--> Skip to main content

KAJIAN EKOPOL DI MEDIA INDONESIA

Pendekatan political ekonomi politik dalam kajian industry media di Indonesia sangat relevan, terlebih di era global dan reformasi ini.. Khusunya televisi. Sebagai entitas ekonomi televisi merupakan sumber profit potensial bagi akumulasi capital pemiliknya. Sejalan dengan dihapusnya SIUPP, pers Indonesia termasuk Televisi kemudian berkembang pesat bak jamur di musim hujan.

Siapa saja bisa menerbitkan koran, tabloid, majalah dan media lain, tanpa harus melewati aturan yang berbelit, cukup dengan membentuk badan usaha. Maka bermunculanlah berbagai macam media cetak dengan bermacam isi. Berita-berita yang sebelumnya tabu dan dilarang untuk diberitakan, kini tidak ada lagi larangan. Masalah yang berkaitan dengan SARA dan masalah pribadi bisa jadi konsumsi berita. Pers pun ramai memberitakan masalah pribadi seorang pejabat. 

Bukan itu saja, informasi yang tak jelas pun bisa menjadi berita. Tak jelas berapa jumlah media yang terbit pasca-penghapusan SIUPP itu, tapi diperkirakan mencapai angka 900. Kebanyakan di antaranya berbentuk tabloid mingguan yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Pers Indonesia mengalami eforia merayakan kebebasannya, setelah sebelumnya dikekang oleh pemerintah. Ratusan media itu berlomba untuk membuat berita yang bombastis yang disuguhkan kepada masyarakat. Masyarakat pun antusias menyambutnya, karena mereka haus berita-berita yang berani menyerang pemerintah. Selama ini mereka dicekoki berita yang membebek kepada pemerintah, tanpa ada sikap kritis. Setelah kebebasan diperoleh, pers bergerak sangat cepat. 

Masalah yang sebelumnya tidak boleh diberitakan, tanpa alangan lagi bisa dimuat dengan lengkap dan jelas, tanpa ada yang melarang. Era 1998 – 2009 adalah saat pers Indonesia menikmati kebebasan dengan sebebas-bebasnya. Terkait dengan televisi, kajian ekonomi politik media sangat cocok khususnya bila menggunakan varian Strukturalisme. Strukturalisme tampaknya terpengaruh perspektif structural dimana isi media seperti televisi ditentukan oleh struktur ekonomi yang berlaku. Sebagai contoh di Indonesia, struktur kapitalisme sebagai penentu kehidupan industry media televisi dibuat berlapis-lapis mulai dari local, regional dan global.Kajian ekonomi politik media sangat sesuai melihat televisi di era 87-an hingga kini di era reformasi, ketika pemerintah mengijinkan adanya televisi swasta disamping TVRI. Pemerintah mengakomodasi keinginan publik yang disuarakan kelas menengah ini. Pada 28 Oktober 1987, pemerintah melalui Departemen Penerangan c.q. Direktur Televisi/Direktur Yayasan TVRI memberikan izin prinsip kepada RCTI untuk memulai siaran dengan No. 557/DIR/TV/1987. Itu pun harus menggunakan dekoder. Baru pada 1 Agustus 1990 dengan izin prinsip Dirjen RTF No. 1217D/RTF/K/VIII/1990, RCTI bersiaran tanpa dekoder. 

Di Surabaya, pemerintah juga memberi izin kepada SCTV. Izin prinsip kepada SCTV diberikan Departemen Penerangan c.q. Dirjen RTF dengan No. 415/RTF/IX/1989. Pemerintah memberikan izin kepada TPI pada 1 Agustus 1990 dengan izin siaran nasional. Izin prinsipnya dikeluarkan Departemen Penerangan c.q. Dirjen RTF dengan No. 1271B/RTF/K/VIII/1990. TPI dalam memancarluaskan siarannya memanfaatkan antena transmisi dan fasilitas yang dimiliki TVRI di daerah. Itu karena TPI merupakan TV yang dikelola Siti Hardiyanti Rukmana atau biasa disapa Mbak Tutut. Anteve ikut meramaikan siaran TV Indonesia sejak diberikan izin prinsip No. 2071/RTF/K/1991 pada 17 September 1991. Siarannya dimulai di Lampung. Baru pada 30 Januari 1993, dengan izin prinsip Departemen Penerangan c.q. Dirjen RTF No. 207RTF/K/I/1993 Anteve bersiaran secara nasional. Sementara itu, Indosiar mengudara dengan izin prinsip dari Departemen Penerangan c.q. Dirjen RTF dengan No. 208/RTF/K/I/1993, sebagai penyesuaian atas izin prinsip pendirian No. 1340/RTF/K/VI/1992, tanggal 19 Juni 1992. Sehingga pada 1992, ada lima TV yang bersiaran nasional. Barulah pada 1998 pemerintah melalui Keputusan Menteri Penerangan No. 384/SK/Menpen/1998 mengizinkan berdirinya lima TV baru, yakni Metro TV, Lativi, TV7, Trans TV, dan Global TV. Kehadiran televisi swasta ini yang makin membesar, amat cocok bila dikaji menggunakan perspektif ekonomi politik media massa, khususnya di era reformasi yang mengurangi ‘dominasi’ pemerintah dalam kehidupan media massa dan kehidupan mereka sangat dipengaruhi permintaan dan kekuatan ‘pasar’. 

