas, dan estetika). Contohnya, budaya rendah itu dangdut, dan budaya tinggi itu musik klasik (classical music), karena dangdut penikmatnya adalah kalangan bawah, sedang musik klasik penikmatnya kalangan atas. maka budaya massa diartikan sebagai budaya komersial yang diproduksi secara massal. Hanya saja, tujuan utamanya yakni keuntungan (profit).

Budaya pop meleburkan budaya rendah dan budaya tinggi. Dengan demikian, terjadi silangan (cross) kedua budaya. Produksi budaya rendah dinikmati kalangan tinggi, begitupun sebaliknya. Dalam perkembangannya, budaya massa akhirnya dipahami sebagai budaya populer. Awalnya, budaya massa terbentuk oleh kebutuhan masyrakat akan hiburan. Melalui industrialisasi dan perkembangan teknologi, produsen budaya pop menciptakan produk-produk untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya merunut keefektifan (percepatan) dan keefisienan (kemudahan).

Produsen budaya popular yakni negara-negara maju (kapitalis), dengan berbagai cara, berupaya menanamkan budaya itu di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Secara tidak langsung, terjadi kolonisasi budaya oleh negara-negara maju (barat) atas negara-negara berkembang. Budaya massa sebagai produk-produk budaya relatif terstandar dan homogen, seperti barang-barang maupun jasa; dan pengalaman-pengalaman budaya yang berasosiasi dengannya; dirancang untuk merangsang kelompok terbesar (massa) dari populasi masyarakat. Melihat rumusan itu, bisa kita ambil kesimpulan bahwa produsen budaya pop mengabaikan kenyataan masyarakat yang heterogen. 

Masih mengutip sumber yang sama, kata kunci yang pengaruhnya signifikan dalam kaitan keberadaan budaya massa zaman modern, yakni menyangkut dua hal pokok: “media massa” dan “kapitalisme”. Pertama, soal media massa. Zaman ini, media massa menjadi aspek sentral dalam hegemoni budaya populer. Pengaruhnya luar biasa besar di masyarakat. Sebut saja televisi, koran, majalah, radio, internet, dan lainnya. Media massa tersebut begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari dan dapat di akses dengan mudah. Melalui media massa itu, sekat-sekat antar belahan dunia menjadi hilang. Dengan media massa, masyarakat dapat melihat, mendengar, dan mengonsumsi informasi dari segala penjuru dunia. Dimensi ruang dan waktu seakan mengciut. 

Budaya meniru dan budaya konsumerisme semakin berkembang. Sehingga, nilai-nilai budaya lokal makin terkikis bahkan terancam punah. Sebagai contoh, televisi. Televisi merupakan produk budaya pop yang pengaruhnya sangat besar di masyarakat. Melalui televisi, masyarakat kita mulai meniru berbagai hal: gaya berbahasa, gaya berbusana, gaya hidup, dan pola pikir. Dampaknya, terjadi perubahan sosial di masyarakat dan esensi nilai-nilai budaya lokal lenyap. Kedua, soal kapitalisme. Tentang kapitalisme, kita memahaminya sebagai penguasaan alat produksi oleh kaum pemilik modal, dan diproduksi semaksimal mungkin untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Paham ini dikembangkan negara-negara maju (barat) melalui industrialisasi. Massal-isasi produksi industri tentu dibarengi dengan konsumsi massal, sehingga diperoleh profit maksimal. 

Melalui media massa, produk tersebut gencar ditanamkan di negara-negara berkembang. Masyarakat dijadikan konsumen (pemakai) produk industri kapitalis. Secara tidak sadar, budaya konsumerisme dan hedonisme (mengejar kepuasan) tumbuh subur di Indonesia. Akhirnya, budaya massa atau budaya pop dipahami sebagai sebuah budaya yang menurunkan level selera masyarakat dan menurunkan kualitas peradaban. Dengan bentuknya yang lebih canggih, lebih halus, dan lebih nikmat, berhasil menjerat pasar potensialnya. 

Contoh dan ilustrasi soal Budaya Massa Contoh kongkret dari betapa budaya pop ini begitu kuat mencengkeram media massa kita khususnya media televisi adalah kontes pencarian bakat dibidang music atau film. Model acara seperti ini di Indonesia adalah AFI ,Indonesian Idol ,KDI ,Kondang In,Ajang Boyband dan lain sebagainya.Diantara kontes-kontes ini yang paling menyedot perhatian khalayak adalah Indonesian Idol dan AFI.Indonesian Idol dan AFI diadopsi dari reality show luar negeri.AFI diadopsi dari Meksiko ,sedangkan Indonesian Idol diadopsi dari Pop Idol yang disiarkan di Inggris.Pop Idol tidak hanya diadopsi oleh Indonesia dengan judul Indonesian Idol ,tetapi juga oleh negara-negara lain seperti di Amerika dengan judul American Idol ,Australia dengan judul Australian Idol dan lain-lain.Pemenang dari masing-masing negara dilombakan dalam World Idol. Bentuk penyeragaman atau globalisasi itu sendiri akan melahirkan kebudayaan baru yang populer dengan sebutan neo globalisme dimana suatu daerah mengadopsi budaya daerah lain dan terbentuklah kebudayaan baru dari akulturasi kebudayaan yang lama. Selain itu, ada contoh menarik terkait budaya pop Asia (Asian pop culture), yang mulai bergerak menggerogoti bukan hanya anak muda Asia sendiri, tapi juga para anak muda belahan dunia lainnya.

Dengan diterimanya film, para aktor, sutradara Asia di Hollywood; atau makin dikaguminya rancangan para desainer Asia plus nuansa-nuansa etniknya di Paris-New York-Milan fashion.Asian pop culture ini membentuk suatu cara /gaya hidup remaja-remaja yang hampir sama di berbagai negara-negara di Asia.Sekarang kita dapat lihat hampir tidak ada perbedaan dalam cara berpakaian artis-artis Taiwan,China,korea,dan Jepang. Kita juga dapat lihat hampir tidak ada bedanya dalam cara pengemasan sinetron di Asia.Ini menunjukan secara tidak langsung adalah proses penyeragaman budaya dimana penyeragaman itu sendiri merupakan karakteristik dari globalisasi. DAFTAR PUSTAKA Allan O’Connor, “ Culture and Communication,” dalam John Downing, et.al Questioning The Media :A critical Introduction 1991 Denis McQuail, 2005, McQuail’s Mass Communication Theory, Sage Publication Reed H Blake, A Taxonomy Of Concept in Communication ( 1979) –terjemahan Taksonomi Konsep Komunikasi, Papyrus Surabaya (2009) Strinati, Popular Culture pengantar menuju teori Budaya Populer ( terjemahan 2003), Bentang Budaya, Jogjakarta.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar