PEREMPUAN SELALU TERDZHOLIMI DI MEDIA PATRIARKHI
Kontroversi Maria Eva dan Julia Perez masih terus merebak, seiring gagasan Mendagri tentang perlunya kriteria khusus bagi calon Kepala daerah. Persoalan ‘tidak cacat moral’ mungkin bisa menjegal Maria Eva dan Julia Perez yang memiliki catatan gelap di masa lalu.
Media massa ikut-ikutan menjegal keduanya dengan memuat pendapat dan opini yang tak mempercayai keduanya tampil di ranah publik, ranah yang dikuasai oleh dominasi patriakhi. Media massa terkadang disebut sebagai pihak yang gamang dalam menempatkan perempuan sebagaimana dialami oleh Maria Eva dan Julia Perez selama ini , disatu sisi keduanya dijadikan ‘ikon’ sensual yang bisa menarik minat pembaca –termasuk juga minat pemasang iklan, tapi disisi yang lain media memberi stigma yang menyedihkan tentang perempuan.
Di satu sisi media massa memberi tempat seluas-luasnya bagi perempuan sebagai subjek yang mencoba keluar dari kungkungan patriarkhi kekuasaan laki-laki di duni politik, tapi di sisi yang lain kelemahan mereka juga dibeberkan kemana-mana. Saat Jupe dan maria Eva maju sebagai calon , media serta merta menyambutnya dengan hirukpikuk pemberitaan. Keduanya terkenal sebagai artis panas yang sering menggetarkan iman laki-laki. Isu politik yang menempatkan perempuan setara dengan laki-laki,dicampur baur dengan melodrama kehidupan moralnya.
Jupe begitulah media memberi julukan singkat baginya sedangkan nama bekennya adalah Julia Perez. Ketika dilahirkan dia diberi nama oleh orang tuanya Yuli Rachmawati. Nama Perez didapat dari nama ( mantan) suaminya, Damien Perez. Karirnya dimulai di Perancis sebagai model majalah dewasa FHM dan Maxim.
Di Indonesia, dirinya semakin terkenal setelah berseteru dengan menteri urusan wanita, Meutia Hatta karena memberikan kondom dalam album perdananya. Sedangkan maria Eva, sosok kontroversial ini kini tengah digadang-gadang media dalam pemberitaan terkait isu pencalonannya sebagai Wakil Bupati . Di sekitar 2006. Maria Eva jadi pemberitaan heboh di media. Saat itu skandal Yahya Zaini [mantan anggota DPR] dan Maria Eva [penyanyi dangdut], sebagai Skandal Terpanas 2006.
Tapi saat ini keduanya dijegal oleh adanya wacana yang mensyaratkan calon tak punya cacat moral. Komisi II DPR akan meminta penjelasan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang mengusulkan persyaratan tersebut dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). “Kalau syaratnya seperti itu, berarti hanya untuk kalangan pensiunan birokrat yang bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo di Gedung DPR .
Selain masalah pengalaman,Ganjar juga mempertanyakan adanya rencana persyaratan calon kepala daerah tidak cacat moral seperti pernah berzina dan berselingkuh. Menurut dia, persyaratan itu sebenarnya sudah tertuang dalam syarat bagi calon kepala daerah dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.Salah satu syaratnya,tidak pernah melakukan perbuatan tercela.“ Soal cacat moral sebenarnya sudah include dalam persyaratan dalam undang-undang,”tuturnya.
Media jarang menampilkan perempuan sebagai subjek, seringkali perempuan hanya dijadikan objek semata untuk kepuasan laki-laki . Secara tradisional media menempatkan keperluan perempuan dalam “rubrik-rubrik domestik” seperti mode, fashion . kecantikan, mode busana, rumah, serta masakan.
Apalagi dalam iklan, perempuan hanya dijadikan sarana pemuas dahaga kepentingan dan kepuasan laki-laki. Media jarang menampilkan perempuan yang sukses di kancah laki-laki. Contoh yang paling jelas adalah tampilan perempuan dalam majalah-majalah laki-laki seperti FHM dan Cosmopolitan.
Perempuan hanya dijadikan sebagai objek yang dipandang,dibelai dan ditimang-timang karena kecantikan fisiknya, keindahan tubuhnya dan kehalusan kulitnya. Sosok perempuan perkasa dan penuh percaya diri seperti presenter Oprah Winfrey yang membunuh mitos tentang perempuan di media yang harus tampil seksi dan langsing, nyaris tak ada di Indonesia.