Menurut Prof Sasa Djuarsa Sendjaja , saat Pidato pengukuhan pada upacara penerimaan Jabatan sebagai Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia , 28 Nopember 2007, era reformasi yang digulirkan sejak jatuhnya rezim orde baru di tahun 1998 telah membawa kepada upaya demokratisasi kehidupan social, ekonomi dan politik di Indonesia. Dalam prakteknya, upaya demokratisasi ini juga telah membawa kita kepada praktek-praktek kebijakan liberalisasi dalam berbagai bidang. Salah satunya adalah terjadinya perubahan kebijakan dan regulasi di bidang komunikasi sebagai akibat dari liberalisasi ekonomi dan politik yang ditetapkan.

Akses televisi terhadap masyarakat juga makin tinggi. Data terakhir menunjukkan bahwa penetrasi ‘Free to Air’ (FTA) di Indonesia mencapai 75 % dari total 53,5 juta rumah tangga yang ada. (Sasa, 2007:9). INi membuktikan bahwa media massa televisi sudah begitu merambah ke setiap keluarga. Dan masing-masing membawa ‘usungan’ acara yang sesuai dengan kebijakan media mereka. Struktur kapitalisme sebagai penentu kehidupan industry media televisi dibuat berlapis-lapis mulai dari local, regional dan global. Struktur kapitalis ini Kemudian secara dominan mengatur kehidupan industry sehingga ‘agen’ atau pekerja media seolah tak berjiwa. Sunarto (2009) menyebut mereka sebagai ‘zombie-zombie’ tak berjiwa karena semua langkahnya ditentukan oleh struktur kapitalisme global. Struktur kapitalis ini dipandang mampu mengatasi aspek voluntaristik agen individual. Sehingga di sisi yang lain agen tidak mempunyai kehendak bebas atas semua tindakan social karena semua tindakannya merupakan cerminan dari struktur kapitalisme global tersebut. Artinya, terjadi proses ‘komodifikasi’ dan strukturisasi dari apa yang seharusnya diberikan kepada masyarakat sesuai dengan fungsi-fungsi normative media massa, sekarang ‘isi media’ harus disesuaikan dengan keinginan para pemilik modal yang di sisi lain ‘mematikan’ dan mengkerdilkan peranan agen- agen individual dalam sebuah proses produksi massal seperti acara televisi. 

Menurut saya, memahami media menggunakan pendekatan atau kajian ekonomi politik media sangat relevan untuk membahas kecenderungan televisi swasta saat ini, salah satu hal yang menarik adalah soal hegemoni budaya Jawa yang juga merupakan cirri dari penampilan TV Swasta di Jakarta yang bersifat nasional. Ini menarik ,karena Indonesia merupakan sebuah Negara multi etnis dengan sekitar 300 kelompok budaya etnik dan 14 bahasa utama yang berbeda. Ini membuktikan bahwa televisi sebagai media menjadi alat untuk menanamkan dominasi budaya Jawa, Ini terkait dengan konsep Spasialisasi dalam kajian eknomi politik komunikasi . 

Spasialisasi adalah sebuah sistem konsentrasi yang memusat. Dijelaskan jika kekuasaan tersebut memusat, maka akan terjadi hegemoni. Hegemoni itu sendiri dapat diartikan sebagai globalisasi yang terjadi karena adanya konsentrasi media. Spasialisasi berkaitan dengan bagaimana acara disentralkan sehingga apa yang muncul di media adalah acara yang disesuaikan dengan ’budaya dominan’ para pemilik media, para kapitalis media. Sehingga warga Papua atau warga Gorontalo di sana, serta warga-warga pedalaman tak bisa protes terhadap acara-acara yang memang popler dan mengakar di pusat kekuasaan ( baca Jawa) sebagai konsekuensi terjadinya pemusatan dan konsentrasi media di Tanah Jawa. 

Daftar Bacaan McQuail, Denis, (2005).McQuail’s Mass Communication Theory, Sage Publications Mosco, Vincent, 1996. The Political Economy Of Communication: Rethinking and Renewal. London Sage Publications Sasa Djuarsa Sendjaja, 2007. Tantangan Kebijakan Komunikasi di Era Konvergensi dan Media Baru di Indonesia, (pidato pengukuhan Guru Besar Komunikasi UI) Sunarto,(2009) Televisi, Kekerasan & Perempuan, PT Kompas Media Nusantara Jakarta
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar