--> Skip to main content

SATPOL PP PERLU BELAJAR KOMUNIKASI

oleh Indiwan seto wahju wibowo Jakarta, 15/4 ( Antara)- Apa yang diharapkan muncul dari orang sipil yang dipersenjatai? Mungkinkah muncul rasa iba di dalam hati melihat sesamanya menderita dalam tekanan? Atau malah lebih garang dan arogan ketimbang `tentara' sesungguhnya? Itulah yang baru saja dipertontonkan oleh Satpol PP DKI petugas sipil yang dipersenjatai, mengedepankan tindak kekerasan hanya demi penegakan hukum lalu mengabaikan adanya dialog dan komunikasi persuasif dengan rakyat yang mestinya mereka hormati, hargai dan lindungi kepentingannya.

Sipil yang dipersenjatai itu, ternyata dengan garang dan buas, mengeroyok warga -bahkan anak-anak yang seharusnya mereka lindungi, dan tidak mempedulikan protes keras warga yang merasa haknya terinjak-injak. Yang muncul kemudian adalah kekerasan struktural, kekerasan yang seolah-olah diizinkan demi mengeksekusi putusan pengadilan atau keputusan pemerintah setempat.

Warga yang melihat dan menyaksikan arogansi dan kekejaman petugas Satpol PP akhirnya terpancing dan membalas hingga akhirnya kerusuhan besar pecah dan memakan korban. Akhirnya , di kawasan Mbah Priok bersimbah darah dan mengantarkan sejumlah nyawa manusia tewas sia-sia hanya demi menegakan aturan. Dalam bentrok fisik terbesar tahun 2010 ini, Satpol PP mendapat perlawanan sengit dari ribuan warga Koja yang tak setuju adanya penggusuran --atau istilah kerennya- renovasi makam Mbah Priok.

Bentrok di Tanjung Priok menggambarkan betapa pendekatan dialogis dan komunikasi persuasif kurang dikedepankan. Akibatnya ongkos sosial (social cost) yang harus dibayar oleh pemerintah sangat besar. Belum lagi kerugian yang ditimbulkan akibat rusaknya berbagai fasilitas umum. Soal penyebab kerusuhan juga masih simpang siur, tergantung siapa sumber yang ditanya. Dari versi Pemda DKI, sebenarnya dimulai dengan sengketa tanah antara ahli waris dengan PT Pelindo II yang mengelola kawasan pelabuhan. Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Pemrov DKI Cucu Ahmad Kurnia saat jumpa pers di Balaikota, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (14/4/2010), mengatakan, kasus bermula dari sengketa antara PT Pelindo II dengan ahli waris Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad atau Mbah Priok.

Sengketa tersebut telah terjadi selama bertahun-tahun dan telah dibawa ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Para ahli waris mengklaim kepemilikan tanah di lokasi tersebut dengan mendasarkan pada Eigendom Verponding no 4341 dan No 1780 di lahan seluas 5, 4 Ha. Namun PN Jakarta Utara pada tanggal 5 Juni 2002 telah memutuskan tanah tersebut secara sah adalah milik PT Pelindo II. Hal ini sesuai dengan hak pengelolaan lahan (HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 145,2 hektare.

Makam yang diyakini warga sebagai makam Mbah Priok pun sebenarnya sudah di pindahkan ke TPU Semper. "Makamnya sudah dipindahkan ke TPU Semper berdasarkan Surat Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta," ujar Cucu. Makam Mbah Priok dipindahkan pada tanggal 21 Agustus 1997 dengan surat keputusan No 80/-177.11 dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI. Pemprov tidak pernah akan melakukan penggusuran di area petilasan Mbah Priok yang hanya berukuran 20 meter persegi.

 "Tidak ada rencana menggusur makam, justru akan kita renovasi, akan kita perluas menjadi 100 meter persegi. Setelah itu kita akan daftarkan sebagai cagar budaya," tambah Cucu. Namun upaya eksekusi lahan dan bangunan liar di kawasan makam yang merupakan lahan milik Pelindo II telah dibelokkan isunya menjadi penggusuran makam mbah Priok. Itu dari versi Pemda, dari versi masyarakat berbeda lagi. Rencana Penggusuran lokasi makam Mbah Priok menimbulkan luka yang mendalam bagi warga Koja dan sekitarnya yang amat menghargai sosok legendaris Mbah Priok .

Makam yang disebut warga dengan Mbah Priok itu sebenarnya adalah makam dari Al Habib Hasan Muhammad Al Haddad yang lahir di Ulu, Palembang, Sumatera Selatan, pada tahun 1727. Habib Hasan ketika kecil belajar mengaji pada ayah dan kakeknya di Palembang. Kemudian setelah remaja, pergi selama beberapa tahun belajar agama Islam ke Hadramaut, Yaman. Di negeri ini, sekaligus menelusuri jejak leluhurnya, Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, shohib Ratib Haddad, yang berjasa dalam pengembangan syiar Islam di Indonesia. Kemudian Habib Hasan kembali ke Ulu.

Di sini Habib Hasan banyak membantu banyak ulama Banten yang melarikan diri dari kejaran kompeni ke Palembang, menyusul pemberontakan yang dilakukan petani. Habib Hasan lalu selalu diincar mata-mata Belanda. Pada tahun 1756 Habib Hasan bersama saudaranya, Habib Ali Al-Haddad, pergi ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam. Ia juga merencanakan berziarah ke makam Habib Husein Al Aydrus di Luar Batang, Jakarta Utara, Sunan Gunung Jati di Cirebon dan Sunan Ampel di Surabaya.

Berbagai cerita dan legenda dari mulut ke mulut mengatakan banyak gangguan terjadi dalam perjalanan dengan kapal yang selalu dibuntuti kapal mata-mata Belanda. Bahkan, sebelum sampai Batavia, kapal Habib Hasan dibombardir oleh armada Belanda, tapi dia selamat. Gangguan muncul kemudian adalah cuaca buruk. Legenda yang tersebar di masyarakat, kapal Habib Hasan kemudian digulung ombak besar.

Kerasnya hantaman ombak membuat hampir semua perlengkapan di dalam kapal hanyut. Yang tersisa hanya alat penanak nasi dan beberapa liter beras yang berserakan. Ombak berikutnya yang lebih keras membuat kapal itu akhirnya terbalik. Dalam keadaan kondisi yang lemah kepayahan, Habib Hasan dan Habib Ali terseret hingga ke semenanjung yang saat itu belum bernama. Saat ditemukan warga di sana, Habib Hasan sudah dalam keadaan meninggal.

Sedangkan Habib Ali selamat. Di samping keduanya, terdapat periuk dan sebuah dayung. Oleh warga, makam Habib Hasan kemudian diberi nisan berupa dayung yang ditemukan menyertainya mayatnya. Sementara periuk ditempatkan di sisi makam. Dari cerita rakyat , dari dayung yang dijadikan nisan tumbuh menjadi pohon tanjung. Namun periuk di sisi makam, kemudian terseret arus ombak hingga ke tengah laut. Sampai sekitar empat tahun setelah pemakaman, warga disana beberapa kali melihat periuk yang terbawa ombak kembali menghampiri makam Habib Hasan.

Itulah yang kemudian melatari semenanjung itu kemudian dinamakan Priok, dan kini dikenal dengan sebutan Tanjung Priok. Sedangkan sebutan "Mbah" yang disematkan kepada Habib Hasan merupakan penghormatan kepada ulama itu. Keluarga Habib Hasan di Palembang sendiri kemudian hijrah ke Batavia untuk menyebarkan agama Islam dan mengurus makam itu. Kerangka jasad Habib Hasan Al Haddad atau Mbah Priok telah dipindahkan ke Tempat Pemakan Umum (TPU) Budhidarma, Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara pada tahun 1997 lalu bersamaan dengan 32 rangka lainnya yang ada di TPU Dobo dengan luas 53.054 M2. Namun, pada tahun 1999 di bekas lokasi yang diyakini sebagai Makam Mbah Priok itu kemudian dibangun kembali layaknya pusara makam oleh ahli waris Habib Hasan Al Haddad yang kini dikelola Habib Ali Zaenal Abidin dan Habib Abdullah Sting.

Terlepas dari sejarah yang berbeda-beda versi dan penyebab munculnya konflik di kawasan makam Mbah Priok, arogansi Sat Pol PP dan kebiasaan mereka yang mengabaikan proses dialog dan komunikasi persuasif membuahkan hasil. Sat Pol PP kena batunya, karena menghadapi ribuan warga yang marah yang dilandasi kecintaan dan penghormatannya kepada Mbah Priok yang sudah melegenda . Tidak seperti `konflik' dan rusuh lain di tempat berbeda, perlawanan terhadap aksi penggusuran `komplek makam Mbah Priok' ini makin menghebat, karena warga Koja mendapatkan dukungan moril dan semangat dari warga Muslim Jakarta yang merasa hati nuraninya terinjak-injak.

