KAJIAN EKONOMI POLITIK MEDIA
Kajian media massa pada umumnya terkait dengan aspek budaya, politik dan ekonomi sebagai suatu kesatuan yang saling mempengaruhi. Dari aspek budaya , media massa merupakan institusi social pembentuk definisi dan citra realitas social, serta ekspresi identitas yang dihayati bersama secara komunal. (Sunarto,2009:13) .
Begitu juga apabila media massa dilihat dari aspek politik. Media massa memberikan ruang dan arena bagi terjadinya diskusi aneka kepentingan berbagai kelompok social yang ada di masyarakat dengan tujuan akhir untuk menciptakan pendapat umum sebagaimana yang diinginkan oleh masih-masing kelompok social tersebut. Dari aspek ekonomi, media massa merupakan institusi bisnis yang dibentuk dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan secara material bagi pendirinya.
Kajian ekonomi Politik Media berangkat dari konsep atau pengertian sejumlah ahli seperti Vincent Mosco yang membedakan pengertian ekonomi politik menjadi dua macam: 1) pengertian sempit dan (2) luas. (Mosco, 1996:25-35). Lewat buku berjudul The Political Economy Of Communication, Vincent Mosco melihat bahwa dalam pengertian yang luas, kajian ekonomi politik media berarti kajian mengenai control dan pertahanan kehidupan social , Artinya control dipahami sebagai pengaturan individu dan anggota kelompok secara internal dimana agar bisa bertahan mereka harus mereproduksi diri mereka sendiri. Proses control ini secara luas bersifat politik karena dalam proses tersebut melibatkan pengorganisasian social hubungan-hubungan dalam sebuah komunitas.
Pengertian sempit dari kajian ini adalah berarti kajian relasi social, khususnya relasi kekuasaan yang bersama-sama membentuk produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya. Dalam sumber daya ini termasuk di dalamnya produk-produk komunikasi semacam surat kabar, buku, video, film dan khalayak. (Sunarto,2009:14). Perspektif ekonomi politik melihat bahwa media tidak lepas dari kepentingan baik kepentingan pemilik modal, negara atau kelompok lainnya. Dengan kata lain, media menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat.
Proses dominasi ini menunjukkan adanya penyebaran dan aktivitas komunikasi massa yang sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi politik masyarakat yang bersangkutan. Implikasi logisnya adalah realitas yang dihasilkan oleh media bersifat bias dan terdistorsi. Kajian ekonomi politik memiliki beberapa varian, yakni instrumentalisme, kulturalisme dan strukturalisme.
Pada varian instrumentalisme memberikan penekanan pada determinisme ekonomi, dimana segala sesuatu pada akhirnya akan dikaitkan secara langsung dengan kekuatan-kekuatan ekonomi. Perspektif ini cenderung menempatkan agencies pada posisi lebih dominan dalam suatu struktur atau kultur.
Kelas yang mendominasi adalah kapitalis dengan kekuatan ekonominya. Dalam hal ini, menempatkan media sebagai instrumen dominasi yang dapat digunakan oleh pemilik modal atau kelompok penguasa lainnya untuk memberikan arus informasi publik sesuai dengan kepentingannya dalam sistem pasar komersial. Ada tiga ‘jalan’ ontologis sebagaimana diungkap Sunarto (2009) untuk memahami teori ekonomi politik komunikasi yakni (a) komodifikasi, (b)spasialisasi; dan (c) strukturasi. Komodifikasi terkait dengan proses transformasi nilai guna menjadi nilai tukar.
Sedang spasialisasi adalah proses untuk mengatasi adanya keterbatasan ruang dan waktu dalam kehidupan social. Jalan ontologis ini amat terpengaruh pandangan Karl Marx. Menurut Karl Marx, kekayaan masyarakat dengan menggunakan produksi kapitalis yang berlaku dan terlihat seperti kumpulan komoditas (barang dagangan) yang banyak sekali; lalu komoditi milik perseorangan terlihat seperti sebuah bentuk dasar. Maka, komodifikasi diartikan sebagai transformasi penggunaan nilai yang dirubah ke dalam nilai yang lain. Dalam artian siapa saja yang memulai kapital dengan mendeskripsikan sebuah komoditi maka ia akan memperoleh keuntungan yang sangat besar. Spasialisasi adalah sebuah sistem konsentrasi yang memusat.
Dijelaskan jika kekuasaan tersebut memusat, maka akan terjadi hegemoni. Hegemoni itu sendiri dapat diartikan sebagai globalisasi yang terjadi karena adanya konsentrasi media. Spasialisasi berkaitan dengan bentuk lembaga media, apakah berbentuk korporasi yang berskala besar atau sebaliknya, apakah berjaringan atau tidak, apakah bersifat monopoli atau oligopoli, konglomerasi atau tidak. Sedangkan strukturasi merupakan proses di mana struktur secara bersama-sama terbentuk dengan ‘agen’ manusia. Ini adalah sebuah proses dimana struktur-struktur saling terkait dengan human agency. Strukturasi dapat digambarkan sebagai proses dimana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan bahkan masing-masing bagian dari struktur mampu bertindak melayani bagian yang lain.
Hasil akhir dari strukturasi adalah serangkaian hubungan sosial dan proses kekuasaan diorganisasikan di antara kelas, gender, ras dan gerakan sosial yang masing-masing berhubungan satu sama lain. Gagasan tentang strukturasi ini pada mulanya dikembangkan oleh Anthony Giddens. Struktur dibentuk oleh Agen yang pada saat bersamaan struktur itu juga bertindak sebagai medium yang membentuk agen tersebut. Hasil dari strukturasi adalah serangkaian relasi social dan proses kekuasaan yang diorganisasikan di sekitar kelas, jender, ras dan gerakan social yang saling berhubungan dan berlawanan satu sama lain. Mosco melihat, bahwa ketika ekonomi politik memberikan perhatian pada agensi, proses dan praktis social, ia cenderung memokuskan perhatian pada kelas social. Artinya, terdapat alasan baik untuk mempertimbangkan strukturasi kelas menjadi pusat Jalan masuk untuk menangani kehidupan social, akan tetapi terdapat dimensi lain pada strukturasi yang melengkapi dan bertentangan dengan analisis kelas Yaitu jender, ras dan gerakan social yang didasarkan pada persoalan-persoalan publik semacam lingkungan yang bersama-sama kelas membentuk banyak dari relasi social dari komunikasi.
Dari pemahaman semacam itu, masyarakat bisa dipahami sebagai serangkaian penstrukturan tindakan-tindakan yang dimulai oleh agen-agen yang secara bersama-sama membentuk relasi-relasi kelas, jender, ras dan gerakan kelas. Proses strukturasi ini menjadi kian penting ketika pada gilirannya memiliki pengaruh penting pada terbentuknya hegemoni. Hegemoni dalam hal ini didefinisikan sebagai cara berfikir yang dibuat natural atau dinaturalisasikan, bisa masuk akal dan akhirnya diterima sebagai sesuatu yang ‘given’ ( terberi dari sananya) mengenai dunia yang termasuk di dalamnya segala sesuatu, dimulai dari kosmologi melalui etika hingga praktik social yang dilekatkan dan dipertarungkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan ekonomi politik komunikasi menekankan bahwa masyarakat kapitalis terbentuk menurut cara-cara dominan dalam produksi yang menstrukturkan institusi dan praktik sesuai dengan logika komodifikasi dan akumulasi capital. Produksi dan distribusi budaya dalam system kapitalis harus berorientasi pada pasar dan profit. Kekuatan produksi seperti teknologi media dan praktek-praktek kreatif dibentuk menurut relasi produksi dominan ( seperti profit yang mengesankan) pemeliharaan control hirarkhis dan relasi dominasi. Karena itu system produksi sangatlah penting dalam menentukan artefak-artefak budaya apa saja yang perlu diproduksi mana yang tidak dan bagaimana produk-produk budaya itu dikonsumsi. (Sunarto, 2009:15-16).
Wajar saja dengan pola pemahaman macam itu, maka orientasi pendekatan ekonomi politik bukanlah semata-mata persoalan ekonomi tetapi juga pada relasi antara dimensi-dimensi ekonomi politik, teknologi dan budaya dari realitas social. Dalam kajian ekonomi politik media varian instrumentalisme, sangat terasa sekali pengaruh perspektif tindakan social yang menekankan pada aspek determinisme individual yang melihat bahwa perilaku manusia ternyata bukan dipengaruhi oleh masyarakat, tetapi masyarakat merupakan produk dari aktivitas manusia melalui tindakan individual dan kelompok. Artinya, agen individu mempunyai kehendak bebas untuk melakukan tindakan social tanpa terpengaruh oleh struktur masyarakatnya. Dalam konteks industry televisi misalnya, interaksi antar agen dipandang berperan penting dalam menentukan isi program televisi untuk memenuhi tujuan-tujuan personal para agen tersebut.
Dalam upayanya untuk melindungi kepentingan personalnya, secara praktis tujuan personal direpresentasikan melalui kekuasaan pemilik saham. Pemilik media bisa menjalin kerjasama dengan agen lain di ranah politik, social dan cultural untuk bersama-sama melindungi kepentingan personal (komunal) mereka. Tampaknya kepentingan komunal itu seolah-olah lepas dari pengaruh struktur ekonomi ,politik, social dan cultural yang ada. Dalam kajian ekonomi politik media varian Strukturalisme, tampaknya terpengaruh perspektif structural dimana isi media seperti televisi ditentukan oleh struktur ekonomi yang berlaku. Sebagai contoh di Indonesia, struktur kapitalisme sebagai penentu kehidupan industry media televisi dibuat berlapis-lapis mulai dari local, regional dan global.
Struktur kapitalis ini Kemudian secara dominan mengatur kehidupan industry sehingga ‘agen’ atau pekerja media seolah tak berjiwa. Sunarto (2009) menyebut mereka sebagai ‘zombie-zombie’ tak berjiwa karena semua langkahnya ditentukan oleh struktur kapitalisme global. Struktur kapitalis ini dipandang mampu mengatasi aspek voluntaristik agen individual. Sehingga di sisi yang lain agen tidak mempunyai kehendak bebas atas semua tindakan social karena semua tindakannya merupakan cerminan dari struktur kapitalisme global tersebut. Seakan-akan agen telah kehilangan seluruh energy potensialnya untuk melakukan tindakan bebas.
Begitu juga apabila media massa dilihat dari aspek politik. Media massa memberikan ruang dan arena bagi terjadinya diskusi aneka kepentingan berbagai kelompok social yang ada di masyarakat dengan tujuan akhir untuk menciptakan pendapat umum sebagaimana yang diinginkan oleh masih-masing kelompok social tersebut. Dari aspek ekonomi, media massa merupakan institusi bisnis yang dibentuk dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan secara material bagi pendirinya.
Kajian ekonomi Politik Media berangkat dari konsep atau pengertian sejumlah ahli seperti Vincent Mosco yang membedakan pengertian ekonomi politik menjadi dua macam: 1) pengertian sempit dan (2) luas. (Mosco, 1996:25-35). Lewat buku berjudul The Political Economy Of Communication, Vincent Mosco melihat bahwa dalam pengertian yang luas, kajian ekonomi politik media berarti kajian mengenai control dan pertahanan kehidupan social , Artinya control dipahami sebagai pengaturan individu dan anggota kelompok secara internal dimana agar bisa bertahan mereka harus mereproduksi diri mereka sendiri. Proses control ini secara luas bersifat politik karena dalam proses tersebut melibatkan pengorganisasian social hubungan-hubungan dalam sebuah komunitas.
Pengertian sempit dari kajian ini adalah berarti kajian relasi social, khususnya relasi kekuasaan yang bersama-sama membentuk produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya. Dalam sumber daya ini termasuk di dalamnya produk-produk komunikasi semacam surat kabar, buku, video, film dan khalayak. (Sunarto,2009:14). Perspektif ekonomi politik melihat bahwa media tidak lepas dari kepentingan baik kepentingan pemilik modal, negara atau kelompok lainnya. Dengan kata lain, media menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat.
Proses dominasi ini menunjukkan adanya penyebaran dan aktivitas komunikasi massa yang sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi politik masyarakat yang bersangkutan. Implikasi logisnya adalah realitas yang dihasilkan oleh media bersifat bias dan terdistorsi. Kajian ekonomi politik memiliki beberapa varian, yakni instrumentalisme, kulturalisme dan strukturalisme.
Pada varian instrumentalisme memberikan penekanan pada determinisme ekonomi, dimana segala sesuatu pada akhirnya akan dikaitkan secara langsung dengan kekuatan-kekuatan ekonomi. Perspektif ini cenderung menempatkan agencies pada posisi lebih dominan dalam suatu struktur atau kultur.
Kelas yang mendominasi adalah kapitalis dengan kekuatan ekonominya. Dalam hal ini, menempatkan media sebagai instrumen dominasi yang dapat digunakan oleh pemilik modal atau kelompok penguasa lainnya untuk memberikan arus informasi publik sesuai dengan kepentingannya dalam sistem pasar komersial. Ada tiga ‘jalan’ ontologis sebagaimana diungkap Sunarto (2009) untuk memahami teori ekonomi politik komunikasi yakni (a) komodifikasi, (b)spasialisasi; dan (c) strukturasi. Komodifikasi terkait dengan proses transformasi nilai guna menjadi nilai tukar.
Sedang spasialisasi adalah proses untuk mengatasi adanya keterbatasan ruang dan waktu dalam kehidupan social. Jalan ontologis ini amat terpengaruh pandangan Karl Marx. Menurut Karl Marx, kekayaan masyarakat dengan menggunakan produksi kapitalis yang berlaku dan terlihat seperti kumpulan komoditas (barang dagangan) yang banyak sekali; lalu komoditi milik perseorangan terlihat seperti sebuah bentuk dasar. Maka, komodifikasi diartikan sebagai transformasi penggunaan nilai yang dirubah ke dalam nilai yang lain. Dalam artian siapa saja yang memulai kapital dengan mendeskripsikan sebuah komoditi maka ia akan memperoleh keuntungan yang sangat besar. Spasialisasi adalah sebuah sistem konsentrasi yang memusat.
Dijelaskan jika kekuasaan tersebut memusat, maka akan terjadi hegemoni. Hegemoni itu sendiri dapat diartikan sebagai globalisasi yang terjadi karena adanya konsentrasi media. Spasialisasi berkaitan dengan bentuk lembaga media, apakah berbentuk korporasi yang berskala besar atau sebaliknya, apakah berjaringan atau tidak, apakah bersifat monopoli atau oligopoli, konglomerasi atau tidak. Sedangkan strukturasi merupakan proses di mana struktur secara bersama-sama terbentuk dengan ‘agen’ manusia. Ini adalah sebuah proses dimana struktur-struktur saling terkait dengan human agency. Strukturasi dapat digambarkan sebagai proses dimana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan bahkan masing-masing bagian dari struktur mampu bertindak melayani bagian yang lain.
Hasil akhir dari strukturasi adalah serangkaian hubungan sosial dan proses kekuasaan diorganisasikan di antara kelas, gender, ras dan gerakan sosial yang masing-masing berhubungan satu sama lain. Gagasan tentang strukturasi ini pada mulanya dikembangkan oleh Anthony Giddens. Struktur dibentuk oleh Agen yang pada saat bersamaan struktur itu juga bertindak sebagai medium yang membentuk agen tersebut. Hasil dari strukturasi adalah serangkaian relasi social dan proses kekuasaan yang diorganisasikan di sekitar kelas, jender, ras dan gerakan social yang saling berhubungan dan berlawanan satu sama lain. Mosco melihat, bahwa ketika ekonomi politik memberikan perhatian pada agensi, proses dan praktis social, ia cenderung memokuskan perhatian pada kelas social. Artinya, terdapat alasan baik untuk mempertimbangkan strukturasi kelas menjadi pusat Jalan masuk untuk menangani kehidupan social, akan tetapi terdapat dimensi lain pada strukturasi yang melengkapi dan bertentangan dengan analisis kelas Yaitu jender, ras dan gerakan social yang didasarkan pada persoalan-persoalan publik semacam lingkungan yang bersama-sama kelas membentuk banyak dari relasi social dari komunikasi.
Dari pemahaman semacam itu, masyarakat bisa dipahami sebagai serangkaian penstrukturan tindakan-tindakan yang dimulai oleh agen-agen yang secara bersama-sama membentuk relasi-relasi kelas, jender, ras dan gerakan kelas. Proses strukturasi ini menjadi kian penting ketika pada gilirannya memiliki pengaruh penting pada terbentuknya hegemoni. Hegemoni dalam hal ini didefinisikan sebagai cara berfikir yang dibuat natural atau dinaturalisasikan, bisa masuk akal dan akhirnya diterima sebagai sesuatu yang ‘given’ ( terberi dari sananya) mengenai dunia yang termasuk di dalamnya segala sesuatu, dimulai dari kosmologi melalui etika hingga praktik social yang dilekatkan dan dipertarungkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan ekonomi politik komunikasi menekankan bahwa masyarakat kapitalis terbentuk menurut cara-cara dominan dalam produksi yang menstrukturkan institusi dan praktik sesuai dengan logika komodifikasi dan akumulasi capital. Produksi dan distribusi budaya dalam system kapitalis harus berorientasi pada pasar dan profit. Kekuatan produksi seperti teknologi media dan praktek-praktek kreatif dibentuk menurut relasi produksi dominan ( seperti profit yang mengesankan) pemeliharaan control hirarkhis dan relasi dominasi. Karena itu system produksi sangatlah penting dalam menentukan artefak-artefak budaya apa saja yang perlu diproduksi mana yang tidak dan bagaimana produk-produk budaya itu dikonsumsi. (Sunarto, 2009:15-16).
Wajar saja dengan pola pemahaman macam itu, maka orientasi pendekatan ekonomi politik bukanlah semata-mata persoalan ekonomi tetapi juga pada relasi antara dimensi-dimensi ekonomi politik, teknologi dan budaya dari realitas social. Dalam kajian ekonomi politik media varian instrumentalisme, sangat terasa sekali pengaruh perspektif tindakan social yang menekankan pada aspek determinisme individual yang melihat bahwa perilaku manusia ternyata bukan dipengaruhi oleh masyarakat, tetapi masyarakat merupakan produk dari aktivitas manusia melalui tindakan individual dan kelompok. Artinya, agen individu mempunyai kehendak bebas untuk melakukan tindakan social tanpa terpengaruh oleh struktur masyarakatnya. Dalam konteks industry televisi misalnya, interaksi antar agen dipandang berperan penting dalam menentukan isi program televisi untuk memenuhi tujuan-tujuan personal para agen tersebut.
Dalam upayanya untuk melindungi kepentingan personalnya, secara praktis tujuan personal direpresentasikan melalui kekuasaan pemilik saham. Pemilik media bisa menjalin kerjasama dengan agen lain di ranah politik, social dan cultural untuk bersama-sama melindungi kepentingan personal (komunal) mereka. Tampaknya kepentingan komunal itu seolah-olah lepas dari pengaruh struktur ekonomi ,politik, social dan cultural yang ada. Dalam kajian ekonomi politik media varian Strukturalisme, tampaknya terpengaruh perspektif structural dimana isi media seperti televisi ditentukan oleh struktur ekonomi yang berlaku. Sebagai contoh di Indonesia, struktur kapitalisme sebagai penentu kehidupan industry media televisi dibuat berlapis-lapis mulai dari local, regional dan global.
Struktur kapitalis ini Kemudian secara dominan mengatur kehidupan industry sehingga ‘agen’ atau pekerja media seolah tak berjiwa. Sunarto (2009) menyebut mereka sebagai ‘zombie-zombie’ tak berjiwa karena semua langkahnya ditentukan oleh struktur kapitalisme global. Struktur kapitalis ini dipandang mampu mengatasi aspek voluntaristik agen individual. Sehingga di sisi yang lain agen tidak mempunyai kehendak bebas atas semua tindakan social karena semua tindakannya merupakan cerminan dari struktur kapitalisme global tersebut. Seakan-akan agen telah kehilangan seluruh energy potensialnya untuk melakukan tindakan bebas.