Kebanyakan presenter apalagi di media televisi di acara gosip artis tampil sensual dan ‘menyesuaikan’ dengan citra perempuan yang ‘diciptakan ‘media yakni tampil seksi berpakaian minim dan atraktif. Terkait wanita dan (iklan) media massa, Sosiolog Tharin Tamagola mengkelompokkan ada lima ‘citra’ atau imaji perempuan yang digambarkan di media massa khususnya dalam iklan-iklannya. Pertama perempuan digambarkan lewat citra Pigura. Artinya dalam citra pigura, perempuan digambarkan sebagai sosok sempurna dengan bentuk tubuh ideal.
Citra kedua adalah citra Pilar yakni perempuan dilihat sebagai penyangga keutuhan dan penata rumah tangga. Dalam citra ini, perempuan dianggap sebagai ‘penyempurna’ rumah tangga laki-laki, sehingga seakan-akan sebuah keluarga akan utuh apabila ‘perempuannya’ bisa berperilaku sebagai ibu yang setia dan menjaga keutuhan sebuah rumah tangga.
Citra ketiga adalah citra Peraduan, yakni hanya menempatkan perempuan sebagai objek seksual yang dimanfaatkan untuk memenuhi nafsu laki-laki. Serta Citra yang keempat perempuan ditempatkan sebagai citra Pinggan, yakni perempuan yang identik dengan sosok yang identik dengan dunia dapur. Dalam citra ini perempuan hanya ditempatkan sebagai sosok yang melayani konsumsi dan kebutuhan makanan keluarga.
Citra kelima adalah citra Pergaulan. Media massa menurut Thamrin, seringkali menempatkan perempuan sebagai sosok yang kurang percaya diri dalam bergaul. Citra ini menempatkan perempuan sebagai sosok yang mengalami kesulitan dalam menempatkan diri dan berkompetisi dengan laik-laki.
Dari lima citra yang dijelaskan oleh Thamrin Tamagola jelas terlihat bahwa perempuan Indonesia sering terpinggirkan saat harus bersaing dengan laki-laki sebagaimana terlihat dari sulitnya publik menerima Jupe dan Maria Eva sebagai sosok yang pantas bersaing dengan laki-laki. Keduanya hanya dilihat dari citra peraduan yakni keduanya hanya dilihat sebagai sosok yang sensual dan menarik di tempat tidur tetapi amat sulit bila berada di ranah politik bersaing dengan laki-laki.
Mitos bahwa perempuan hanya mampu dibidang domestik di Indonesia sebenarnya sudah hancur setelah tampilnya sejumlah perempuan perkasa yang menempati posisi terhormat di bidang politik seperti Gubernur Banten Ratu Atut, dan sejumlah Menteri di Kabinet SBY saat ini. Mengapa, kehadiran dua artis yang ingin menjadi sosok penting di Kabupaten menjadi Wakil Bupati atau Bupati susah diterima publik?
Mengapa media massa kurang mendukung tampilnya perempuan di sektor publik? Tampilnya perempuan di sektor politik sebagaimana yang diinginkan Jupe dan maria Eva adalah tuntutan pembebasan perempuan dari mitos yang selama ini mengkungkungnya. Tampilnya perempuan yang ingin bersaing di dunia politik dan memimpin laki-laki, agak mengganggu kenyamanan laki-laki sehingga banyak cara diambil dan salah satunya adalah dengan mencari-cari kekurangan dan kelemahan keduanya.
Bagi media , ‘pemberontakan perempuan’ tak sesuai pakem citra peraduan ini bersimpang jalan dengan apa yang disebut “tuntutan pasar”. Media di satu sisi mencetak perempuan bebas dan mandiri, tetapi sekaligus menjadikannya sebagai makhluk yang lemah. Prestasi perempuan atau paling tidak potensinya sebagai perempuan yang mampu bersaing dalam pilkada. Meski perempuan tersebut berakal, berprestasi, tetapi media lebih banyak menampilkan sex appeal-nya berbeda dengan majalah-majalah di awal zaman pergerakan perempuan, yang melulu berjuang bagi kesetaraan hak- hak perempuan dan laki-laki. Alih-alih menampilkan sisi-sisi positif Jupe dan maria Eva, media banyak mengulas soal kehidupan masa lalu kedua perempuan itu.
Jupe dan maria Eva digambarkan sebagai sosok sensual yang kerap tampil seronok. Media juga memuat kekhawatiran banyak orang yang tidak percaya bahwa sosok macam Jupe dan Maria Eva bisa menjadi pemimpin yang punya kompetensi layaknya laki-laki dalam politik. Artinya, biarkan saja kedua perempuan ini , Maria Eva dan Julia Perez bersaing dengan laki-laki sebagai calon wakil bupati, biarkan masyarakat pemilih yang menilainya. (J006)
Media massa ikut-ikutan menjegal keduanya dengan memuat pendapat dan opini yang tak mempercayai keduanya tampil di ranah publik, ranah yang dikuasai oleh dominasi patriakhi. Media massa terkadang disebut sebagai pihak yang gamang dalam menempatkan perempuan sebagaimana dialami oleh Maria Eva dan Julia Perez selama ini , disatu sisi keduanya dijadikan ‘ikon’ sensual yang bisa menarik minat pembaca –termasuk juga minat pemasang iklan, tapi disisi yang lain media memberi stigma yang menyedihkan tentang perempuan.
Di satu sisi media massa memberi tempat seluas-luasnya bagi perempuan sebagai subjek yang mencoba keluar dari kungkungan patriarkhi kekuasaan laki-laki di duni politik, tapi di sisi yang lain kelemahan mereka juga dibeberkan kemana-mana. Saat Jupe dan maria Eva maju sebagai calon , media serta merta menyambutnya dengan hirukpikuk pemberitaan. Keduanya terkenal sebagai artis panas yang sering menggetarkan iman laki-laki. Isu politik yang menempatkan perempuan setara dengan laki-laki,dicampur baur dengan melodrama kehidupan moralnya.
Jupe begitulah media memberi julukan singkat baginya sedangkan nama bekennya adalah Julia Perez. Ketika dilahirkan dia diberi nama oleh orang tuanya Yuli Rachmawati. Nama Perez didapat dari nama ( mantan) suaminya, Damien Perez. Karirnya dimulai di Perancis sebagai model majalah dewasa FHM dan Maxim.
Di Indonesia, dirinya semakin terkenal setelah berseteru dengan menteri urusan wanita, Meutia Hatta karena memberikan kondom dalam album perdananya. Sedangkan maria Eva, sosok kontroversial ini kini tengah digadang-gadang media dalam pemberitaan terkait isu pencalonannya sebagai Wakil Bupati . Di sekitar 2006. Maria Eva jadi pemberitaan heboh di media. Saat itu skandal Yahya Zaini [mantan anggota DPR] dan Maria Eva [penyanyi dangdut], sebagai Skandal Terpanas 2006.
Tapi saat ini keduanya dijegal oleh adanya wacana yang mensyaratkan calon tak punya cacat moral. Komisi II DPR akan meminta penjelasan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang mengusulkan persyaratan tersebut dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). “Kalau syaratnya seperti itu, berarti hanya untuk kalangan pensiunan birokrat yang bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo di Gedung DPR .
Selain masalah pengalaman,Ganjar juga mempertanyakan adanya rencana persyaratan calon kepala daerah tidak cacat moral seperti pernah berzina dan berselingkuh. Menurut dia, persyaratan itu sebenarnya sudah tertuang dalam syarat bagi calon kepala daerah dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.Salah satu syaratnya,tidak pernah melakukan perbuatan tercela.“ Soal cacat moral sebenarnya sudah include dalam persyaratan dalam undang-undang,”tuturnya.
Media jarang menampilkan perempuan sebagai subjek, seringkali perempuan hanya dijadikan objek semata untuk kepuasan laki-laki . Secara tradisional media menempatkan keperluan perempuan dalam “rubrik-rubrik domestik” seperti mode, fashion . kecantikan, mode busana, rumah, serta masakan.
Apalagi dalam iklan, perempuan hanya dijadikan sarana pemuas dahaga kepentingan dan kepuasan laki-laki. Media jarang menampilkan perempuan yang sukses di kancah laki-laki. Contoh yang paling jelas adalah tampilan perempuan dalam majalah-majalah laki-laki seperti FHM dan Cosmopolitan.
Perempuan hanya dijadikan sebagai objek yang dipandang,dibelai dan ditimang-timang karena kecantikan fisiknya, keindahan tubuhnya dan kehalusan kulitnya. Sosok perempuan perkasa dan penuh percaya diri seperti presenter Oprah Winfrey yang membunuh mitos tentang perempuan di media yang harus tampil seksi dan langsing, nyaris tak ada di Indonesia.
Kebanyakan presenter apalagi di media televisi di acara gosip artis tampil sensual dan ‘menyesuaikan’ dengan citra perempuan yang ‘diciptakan ‘media yakni tampil seksi berpakaian minim dan atraktif. Terkait wanita dan (iklan) media massa, Sosiolog Tharin Tamagola mengkelompokkan ada lima ‘citra’ atau imaji perempuan yang digambarkan di media massa khususnya dalam iklan-iklannya. Pertama perempuan digambarkan lewat citra Pigura. Artinya dalam citra pigura, perempuan digambarkan sebagai sosok sempurna dengan bentuk tubuh ideal.
Citra kedua adalah citra Pilar yakni perempuan dilihat sebagai penyangga keutuhan dan penata rumah tangga. Dalam citra ini, perempuan dianggap sebagai ‘penyempurna’ rumah tangga laki-laki, sehingga seakan-akan sebuah keluarga akan utuh apabila ‘perempuannya’ bisa berperilaku sebagai ibu yang setia dan menjaga keutuhan sebuah rumah tangga.
Citra ketiga adalah citra Peraduan, yakni hanya menempatkan perempuan sebagai objek seksual yang dimanfaatkan untuk memenuhi nafsu laki-laki. Serta Citra yang keempat perempuan ditempatkan sebagai citra Pinggan, yakni perempuan yang identik dengan sosok yang identik dengan dunia dapur. Dalam citra ini perempuan hanya ditempatkan sebagai sosok yang melayani konsumsi dan kebutuhan makanan keluarga.
Citra kelima adalah citra Pergaulan. Media massa menurut Thamrin, seringkali menempatkan perempuan sebagai sosok yang kurang percaya diri dalam bergaul. Citra ini menempatkan perempuan sebagai sosok yang mengalami kesulitan dalam menempatkan diri dan berkompetisi dengan laik-laki.
Dari lima citra yang dijelaskan oleh Thamrin Tamagola jelas terlihat bahwa perempuan Indonesia sering terpinggirkan saat harus bersaing dengan laki-laki sebagaimana terlihat dari sulitnya publik menerima Jupe dan Maria Eva sebagai sosok yang pantas bersaing dengan laki-laki. Keduanya hanya dilihat dari citra peraduan yakni keduanya hanya dilihat sebagai sosok yang sensual dan menarik di tempat tidur tetapi amat sulit bila berada di ranah politik bersaing dengan laki-laki.
Mitos bahwa perempuan hanya mampu dibidang domestik di Indonesia sebenarnya sudah hancur setelah tampilnya sejumlah perempuan perkasa yang menempati posisi terhormat di bidang politik seperti Gubernur Banten Ratu Atut, dan sejumlah Menteri di Kabinet SBY saat ini. Mengapa, kehadiran dua artis yang ingin menjadi sosok penting di Kabupaten menjadi Wakil Bupati atau Bupati susah diterima publik?
Mengapa media massa kurang mendukung tampilnya perempuan di sektor publik? Tampilnya perempuan di sektor politik sebagaimana yang diinginkan Jupe dan maria Eva adalah tuntutan pembebasan perempuan dari mitos yang selama ini mengkungkungnya. Tampilnya perempuan yang ingin bersaing di dunia politik dan memimpin laki-laki, agak mengganggu kenyamanan laki-laki sehingga banyak cara diambil dan salah satunya adalah dengan mencari-cari kekurangan dan kelemahan keduanya.
Bagi media , ‘pemberontakan perempuan’ tak sesuai pakem citra peraduan ini bersimpang jalan dengan apa yang disebut “tuntutan pasar”. Media di satu sisi mencetak perempuan bebas dan mandiri, tetapi sekaligus menjadikannya sebagai makhluk yang lemah. Prestasi perempuan atau paling tidak potensinya sebagai perempuan yang mampu bersaing dalam pilkada. Meski perempuan tersebut berakal, berprestasi, tetapi media lebih banyak menampilkan sex appeal-nya berbeda dengan majalah-majalah di awal zaman pergerakan perempuan, yang melulu berjuang bagi kesetaraan hak- hak perempuan dan laki-laki. Alih-alih menampilkan sisi-sisi positif Jupe dan maria Eva, media banyak mengulas soal kehidupan masa lalu kedua perempuan itu.
Jupe dan maria Eva digambarkan sebagai sosok sensual yang kerap tampil seronok. Media juga memuat kekhawatiran banyak orang yang tidak percaya bahwa sosok macam Jupe dan Maria Eva bisa menjadi pemimpin yang punya kompetensi layaknya laki-laki dalam politik. Artinya, biarkan saja kedua perempuan ini , Maria Eva dan Julia Perez bersaing dengan laki-laki sebagai calon wakil bupati, biarkan masyarakat pemilih yang menilainya. (J006)