Kekerasan Satpol PP ini mendapat `teguran' keras dari semua pihak. Bahkan dari orang nomor satu di negeri ini, Presiden SBY. "Agar dihentikan tindakan penertiban tempat atau ada yang mengatakan renovasi dari kompleks makam di situ. Saya minta status quo dan setelah segala sesuatunya dapat kita kelola dibicarakan sekali lagi secara baik dengan pemangku kepentingan," tutur SBY. Presiden secara tegas menyatakan benturan fisik di Tanjung Priok itu seharusnya dan sesungguhnya dapat dicegah serta dihindari jika petugas mau mengkaji situasi sosial yang ada di lapangan.

 "Insiden atau benturan seperti ini seharusnya dan sesungguhnya dapat dicegah dan dihindari karena begitu melihat situasi di lapangan atau situasi sosial yang tidak memungkinkan sebuah tindakan dilakukan meskipun tindakan itu secara hukum benar tetapi tidak tepat dipaksakan," katanya menegaskan. Kekerasan struktural? Melihat gaya kekerasan yang ditampilkan oleh Satpol PP, publik diingitakan soal kekerasan struktural.

Berdasarkan salah satu definisi kekerasan menurut John Galtung, pakar kajian kekerasan dan perdamaian, kekerasan terjadi ketika manusia dipengaruhi sedemikian sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Kekerasan terjadi ketika manusia terhambat potensinya sehingga tidak dapat bertumbuh kembang optimal. Jadi kekerasan tidak hanya dalam pengertian sempit perlakuan fisik, namun juga mental, yang terlihat maupun tidak terlihat, yang berefek langsung maupun tidak langsung.

Sedangkan definisi kekerasan struktural berbeda. Kekerasan struktural terjadi akibat adanya struktur di masyarakat yang menekan dan menghambat masyarakat untuk tumbuh kembang secara optimal. Kekuasaan yang represif, pemerintahan yang tidak adil dan diskriminatif adalah pelaku yang dominan pada kekerasan struktural di masyarakat. Salah satu bentuk kekerasan struktural menurut Galtung adalah ketidakadilan sosial. Ini terjadi ketika ada ketidakadilan yang dialami oleh sekelompok orang dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan ideologi.

Galtung mengatakan bahwa ketidakadilan sosial yang paling mendesak adalah kemiskinan. Di Indonesia sendiri, kasus kekerasan struktural bukan hanya terjadi saat konflik Mbah Priok ini, Dalam periode sebelum reformasi (1945-1999) terjadi beberapa peristiwa pelanggaran HAM berat Dalam sejarah Indonesia seperti ekses Demokrasi Terpimpin (antara lain penahanan tokoh Masyumi/PSI tanpa diadili); pembantaian 1965/1966; penahanan politik di kamp Pulau Buru (1969-1979); kasus Timor Timur; kasus Aceh, Petrus (Penembakan Misterius); seputar kerusuhan Mei 1998. Dalam hal ini Sat Pol PP lebih mementingkan sisi-sisi legal formal sesuai aturan hukum, dan tidak mendengar aspirasi rakyat. Adanya pembelaan Satpol PP terhadap satu pihak ( dalam hal ini PT Pelindo II) memang sesuai dengan keputusan hukum, tetapi tidak mengupayakan dialog dan komunikasi yang efektif terhadap warga yang dianggap 'melanggar' aturan.

Kekerasan ini kemudian dipertontonkan secara telanjang dan disaksikan secara nasional secara langsung lewat layar televisi oleh warga lain, sehingga makin menimbulkan antipati dan kebencian terhadap Sat Pol PP. Apalagi di televisi digambarkan 'adegan-adegan' yang menampilkan betapa sejumlah petugas Satpol PP mengeroyok warga pengunjuk rasa yang masih anak-anak. Inilah salah satu yang menyebabkan mengapa kebencian terhadap Satpol PP semakin besar dan warga sekitar Koja dan Priok berdatangan dan membantu warga yang ada di kompleks makam.

Dahulukan komunikasi persuasif Sebenarnya kerusuhan dan kekerasan di Koja, bahkan di tempat lain terkait arogansi dan kekerasan struktural Sat Pol PP bisa dicegah dan dikurangi apabila mereka mau 'belajar' komunikasi persuasif. Mestinya Sat Pol PP bisa menyampaikan komunikasi yang bertujuan untuk mengubah atau mempengaruhi kepercayaan, sikap, dan perilaku seseorang sehingga bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunikator.

Ada satu hal yang penting agar komunikasi bisa efektif yaitu adanya kepercayaan komunikan ( dalam hal ini warga) kepada sang komunikator ( dalam hal ini penguasa atau Sat Pol PP). Kepercayaan/ pengetahuan seseorang tentang sesuatu dipercaya dapat mempengaruhi sikap mereka dan pada akhirnya mempengaruhi perilaku dan tindakan mereka terhadap sesuatu. Dalam hal ini kepercayaan warga bahwa apa yang dilakukan Sat Pol PP ini memang benar-benar untuk kepentingan warga sendiri. Artinya kalaupun terjadi tindakan penggusuran ini dilakukan karena orang yang diminta pergi sudah tidak mengindahkan imbauan,perintah dan putusan hukum yang sah. Inilah sulitnya komunikasi persuasif, karena membutuhkan kemampuan komunikator untuk bisa mengubah pengetahuan seseorang akan sesuatu dipercaya dapat mengubah perilaku mereka untuk mendukung tindakan mereka membina penertiban demi kenyamanan warga sendiri.

Dalam definisi komunikasi yang dikemukakan beberapa ahli, walaupun pengungkapannya beragam, namun terdapat kesamaan telaah atas fenomena komunikasi. Kesamaan tersebut nampak dalam isi yang tercakup di dalamnya, yaitu adanya komunikator, komunikan, pesan, media/saluran, umpan balik, efek, dampak serta adanya tujuan dan terbentuknya pengertian bersama. Istilah persuasi mengutip buku 'Komunikasi Persuasif karya Soleh Soemirat H. Hidayat Satari, bersumber dari perkataan Latin, persuasio, yang berarti membujuk, mengajak atau merayu. Persuasi bisa dilakukan secara rasional dan secara emosional. Dengan cara rasional, komponen kognitif pada diri seseorang dapat dipengaruhi.

Aspek yang dipengaruhi berupa ide ataupun konsep. Persuasi yang dilakukan secara emosional, biasanya menyentuh aspek afeksi, yaitu hal yang berkaitan dengan kehidupan emosional seseorang. Melalui cara emosional, aspek simpati dan empati seseorang dapat digugah. Dari beberapa definisi komunikasi yang dikemukakan oleh para ahli, tampak bahwa persuasi merupakan proses komunikasi yang bertujuan untuk mempengaruhi sikap, pendapat dan perilaku seseorang, baik secara verbal maupun nonverbal. Komponen-komponen dalam persuasi meliputi bentuk dari proses komunikasi yang dapat menimbulkan perubahan, dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar, dilakukan secara verbal maupun nonverbal. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam komunikasi persuasi meliputi kejelasan tujuan, memikirkan secara cermat orang-orang yang dihadapi, serta memilih strategi yang tepat.

Untuk lebih efektif dan bisa mempengaruhi, tentunya Pemda DKI dalam hal ini pihak terkait mesti bisa melakukan pendekatan dialog dengan warga sekitar Makam Mbah Priok, menjelaskan secara transparan apa yang akan dilakukan di lokasi makam tersebut. Dengan memberi informasi yang jelas dan rasional, secara kognitif tercipta pemahaman mengapa makam tersebut perlu direnovasi.

Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga diminta memberikan penjelasan seterang-terangnya kepada publik tentang rencana ingin dilakukan terhadap kompleks makam tersebut. Mereka juga bisa meminta bantuan para pemuka agama dan tokoh masyarakat untuk memberikan rekomendasi positif untuk mencari solusi terbaik dari masalah tersebut. Memang dialog dan komunikasi persuasif ini membutuhkan waktu, dan harus intens dilakukan karena untuk menyentuh sisi afektif warga apalagi untuk mengubah perilaku warga --yang dianggap tidak sesuai dengan hukum--membutuhkan usaha keras. Strategi yang bisa dilakukan adalah dengan merangkul ulama serta Habib setempat yang memahami emosi dan psikologis sehingga tercipta empati dikalangan warga.

Kalau ini dilakukan maka tak akan terjadi kerusuhan sia-sia dengan biaya besar yang harus ditanggung. Sependapat dengan Presiden SBY yang secara tegas menyatakan benturan fisik di Tanjung Priok itu seharusnya dan sesungguhnya dapat dicegah serta dihindari jika petugas mau mengkaji situasi sosial yang ada di lapangan. "Insiden atau benturan seperti ini seharusnya dan sesungguhnya dapat dicegah dan dihindari karena begitu melihat situasi di lapangan atau situasi sosial yang tidak memungkinkan sebuah tindakan dilakukan meskipun tindakan itu secara hukum benar tetapi tidak tepat dipaksakan," kata SBY.

Artinya dengan adanya komunikasi persuasif, kekerasan fisik bisa dihindari dan idealnya kehadiran Sat Pol PP memang menyejukkan, dibutuhkan warga dan memang melindungi warga dari kepentingan perseorangan dan kelompok yang bermain-main dengan hukum atau mereka yang memang memanfaatkan kelemahan penegakan hukum di negeri ini. (T.J006)
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar