--> Skip to main content

IMORTALITAS KEKUATAN OPINI MEDIA MASSA

Jakarta, 5/11 (ANTARA)- Kata-kata di media dianggap punya kekuatan, meski ada juga yang menyangsikannya. Tapi situasi akhir-akhir ini di Indonesia jelas-jelas menunjukkan betapa powerfulnya media. Betapa kuat kata-kata di media dan dipersepsi sebagai kekuatan yang ‘imortalitas’ yang ‘nggak ada mati-matinya’ (meminjam dialek Betawi).



Tengok saja, dalam kasus perseteruan ‘cicak versus buaya’ yang sempat membuat berang banyak orang. Bahkan pemberitaan yang mengalir semakin membuktikan bahwa media punya kekuatan untuk mengarahkan opini public. Ibarat kata, semakin dilarang semakin asyik. Semakin diimbau malah jadi kebiasaan.

Kata ‘cicak dan buaya’ sebenarnya bukan produk murni dari pers, tetapi justru pers diminta tidak mengembangkan istilah itu lebih jauh. Ini membuktikan bahwa ada semacam kekhawatiran di kalangan tertentu ( terutama pemerintah) terjadinya ‘persepsi’ yang negative di tengah masyarakat, dan media massa turut andil memperkeruh suasana. Istilah Cicak vs Buaya mencuat menyusul menghangatnya konflik antara Kepolisian dan KPK. Istilah itu keluar dari Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji saat dirinya dipojokkan oleh KPK dalam kasus Bank Century.

Istilah cicak dan buaya dalam masalah yang menimpa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memengaruhi munculnya empati masyarakat, kata psikolog sosial Universitas Diponegoro Semarang, Ahmad Mujab Masykur.
"Secara psikologis, istilah itu memicu munculnya empati masyarakat yang besar terhadap KPK yang dianggap sebagai cicak dan berada dalam posisi lebih lemah," katanya di Semarang, Rabu.

Ia mengemukakan, masyarakat pasti akan menggalang dukungan dan tidak akan membiarkan pihak yang lemah didera permasalahan. Apalagi, katanya, pihak yang lemah itu dianggap berperan penting seperti halnya KPK yang bertugas memberantas korupsi.
"Masyarakat masih menaruh harapan yang besar terhadap peran KPK sebagai lembaga yang menangani pemberantasan korupsi sehingga mereka tidak bisa terima ketika KPK didera permasalahan," katanya. Ia mengatakan, dukungan dari berbagai lapisan masyarakat terhadap KPK pasti akan semakin mengalir dan hal itu wajar mengingat KPK selama ini dianggap sebagai pionir pemberantasan korupsi.
"Masyarakat menempatkan KPK sebagai benteng terakhir upaya pemberantasan korupsi, setelah kasus korupsi terkesan tidak bisa diselesaikan kepolisian dan kejaksaan," katanya.
Siapa Cicak siapa Buaya? Kalau KPK dianggap sebagai cicak maka siapa yang dianggap sebagai Buaya? Meski sudah diminta agar istilah itu tidak dilansir di media tetapi siapa yang bisa menahan serangan deras media massa? Kalaupun ada permintaan itu hanya terbatas sebagai imbauan bukan larangan.
Kata cicak merujuk pada binatang kecil yang ada di rumah. Sedang buaya? Meminjam istilah Renald Khasali . Ada makna khusus di balik kharakter buaya . Berdasarkan penelitian Karakter buaya yang berdarah dingin, diamati oleh White sebagaimana dikutip Khasali sebagai karakter ideal untuk menyerang.
Selain ”sulit mati”,karena kulitnya yang keras, ia bisa hidup di mana saja. Ia tidak perlu pergi berburu beramai-ramai.Pergi sendirian pun dilakoninya dengan penuh keberanian. Ia memisahkan diri dari kerumunannya begitu ia melihat sasaran.Matanya tajam mengintai, tenang, namun begitu lawannya lengah,ia tak memberi kesempatan mangsanya untuk berkutik.
Selain itu, orang berkarakter buaya juga memiliki sifat-sifat positif lain. Ia memiliki jiwa disiplin, tidak suka menunda-nunda, selalu mem-follow-up, dan kuat dalam hitung-hitungan ekonomi. Itu sebabnya, Khasali menilai dia lebih suka mempunyai staf atau atasan yang berkarakter ”buaya”. Namun seperti mamalia yang terlalu guyub, reptil yang terlalu ”buaya”juga bisa menjadi counterproductive dan bodoh. Buaya seperti ini sangat arogan dan sangat percaya pada kekuasaan dan kekuatan yang dimilikinya untuk mengoyak-ngoyak pertahanan sasarannya.
Ia hanya fokus pada sasarannya tanpa menghiraukan kerusakan habitat akibat ulahnya.

Makna negatif

Lalu bagaimana peran media dalam hal ini? Mengapa istilah cicak dan buaya menjadi masalah besar hingga kapolri bahkan Presiden meminta ---lebih tepatnya mengimbau pers , agar tidak menggunakan istilah ini?.
Kapolri, Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri sendiri mengakui bahwa istilah Cicak vs Buaya dikeluarkan oleh oknum Jenderal Polisi. Danuri menekankan bahwa istilah itu hanya istilah oknum. Menurutnya, istilah itu tak pernah dipakai dalam proses hokum di Polri. Bambang Hendarso pun meminta agar media massa tidak membesar-besarkan istilah ‘buaya’ dan ‘cicak’ sebagai istilah Polri vs KPK. Pernyataan tersebut disampaikan Kapolri dalam pertemuan dengan Pemimpin Redaksi sejumlah media massa di kantor Menkominfo, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (02/11).Pada kesempatan tersebut Kapolri meminta maaf karena istilah tersebut membuat sejumlah kalangan merasa gerah.
“Kami mohon maaf. Sebutan itu muncul dari anggota kami. Saya berharap agar istilah cicak-buaya jangan diteruskan. Karena sebenarnya kami menjadi bagian itu,” ujar Kapolri, Bambang Hendarso Danuri.
Sementara itu Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring mempersilahkan media tetap menulis Cicak dan Buaya. Dia menegaskan tidak akan ada pembungkaman media terkait kisruh antara lembaga kepolisian dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.Departemen Kominfo sendiri, kata Tifatul, mendukung adanya kebebasan pers, sehingga ia tidak akan menghalang-halangi media yang menulis istilah Cicak dan Buaya.
lain lagi dengan SBY. Permintaan untuk tidak meneruskan istilah Cicak dan Buaya juga diminta Presiden SBY lewat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa terganggu dengan penyebutan Cicak vs Buaya dalam kasus penahanan dua pimpinan nonaktif Komisi Pemberantas Korupsi oleh kepolisian. "Presiden kecewa dan terganggu dengan istilah Cicak dan Buaya," ujar juru bicara Presiden, Dino Patti Djalal di Istana Presiden, Jakarta, Selasa, 3 November 2009. Menurut dia, kekecewaan SBY dilandasi oleh harapan Presiden yang menghendaki agar semua lembaga, baik Kepolisian dan Kejaksaan Agung tetap terjaga kewibawaannya. "Jadi, tidak ada satupun lembaga yang dikebiri," katanya. "Presiden ingin semua lembaga terus berkarya untuk bangsa."
Lalu mengapa kata-kata Cicak dan buaya ini menjadi masalah? dan mengapa media massa diminta untuk tidak membesar-besarkannya? Kalau ditelusur-telusur dan dibenturkan dengan teori-teori Komunikasi, permintaan ini justru menunjukkan bahwa media massa sangat mampu bahkan sangat mungkin menciptakan opini publik yang bisa contraproductive bagi kepentingan pemerintah.
Imbauan ---istilah yang muncul di era reformasi-- ini disampaikan kepada para pemimpin redaksi atau Redakstur senior media massa agar menghentikan polemik cicak dan buaya karena istilah itu menunjukkan ada pihak yang lemah ( dalam hal ini KPK sehingga diibaratkan sebagai cicak) dan ada pihak yang kuat dan 'besar' ( dalam kasus ini polisi yang digambarkan sebagai buaya).
Kata Cicak dan Buaya bisa dikatakan kata yang punya unsur pengasaran (disfemia), yaitu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya kasar. Kata cicak diberikan kepada pihak yang dianggap lemah dan kecil yang berani melawan buaya yang dari fostur tubuh jelas beratus- bahkan beribu kali lipat lebih besar darinya.
Usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan orang dalam situasi yang tidak ramah atau menunjukkan kejengkelan, misalnya kata atau ungkapan mencaplok dipakai untuk mengganti mengambil dengan begitu saja seperti dalam kalimat dengan seenaknya Israel mencaplok wilayah mesir itu; dan kata mendepak dipakai untuk mengganti kata mengeluarkan seperti dalam kalimat Dia berhasil mendepak bapak A dari kedudukannya. Begitu juga dengan kata menjebloskan yang dipakai untuk menggantikan kata memasukkan seperti dalam kalimat polisi menjebloskan ke dalam sel.
Namun, banyak juga kata yang sebenarnya bernilai kasar tapi sengaja dipakai untuk memberi tekanan tetapi tanpa terasa kekasarannya. Misalnya pada kata menggondol yang biasanya dipakai untuk binatang seperti anjing menggondol tulang,; tetapi digunakan seperti dalam kalimat Akhirnya regu bulu tangkis kita berhasil menggondol pulang piala Thomas Cup itu.
Bila dilihat dari kasusnya, kata cicak itu diambil oleh 'oknum; petinggi Polri sebagai ungkapan terhadap pihak yang kecil ( dalam hal ini KPK yang diibaratkan cicak) yang berani-beraninya melawan pihak yang lebih besar ( melawan Buaya). Upaya pengasaran ini dan upaya peioratif ini akhirnya dibawa oleh media dan menjadikannya sebagai 'opini publik' yang meluas.
Kontan saja, Polisi seperti 'kebakaran jenggot', mereka tidak mengira bahwa istilah kecil yang dianggap 'biasa' muncul dalam pembicaraan biasa di kalangan mereka, bisa jadi bumerang yang siap-siap memangsa mereka. Ini membuktikan bahwa media massa memang berwibawa. Ini menunjukkan bahwa kata-kata tak lagi jadi sekedar kata-kata bila sudah diolah media. Dia bisa menjadi opini publik yang dampaknya bisa meluas kemana-mana. Apalagi di era reformasi yang menempatkan pemerintah tidak lagi 'berkuasa' mengendalikan pers kecuali hanya mengimbau dan meminta tetapi tidak berani memaksa.

opini media perkasa?

Dengan adanya imbauan ini membuktikan bahwa opini media memang sangat penting untuk diperhatikan. Paling tidak meminjam istilah Prof Dr Ibnu Hamad Guru Besar UI , media massa saat ini telah menjadi sumber informasi di samping sebagai saluran komunikasi bagai para politisi. cara-cara media menampilkan peristiwa-peristiwa politik dapat mempengaruhi persepsi para aktor politik dan masyarakat mengenai perkembangan politik.
Dalam buku 'Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa ini, Ibnu Hamad media massa melalui fungsi kontrol sosialnya bersama institusi sosial lainnya, secara persuasif media massa bisa menggugah partisipasi publik untuk ikut serta merombak struktur politik.
Dalam kasus ini, kontan banyak masyarakat menyampaikan simpati kepada KPK yang digambarkan 'lemah' lewat analogi cicak, dan banyak memicu aksi demonstrasi terlebih saat pimpinan non aktif KPK sempat ditahan meski akhirnya 'dibebaskan' lagi. Bila dilihat dari peranan media , aksi demo itu muncul karena adanya opini yang muncul di media massa yang 'mendeskriditkan' buaya ( dalam hal ini pihak Polri) dan gara-gara opini ini mereka kahirnya dibebaskan karena Polri mendapat banyak tekanan dari berbagai pihak.
Masih menurut Ibnu, keikutsertaan media dalam mengubah sistem politik tiada lain adalah melalui pembentukan opini publik atau pendapat umum ( Public opinion) yaitu upaya membangunkan sikap dan tindakan khalayak mengenai sebuah masalah politik dan atau aktor politik. Dalam kerangka ini, media menyampaikan pembicaraan-pembicaraan politik ( lewat acara dialog, talk news, break news atau ulasan mendalam di media).
Bentuk pembicaraan politik tersebut dalam media massa antara lain berupa teks atau berita politik yang lagi-lagi di dalamnya terdapat pilihan simbol politik ---dalam hal ini fenomena cicak versus buaya-- dan fakta politik. Karena kemampuan inilah , media massa sering dijadikan dan 'menjadikan' diri mereka sebagai alat propaganda.
Karena itu tak mungkin bisa membendung opini media yang sedikit negatif kepada tingkah laku Polri ( baca Pemerintah) terkait penanganan kasus KPK-Polri , tetapi seharusnya pihak Polri memberi Opini Publik tandingan yang tak kalah pentingnya, misalnya dengan mengusut tuntas dan memberi tindakan tegas kepada siapapun termasuk kepada oknum pejabat Polri yang memang bersalah dan terkait baik langsung maupun tidak langsung dalam carut marut kasus Anggoro- Anggodo ini.

* penulis adalah wartawan ANtara dan tengah kuliah di S3 Komunikasi UI
(T.J006)
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar