the death of investigative journalism
Waspadai “the death of investigative journalism”….why?
Itu adalah kalimat yang membuat pers dan publik bertanya-tanya, ada apa dengan investigative reporting. Mengapa dia harus menerima ancaman lonceng kematian seperti itu? Padahal yang jelas, reportase investigasi justru menjadi ancaman bagi “penguasa yang salah”, karena mereka akan membongkar segala yang tidak benar!
Lantas muncul pertanyaan …apa itu reportase investigasi?
Kalau boleh dikatakan wartawan membangun kelas, maka wartawan investigasi bisa dimasukan dalam golongan kelas yang tertinggi, “the elite class”. Mereka berbeda dengan wartawan pada umumnya. Hasil liputan investigasi merupakan “mahkota” , maha karya jurnalistik tertinggi. Jurnalisme investigatif memang berbeda dengan kegiatan jurnalistik pada umumnya, seperti yang diungkapkan Hugo De Burgh (dalam Septiawan, 2004). Terminologi investigative journalism memberikan atribut penyelidikan, keingintahuan dan misi tertentu dari para wartawannya. Jurnalisme ini tidak mau terjebak dengan adonan pemberitaan “entertainment” yang sudah sangat lama “menghajar” benak pembaca atau audiensnya. Liputan beritanya bukan lagi berdasar agenda pemberitaan harian yang sudah terjadwal di ruang redaksi Wartawan investigasi tidak bekerja berdasarkan berdasarkan pengagendaan berita seperti dalam liputan reguler. Kerja peliputannya tidak lagi dibatasi tekanan-tekanan waktu. Ada kekhususan kerja. Wartawan kelas ini menunjukkan cara lain, dan menyatakan premis-premis salah dari kekuatan dan kecanggihan informasi modern (Lloyd, 1998). Mereka menganggap pelbagai media informasi telah demikian kuat dan canggihnya menancapkan imej kebenaran yang harus dipercaya masyarakat. Untuk itu mereka lebih menganalisis pelbagai data/informasi yang layak dilaporkan. Mereka membantu pertanyaan masyarakat, mengenai sebuah situasi atau pertanyaan atau kenyataan, dengan cara berbeda dari pemberitaan biasa. “Mereka mencoba untuk mendapatkan dasar kepastian apa yang telah terjadi, kekuatan-kekuatan yang ada dibaliknya,” kata Clive Edwards (dari programa Panorama BBC). Para wartawan investigatif memaparkan kebenaran yang mereka temukan, melaporkan adanya kesalahan-kesalan, dan menyentuh masyarakat yang serius terhadap soal yang dikemukakan, mengafeksinya dengan bacaan moral yang dikumpulkannya. Tujuan jurnalisme investigasi : Tujuannya untuk memberitahu kepada publik adanya pihak-pihak yang telah berbohong dan menutupi kebenaran. Dari tujuan itu dapat terlihat adanya tujuan moral yang hendak ditegaskan. Mereka dimotivasi oleh hasrat untuk mengkoreksi keadilan, menunjukkan adanya sebuah kesalahan. Hal itu bila disimak memberikan “roh” bagi isitilah yan diklaim pers sebagai “the fourth estate of democracy”, yakni menegaskan moralitas “watchdog” pers. Pada sisi akhir, pekerjaan jurnalisme investigatif adalah mengajak publik untuk memerangi pelanggaran yang telah berlangsung dan dilakukan pihak-pihak tertentu. Pengertian Reportase Investigatif Apa sebenarnya investigative reporting itu? Reporting mengambil asal kata Latin reportare, yang berarti “membawa pulang sesuatu dari tempat lain”. Bila dikaitkan dalam dunia jurnalisme, hal itu menjelaskan seorang wartawan membawa laporan kejadian dari sebuah tempat yang telah terjadi sesuatu. Sedangkan investigative dari kata Latin Vestigum berarti “jejak kaki”, yang menyiratkan pelbagai bukti yang telah menjadi suatu fakta. Dengan demikian bila digabungkan, reportase investigatif, secara harfiah mengartikan membawa pulang jejak kaki dari tempat lain. Jadi reportase investigatif memang merupakan sebuah kegiatan peliputan yang mencari, menemukan, dan menyampaikan fakta-fakta adanya pelanggaran, kesalahan, atau kejahatan yang merugikan kepentingan umum atau masyarakat. Namun demikian, investigative reporting bukanlah pekerjaan yang semata-mata untuk membongkar aib-aib pihak tertentu, mnejatuhkan lawan atau membunuh larakter oranglain (character assasination) Definisi lain menyatakan: Chriss White : Pekerjaan jurnalisme investigatif memiliki dua tujuan. Pertama, untuk mengungkapkan danmendapatkan sebuah kisah berita yang bagus, dan kedua, mnejaga masyarakat untuk mmeiliki kecukupan informasi dan mengetahui adanya bahaya di tengah kehidupan mereka. GoenawanMuhammad : Investigasi menjadi sebuah kegiatan jurnalisme yang hendak “membongkar kejahatan”. William Rivers & Cleve Mathews : Reportase investigasi adalah pekerjaan membuka pintu mulut yang tertutup rapat. Djafar H Assegaf : Investigatif reporting adalah teknik mencari dan melaporkan sebuah berita dengan cara pengusutan. Steve Weinberg : reportase investigatif adalah reportase dari inisitif dan hasil kerja pribadi, yang penting bagi pembaca, pemirsa, namun oleh beberapa pribadi/organisasi tetap ingin dirahasiakan (mengandung arti, wartawan sendirilah yang memutuskan dan bukannya atas permintaan pejabat atau orang lain). Sejarah Jurnalisme Investigasi Di Amerika: Dari crusading sampai Muckraking Jurnalisme investigasi sebenarnya memiliki jejak yang panjang dalam sejarah pers AS. Tokoh-tokoh pers investigasi bahka menggariskan ciri pemberitaannya sebagai “truly watchdog”. William Rivers & Cleve Mathews memaparkan bahwa sejarah investigasi bisa ditarik sebelum negara AS itu sendiri berdiri. Tahun 1690, Benyamin Harris menginvestigasi pelbagai kejadian masyarakat dan melaporkannya dalam Public Occurances, Both Forreign and Domestick, sebagai kegiatan yang menentang pemerintahan kolonial Inggris. Dengan kata lain ia telah melahirkan semangat crusading (jihad) pada awal kelahirannya. Fase selanjutnya sprit crusading menemukan bentuk yang lebih formal melalui penerbitan “England Courant” (1721) yang dilakukan James Franklin yang menegaskan sikap oposan terhadap Inggris. Istilah investigasi pertama kali muncul dari Nellie Bly yang menjadi reporter di Pittsburgh Dispatch pada 1890. Ia memulai gaya jurnalistiknya itu mengenai kehidupan buruh dibawah umur yang dipekerjakan dalam kondisi yang buruk secara secara serial. Meski kemudian ia diberhentikan atasannya atas desakan lembaga yang memasang iklan di koran tersebut. Namun Bly tidak surut oleh halangan kelembagaan media massa yang berhadapan dengan struktur masyarakat industri yang sedang tumbuh di AS dan juga menjadi awal mula roda kapitalisme. Bly terus mengembangkan liputan investigasinya sampai kemudian direkrut Jospeh Pulitzer, tokoh legendaris pers AS, pada 1887, untuk menulis di koran The New York World. Sejak itu ia masuk dalam persoalan kaum buruh di wilayah kumuh. Laporan investigasinya kemudian menuntut perubahan masyarakat terhadap ketidaklayakan hidup pekerja kelas bawah itu. Pulitzer menekankan dua hal pokok dalam reportase investigatif, yaitu, membawa enlightment (pencerahan ) kepada publik dan juga sebagai kegiatan fighting reporting (reportase perlawanan). Jadi kerja peliputan juralistik semacam itu dimotivasi oleh: semangat, ketrampilan, keberanian dan imajinasi. Era Muckracking Dengan demikian, sejak awal jurnalisme investigasi memunculkan perlawanan terhadap kebijakan penguasa. Pada awal abad ke-20, jurnalisme investigasi menemukan wujudnya dalam liputan yang terorganisir. Sifat laporannya di awal dekade 1990-an teralokasi pada format “muckraking”. Investigative journalism juga disinonimkan dengan istilah jurnalisme “crusading” sebagai upaya pemberantasan. Istilah crusading dalamsejarah pers Amerika menyangkut periode “muckraking” yang mengekspos perilaku antisosial dan kejahatan di dunia politik pemerintahan dan bisnis. Sejak tahun 1900, para muckrakers mengembangkan liputan korupsi dan ketimpangan sosial yang merugikan masyarakat Amerika. Presiden Theodore Roosevelt adalah pemberi nama muckrakers kepada para reporter penyelidik yang saat itu sibuk menyoroti kotoran (muck) dan tidak lagi melihat sisi positif lain dari kehidupan Amerika. Dalam kamus Webster, kata muckrake berarati mencari-cari, menyoroti atau menunjukkan adanya korupsi baik dengan bukti atau dengan dugaan, mengingat tingkat keresahana yang tinggi di masyarakat. Roosevelt menjadi berang setelah membaca laporan investigasi yang secara serial dilaporkan David Graham Phillips, karena ia membuka persoalan korupsi yang terjadi di dunia politik Amerika saat itu. Istilah reportase investigasi kian populer setelah tokoh pers dunia Pulitzer berseteru dengan Presiden Roosevelt. Ketika itu Pulitzer membongkar kasus suap dalam pembelian tanah untuk kanal Panama yang diduga berkaitan dengan Roosevelt. Pada tahun 1902, jurnalisme investigasi memang sudah menjadi sebuah gerakan yang berpengaruh yang menunjukkan sikap jurnalismenya kepada reformasi sosial. Sejak itulah jurnalisme investigasi menjadi bidang usaha penerbitan pers yang menguntungkan (walau dalam perkembangannya kemudian banyak yang bangrut karena persoalan dana) . Kegiatan tersebut bahkan melebarkan sayap pemikiran para pekerja pers untuk masuk pada masalah kseharian masyarakat Amerika. Para jurnalisnya bekerjasama dengan para politisi, pemimpin kaum buruh, para reformer dan kalangan intelektual. Para jurnalisnya telah menjadi crusader, pejuang perbaikan yang membantu masyarakat di era kebangkitan”kemenangan Amerika”, yaitu masa dimana rakyat Amerika mulai melepaskan diri dari berbagai persoalan internal kebangsaan. Dari sejarah perjalanan yang diawali masa crusading dan diteruskan pada era muckraking yang popler sekitar tahun 1902-1912 (pers menonjol sebagai aktor politik, bahkan berani menentang kebijakan luar negeri AS) hingga memunculkan fenomena jaman “the jorunalist as pundit”. Sebutan “pundit” diberikan karena posisi wartawan yang telah menjadi “pembuat opini”. Posisi itu ditegaskan lagi oleh Walter Lipmann bahwa pers sebagai kekuatan yang mempengaruhi masyarakat melalui perannya dalam membentuk kerangka opini, agenda-setting pada kejadian politik. Dengan kata lain pers investigatif telah membuka ruangnya bagi “political class” yang dengan kental membawa semangat partisan. Meski demikian, orientasi politik baik ideologi maupun kepartaian yang ada padanya tidak menghilangkan mereka sebagai pembawa suara “pencerahan” yang otoritatif. Pada sisi ini pekerjaan investigative reporting mempunyai akses pada realitas politik masyarakat Amerika (yang dengan mudah dilihat pada saat kampanye Pemilu). Reportase investigasi semakin berkibar di tahun 1972, menyusul karya investigasi dua wartawan The Washington Post yang menghebohkan dunia, yaitu Carl Bernstein dan Bob Woodward, yang berhasil mengekspos praktek politik curang Partai Republik terhadap lawannya Partai Demokrat. Presiden Richard Nixon dipaksa mengundurkan diri setelah kasus penyadapan di markas kampanye Partai demokrat di Gedung Watergate, Washington, diungkap habis-habisan oleh Woodward dan Bernstein. Mulanya kasus in seperti pencurian biasa, namnkedua wartawan itu mencium adanya keanehan. Lalu dnegan teknik pengusutan, keduanya berhasil membuktikan bahwa pelaku pencurian (informasi) terkait dengan “all the President’s Men” di Gedung Putih. Kisah Watergate kemudian mneaid mitologi populer bahwa pena seorang wartawan bisa menjatuhkan kekuatan presiden dari sbeuah bangsa yang menguasai dunia. Semuanya itu dimulai dari laporan dua wartawan Post tetang penyalahgunaan kekuasaan prerogratif. Demikian monumentalnya karya mereka berdua sehingga diterbitkan dalam buku All The President’s Men. Kisah keduanya kemudian mengimbas pada pemahaman peranan kebebasan pers dan tanggungjawab wartawan ketika berhadapan dengan masyarakat, khususnya di sebuah bangsa yang pemerintahannya diliputi penyalahgunaan kekuasaan. Di Indonesia: Dari Indonesias Raya ke Era Reformasi Sejarah reportase investigasi di Indonesia cukup muram dan panjang, khususnya di era Orde Lama dan Orde Baru, yang dipandang penguasa sebagai buah terlarang. Kontrol pemerintah ats pers juga snagat kuat sehingga media massa umumnya takut dan memilih tiarap, ketimbang hak hidupnya dicabut atau dibreidel. Suasan gerah seperti itu membuat pelaporan selidikan tidaklah populer dan menyuburkan “jurnalisme katanya”. Meski dalam liputan kriminal dicoba untuk “hidup”, namun masih sebatas tradisional yang hanya melibatkan orang biasa. Media massa lebih menghindari ketika terkait dengan anak pejabat dan militer. Demikian menakutkannya, sehingga tidak ada media yang terang-terangan menjual dirinya sebagai media investigasi. Namun demikian, bukannya tidak ada media “usil” yang cukup berani memasuki dunia investigasi. Salah satunya yang amat fenomenal adalah harian Indonesia Raya (1945-1974). Berita-beritnya mencerminkan sikap untu “berjihad”. Dibawah Muchtar Lubis harian ini tampil berwibawa di era Orde Baru dengan membongkar korupsi di tubuh Pertamina (1969) dan kasus korupsi di Bulog (1972). Sebelumnya Indonesia Raya juga dengan berani memastikan pernikahan Presiden Sekarno dengan Hartini. Pernikahan keduanya memang sudah menjadi gunjingan di tingkat elit,namun tidak ada media yang bisa memastikannya. Muchtar Lubis terjun langsung ke cisarua secara sembunyi-sembunyi untuk menemui orang yang menikahkan. Selaian itu, Muchtar juga mendapatkan salinan akte nikahnya sekaligus. Indonesia Raya terbit. Heboh. Kasus lainnya yang terungkap adalah hospitality committee saat berlangsungnya Konferensi Asia Afrika di bandung 1955. Indonesia Raya membongkar kegiatan komite tersebut yang menyediakan wanita-wanita penghibur untuk peserta konferensi. Walau akhirnya Indonesia Raya kena “gebukan” juga dari pemerintah kala itu dan terkubur kemudian. Era Orde Baru Pengaruh kekuasan yang represif di masa Orde Baru telah membuat istilah investigasi tidak dikenali secara utuh. Pada tahun 1980-an laporan investigasi hanya sebagai sebuah “perkenalan”. Menurut Wina Armada, laporan investigasi belum menjadi sesuatu yang melembaga di tubuh pers nasional. Hal itu terlihat dari laporan investigasi yang belum memiliki dampak luas. Baru dikenal sebagai sebuah pendekatan temporer yang bisa dihitung dengan jari. Pers nasional lebih suka menggantinya dengan istilah “depth reporting” yang cenderung pada pengumpulan kelengkapan data, ketimbang membongkar aib. Sangat berbeda dengan semangat Jihad yang diusung Indonesia Raya. Beberapa media lain yang kemudian mencoba bangkit dan berani mengusung pelaporan investigasinya langsung mendapat gebukan dari penguasa. Pukulan itu pernah menimpa Kompas, Sinar Harapan, Prioritas, Tempo, Editor, dan Detik. Era 1990-an ketika pemerintahan Orde Baru mulai keteteran menghadapai gejolak tuntutan kebebasan pers pelbagai media mulailah menurunan liputan investigasinya. Meski sempat dibreidel pada 1994, Tempo kembali terbit Oktober 1998, Tajuk juga berani muncul dengan menhatakandiri sebagai majalah berita inevstigasi pada 1996. Barulah pada era reformasi fase dimana investigasi menjadi penting, meksi harus meminta korban lebih dulu seperti, kasus Udin, wartawan Bernas-Yogyakarta, Tempo yang mengungkap skandal pembelian kapal perang Indoensia dari ar,ada bekas jerman Timur yang melibatkan Soeharto, Habibie dan Lim Soei Liong. Memilih Sasaran untuk Investigasi Dalam pandangan Burgh, pelbagai sasaran yang dapat diinvestigasi adalah hal-hal yang meliputi: Hal-hal yang memalukan (terkait hal ilegal atau pelanggaran moral) Penyalahgunaan kekuasaan Hal aktual yang menjadi pembicaraan publik Keadilan yang korup Menipulasi laporan keuangan Pelanggaran hukum Hal-hal yang sengaja disembunyikan Reportase harian juga bisa menjadi tumpukan gagasan-gagasan untuk suatu proyek investigasi, seperti yang dimulai wartawan investigasi Bob Woodward, si pembongkar kasus watergate. Ia memulainya dari surat kabar mingguan di pinggiran kota Washington DC terhadap hak-hal yang kecil, namun kemudian mengantarnya ke Wahington Post. Harsono mengindikasikan kerja liputan investigasi berciri : riset dan reportase yang mendalam untuk membuktikan kebenaran/kesalahan hipotesis; paper trail (pelacakan jejak dokumen); wawancara mendalam (mintakan background; dan memakai metode penyidikan polisi (penyamaran, pengunaan kamera/rekaman tersembunyi) Memulai Investigasi Salah satu hal yang banyak membedakan antara in-depth reporting dengan investigative reporting adalah ada atau tidaknya Hipotesis.Secara sederhana kegiatan liputan investigasi umumnya terbagi ke dalam dua bagian proses peliputan. Pertama, menelusuri pelbagai kasus/skandal/permasalahan yang mesti ditindaklanjuti. Kedua, jika didapat, memasuki tahap “serius”, yaitu memulia kerjanya. Sheila Coroner, Direktur Philipines center for Investigative Journalism (PCIJ) mengatakan, perlunya menetapkan pengaturan sisitematika kerjanya. Secara umum ada dua tahapan kerja. Pertama, penjajakan dan pekerjaan dasar. Kedua, penajaman dan penyelesaian investigasi. Rumusnya: 2 bagian + 7 Rincian Langkah. Bagian pertama (persiapan) Petunjuk awal (first lead) Investigasi pendahuluan (initial investigation) pembentukan hipotesa (forming an investigation hypothesis) Pencarian dan pendalaman literatur (literatur reserach) Wawancara pakar dan sumber-sumber ahli (interview experts) Penjajakan dokumen (finding a paper trail) Wawancara sumber-sumber kunci (interviewing key informants) Ad.1 minat. melihat adanya persoalan di masyarakat, mulai membuka kasus (kasus SARA, konflik, kerusuhan Mei, sosok dukun santet, dll) Ad.2 penelusuran lebih lanjut bisa tinjau lapangan, memulai riset data atau wawancara awal Ad.3 dapatkan dugaan atau gambaran kasus yag telah terjadi. Dari sinilah muncul ketepatan arah penyelidikan. Baca juga literur sehingga dapat kerangka pemikiran agar tahu bagaian persoalan itu bisa terjadi sehingga tahuasusi-asumsi yang melatarbelakangi sebab-sebab kasus itu Ad.4 pendalaman literatur perlu untuk mendapatkan penguatan termasuk penguasaan terhadap persoalan Ad.5 setelah itu, perlu wawancara dengan pakar untuk memperoleh masukan/paparan pengetahuan dari orang-orang yang memiliki legitimasi di keahlian tertentu Ad.6 dari wawancara diperoleh bentukan material investigasi/dokumen yang mesti dicari sebagai bahan pembuktian, guna memastikan benar tidaknya pelanggaran yang telah terjadi (kunci/proses yang sangat penting) Ad.7 wawancara lagi dnegan orang-orang yang memiliki keterkaitandnegan pelbagai dokumen tersebut,sebagai bahan pengecekan. Bagian kedua Pengamatan langsung di lapangan (first hand observation) Pengorganisasian file (organizing file) Wawancara lebih lanjut (more interviews) Analisis dan pengorganisasian data (analyzing & organizing data) Penulisan (writing) Pengecekan fakta (fact checking) pengecekan pencemaran nama baik (libel check) Ad.1 berbekal hipotesis atas arah kasus, pelru ke lapangan untuk menjaring keutuhan keterangan yang didapat. Berbagai tempat didatangi langsung, dicatat (bawa juga peta geografis), bisa idbuat sisi human interest-nya Ad.2 kenyataan lapangan sering memberikan ketidakaturan berbagai dokumen yang diperoleh, maka perlu pemilahan file-file Ad.3 saat memilah file sering ditemukan bahan yang belum lengkap sehingga perlu wawancara lanjutan Ad.4 pekerjaan mengorganisir file membutuhkan sentuhan analisa dan bisa saja dibuatkan matrik-nya Ad.5 dari semua data tentu saja perlu diseleksi secara ketat, maka perlunya outline, penetapan focus dan menentukan angle sebagai benang merah dari keseluruhan materi Ad.6 kegiatan akhir adalah mengevalusi isi laporan yang tertuju pada materi fakta dan kemungkinan kesalahan keterangan yang menyertainya Ad.7 meneliti kembali kemungkinan terjadinya pencemaran nama baik pada pihak-pihak tertentu (sangat memerlukan kewaspadaan editor) Sumber: makalah Investigative Reporting oleh sahabat saya yang sekarang menjadi Biro ANTARA Tokyo Benny Siga Butarbutar MSi
Kalau boleh dikatakan wartawan membangun kelas, maka wartawan investigasi bisa dimasukan dalam golongan kelas yang tertinggi, “the elite class”. Mereka berbeda dengan wartawan pada umumnya. Hasil liputan investigasi merupakan “mahkota” , maha karya jurnalistik tertinggi. Jurnalisme investigatif memang berbeda dengan kegiatan jurnalistik pada umumnya, seperti yang diungkapkan Hugo De Burgh (dalam Septiawan, 2004). Terminologi investigative journalism memberikan atribut penyelidikan, keingintahuan dan misi tertentu dari para wartawannya. Jurnalisme ini tidak mau terjebak dengan adonan pemberitaan “entertainment” yang sudah sangat lama “menghajar” benak pembaca atau audiensnya. Liputan beritanya bukan lagi berdasar agenda pemberitaan harian yang sudah terjadwal di ruang redaksi Wartawan investigasi tidak bekerja berdasarkan berdasarkan pengagendaan berita seperti dalam liputan reguler. Kerja peliputannya tidak lagi dibatasi tekanan-tekanan waktu. Ada kekhususan kerja. Wartawan kelas ini menunjukkan cara lain, dan menyatakan premis-premis salah dari kekuatan dan kecanggihan informasi modern (Lloyd, 1998). Mereka menganggap pelbagai media informasi telah demikian kuat dan canggihnya menancapkan imej kebenaran yang harus dipercaya masyarakat. Untuk itu mereka lebih menganalisis pelbagai data/informasi yang layak dilaporkan. Mereka membantu pertanyaan masyarakat, mengenai sebuah situasi atau pertanyaan atau kenyataan, dengan cara berbeda dari pemberitaan biasa. “Mereka mencoba untuk mendapatkan dasar kepastian apa yang telah terjadi, kekuatan-kekuatan yang ada dibaliknya,” kata Clive Edwards (dari programa Panorama BBC). Para wartawan investigatif memaparkan kebenaran yang mereka temukan, melaporkan adanya kesalahan-kesalan, dan menyentuh masyarakat yang serius terhadap soal yang dikemukakan, mengafeksinya dengan bacaan moral yang dikumpulkannya. Tujuan jurnalisme investigasi : Tujuannya untuk memberitahu kepada publik adanya pihak-pihak yang telah berbohong dan menutupi kebenaran. Dari tujuan itu dapat terlihat adanya tujuan moral yang hendak ditegaskan. Mereka dimotivasi oleh hasrat untuk mengkoreksi keadilan, menunjukkan adanya sebuah kesalahan. Hal itu bila disimak memberikan “roh” bagi isitilah yan diklaim pers sebagai “the fourth estate of democracy”, yakni menegaskan moralitas “watchdog” pers. Pada sisi akhir, pekerjaan jurnalisme investigatif adalah mengajak publik untuk memerangi pelanggaran yang telah berlangsung dan dilakukan pihak-pihak tertentu. Pengertian Reportase Investigatif Apa sebenarnya investigative reporting itu? Reporting mengambil asal kata Latin reportare, yang berarti “membawa pulang sesuatu dari tempat lain”. Bila dikaitkan dalam dunia jurnalisme, hal itu menjelaskan seorang wartawan membawa laporan kejadian dari sebuah tempat yang telah terjadi sesuatu. Sedangkan investigative dari kata Latin Vestigum berarti “jejak kaki”, yang menyiratkan pelbagai bukti yang telah menjadi suatu fakta. Dengan demikian bila digabungkan, reportase investigatif, secara harfiah mengartikan membawa pulang jejak kaki dari tempat lain. Jadi reportase investigatif memang merupakan sebuah kegiatan peliputan yang mencari, menemukan, dan menyampaikan fakta-fakta adanya pelanggaran, kesalahan, atau kejahatan yang merugikan kepentingan umum atau masyarakat. Namun demikian, investigative reporting bukanlah pekerjaan yang semata-mata untuk membongkar aib-aib pihak tertentu, mnejatuhkan lawan atau membunuh larakter oranglain (character assasination) Definisi lain menyatakan: Chriss White : Pekerjaan jurnalisme investigatif memiliki dua tujuan. Pertama, untuk mengungkapkan danmendapatkan sebuah kisah berita yang bagus, dan kedua, mnejaga masyarakat untuk mmeiliki kecukupan informasi dan mengetahui adanya bahaya di tengah kehidupan mereka. GoenawanMuhammad : Investigasi menjadi sebuah kegiatan jurnalisme yang hendak “membongkar kejahatan”. William Rivers & Cleve Mathews : Reportase investigasi adalah pekerjaan membuka pintu mulut yang tertutup rapat. Djafar H Assegaf : Investigatif reporting adalah teknik mencari dan melaporkan sebuah berita dengan cara pengusutan. Steve Weinberg : reportase investigatif adalah reportase dari inisitif dan hasil kerja pribadi, yang penting bagi pembaca, pemirsa, namun oleh beberapa pribadi/organisasi tetap ingin dirahasiakan (mengandung arti, wartawan sendirilah yang memutuskan dan bukannya atas permintaan pejabat atau orang lain). Sejarah Jurnalisme Investigasi Di Amerika: Dari crusading sampai Muckraking Jurnalisme investigasi sebenarnya memiliki jejak yang panjang dalam sejarah pers AS. Tokoh-tokoh pers investigasi bahka menggariskan ciri pemberitaannya sebagai “truly watchdog”. William Rivers & Cleve Mathews memaparkan bahwa sejarah investigasi bisa ditarik sebelum negara AS itu sendiri berdiri. Tahun 1690, Benyamin Harris menginvestigasi pelbagai kejadian masyarakat dan melaporkannya dalam Public Occurances, Both Forreign and Domestick, sebagai kegiatan yang menentang pemerintahan kolonial Inggris. Dengan kata lain ia telah melahirkan semangat crusading (jihad) pada awal kelahirannya. Fase selanjutnya sprit crusading menemukan bentuk yang lebih formal melalui penerbitan “England Courant” (1721) yang dilakukan James Franklin yang menegaskan sikap oposan terhadap Inggris. Istilah investigasi pertama kali muncul dari Nellie Bly yang menjadi reporter di Pittsburgh Dispatch pada 1890. Ia memulai gaya jurnalistiknya itu mengenai kehidupan buruh dibawah umur yang dipekerjakan dalam kondisi yang buruk secara secara serial. Meski kemudian ia diberhentikan atasannya atas desakan lembaga yang memasang iklan di koran tersebut. Namun Bly tidak surut oleh halangan kelembagaan media massa yang berhadapan dengan struktur masyarakat industri yang sedang tumbuh di AS dan juga menjadi awal mula roda kapitalisme. Bly terus mengembangkan liputan investigasinya sampai kemudian direkrut Jospeh Pulitzer, tokoh legendaris pers AS, pada 1887, untuk menulis di koran The New York World. Sejak itu ia masuk dalam persoalan kaum buruh di wilayah kumuh. Laporan investigasinya kemudian menuntut perubahan masyarakat terhadap ketidaklayakan hidup pekerja kelas bawah itu. Pulitzer menekankan dua hal pokok dalam reportase investigatif, yaitu, membawa enlightment (pencerahan ) kepada publik dan juga sebagai kegiatan fighting reporting (reportase perlawanan). Jadi kerja peliputan juralistik semacam itu dimotivasi oleh: semangat, ketrampilan, keberanian dan imajinasi. Era Muckracking Dengan demikian, sejak awal jurnalisme investigasi memunculkan perlawanan terhadap kebijakan penguasa. Pada awal abad ke-20, jurnalisme investigasi menemukan wujudnya dalam liputan yang terorganisir. Sifat laporannya di awal dekade 1990-an teralokasi pada format “muckraking”. Investigative journalism juga disinonimkan dengan istilah jurnalisme “crusading” sebagai upaya pemberantasan. Istilah crusading dalamsejarah pers Amerika menyangkut periode “muckraking” yang mengekspos perilaku antisosial dan kejahatan di dunia politik pemerintahan dan bisnis. Sejak tahun 1900, para muckrakers mengembangkan liputan korupsi dan ketimpangan sosial yang merugikan masyarakat Amerika. Presiden Theodore Roosevelt adalah pemberi nama muckrakers kepada para reporter penyelidik yang saat itu sibuk menyoroti kotoran (muck) dan tidak lagi melihat sisi positif lain dari kehidupan Amerika. Dalam kamus Webster, kata muckrake berarati mencari-cari, menyoroti atau menunjukkan adanya korupsi baik dengan bukti atau dengan dugaan, mengingat tingkat keresahana yang tinggi di masyarakat. Roosevelt menjadi berang setelah membaca laporan investigasi yang secara serial dilaporkan David Graham Phillips, karena ia membuka persoalan korupsi yang terjadi di dunia politik Amerika saat itu. Istilah reportase investigasi kian populer setelah tokoh pers dunia Pulitzer berseteru dengan Presiden Roosevelt. Ketika itu Pulitzer membongkar kasus suap dalam pembelian tanah untuk kanal Panama yang diduga berkaitan dengan Roosevelt. Pada tahun 1902, jurnalisme investigasi memang sudah menjadi sebuah gerakan yang berpengaruh yang menunjukkan sikap jurnalismenya kepada reformasi sosial. Sejak itulah jurnalisme investigasi menjadi bidang usaha penerbitan pers yang menguntungkan (walau dalam perkembangannya kemudian banyak yang bangrut karena persoalan dana) . Kegiatan tersebut bahkan melebarkan sayap pemikiran para pekerja pers untuk masuk pada masalah kseharian masyarakat Amerika. Para jurnalisnya bekerjasama dengan para politisi, pemimpin kaum buruh, para reformer dan kalangan intelektual. Para jurnalisnya telah menjadi crusader, pejuang perbaikan yang membantu masyarakat di era kebangkitan”kemenangan Amerika”, yaitu masa dimana rakyat Amerika mulai melepaskan diri dari berbagai persoalan internal kebangsaan. Dari sejarah perjalanan yang diawali masa crusading dan diteruskan pada era muckraking yang popler sekitar tahun 1902-1912 (pers menonjol sebagai aktor politik, bahkan berani menentang kebijakan luar negeri AS) hingga memunculkan fenomena jaman “the jorunalist as pundit”. Sebutan “pundit” diberikan karena posisi wartawan yang telah menjadi “pembuat opini”. Posisi itu ditegaskan lagi oleh Walter Lipmann bahwa pers sebagai kekuatan yang mempengaruhi masyarakat melalui perannya dalam membentuk kerangka opini, agenda-setting pada kejadian politik. Dengan kata lain pers investigatif telah membuka ruangnya bagi “political class” yang dengan kental membawa semangat partisan. Meski demikian, orientasi politik baik ideologi maupun kepartaian yang ada padanya tidak menghilangkan mereka sebagai pembawa suara “pencerahan” yang otoritatif. Pada sisi ini pekerjaan investigative reporting mempunyai akses pada realitas politik masyarakat Amerika (yang dengan mudah dilihat pada saat kampanye Pemilu). Reportase investigasi semakin berkibar di tahun 1972, menyusul karya investigasi dua wartawan The Washington Post yang menghebohkan dunia, yaitu Carl Bernstein dan Bob Woodward, yang berhasil mengekspos praktek politik curang Partai Republik terhadap lawannya Partai Demokrat. Presiden Richard Nixon dipaksa mengundurkan diri setelah kasus penyadapan di markas kampanye Partai demokrat di Gedung Watergate, Washington, diungkap habis-habisan oleh Woodward dan Bernstein. Mulanya kasus in seperti pencurian biasa, namnkedua wartawan itu mencium adanya keanehan. Lalu dnegan teknik pengusutan, keduanya berhasil membuktikan bahwa pelaku pencurian (informasi) terkait dengan “all the President’s Men” di Gedung Putih. Kisah Watergate kemudian mneaid mitologi populer bahwa pena seorang wartawan bisa menjatuhkan kekuatan presiden dari sbeuah bangsa yang menguasai dunia. Semuanya itu dimulai dari laporan dua wartawan Post tetang penyalahgunaan kekuasaan prerogratif. Demikian monumentalnya karya mereka berdua sehingga diterbitkan dalam buku All The President’s Men. Kisah keduanya kemudian mengimbas pada pemahaman peranan kebebasan pers dan tanggungjawab wartawan ketika berhadapan dengan masyarakat, khususnya di sebuah bangsa yang pemerintahannya diliputi penyalahgunaan kekuasaan. Di Indonesia: Dari Indonesias Raya ke Era Reformasi Sejarah reportase investigasi di Indonesia cukup muram dan panjang, khususnya di era Orde Lama dan Orde Baru, yang dipandang penguasa sebagai buah terlarang. Kontrol pemerintah ats pers juga snagat kuat sehingga media massa umumnya takut dan memilih tiarap, ketimbang hak hidupnya dicabut atau dibreidel. Suasan gerah seperti itu membuat pelaporan selidikan tidaklah populer dan menyuburkan “jurnalisme katanya”. Meski dalam liputan kriminal dicoba untuk “hidup”, namun masih sebatas tradisional yang hanya melibatkan orang biasa. Media massa lebih menghindari ketika terkait dengan anak pejabat dan militer. Demikian menakutkannya, sehingga tidak ada media yang terang-terangan menjual dirinya sebagai media investigasi. Namun demikian, bukannya tidak ada media “usil” yang cukup berani memasuki dunia investigasi. Salah satunya yang amat fenomenal adalah harian Indonesia Raya (1945-1974). Berita-beritnya mencerminkan sikap untu “berjihad”. Dibawah Muchtar Lubis harian ini tampil berwibawa di era Orde Baru dengan membongkar korupsi di tubuh Pertamina (1969) dan kasus korupsi di Bulog (1972). Sebelumnya Indonesia Raya juga dengan berani memastikan pernikahan Presiden Sekarno dengan Hartini. Pernikahan keduanya memang sudah menjadi gunjingan di tingkat elit,namun tidak ada media yang bisa memastikannya. Muchtar Lubis terjun langsung ke cisarua secara sembunyi-sembunyi untuk menemui orang yang menikahkan. Selaian itu, Muchtar juga mendapatkan salinan akte nikahnya sekaligus. Indonesia Raya terbit. Heboh. Kasus lainnya yang terungkap adalah hospitality committee saat berlangsungnya Konferensi Asia Afrika di bandung 1955. Indonesia Raya membongkar kegiatan komite tersebut yang menyediakan wanita-wanita penghibur untuk peserta konferensi. Walau akhirnya Indonesia Raya kena “gebukan” juga dari pemerintah kala itu dan terkubur kemudian. Era Orde Baru Pengaruh kekuasan yang represif di masa Orde Baru telah membuat istilah investigasi tidak dikenali secara utuh. Pada tahun 1980-an laporan investigasi hanya sebagai sebuah “perkenalan”. Menurut Wina Armada, laporan investigasi belum menjadi sesuatu yang melembaga di tubuh pers nasional. Hal itu terlihat dari laporan investigasi yang belum memiliki dampak luas. Baru dikenal sebagai sebuah pendekatan temporer yang bisa dihitung dengan jari. Pers nasional lebih suka menggantinya dengan istilah “depth reporting” yang cenderung pada pengumpulan kelengkapan data, ketimbang membongkar aib. Sangat berbeda dengan semangat Jihad yang diusung Indonesia Raya. Beberapa media lain yang kemudian mencoba bangkit dan berani mengusung pelaporan investigasinya langsung mendapat gebukan dari penguasa. Pukulan itu pernah menimpa Kompas, Sinar Harapan, Prioritas, Tempo, Editor, dan Detik. Era 1990-an ketika pemerintahan Orde Baru mulai keteteran menghadapai gejolak tuntutan kebebasan pers pelbagai media mulailah menurunan liputan investigasinya. Meski sempat dibreidel pada 1994, Tempo kembali terbit Oktober 1998, Tajuk juga berani muncul dengan menhatakandiri sebagai majalah berita inevstigasi pada 1996. Barulah pada era reformasi fase dimana investigasi menjadi penting, meksi harus meminta korban lebih dulu seperti, kasus Udin, wartawan Bernas-Yogyakarta, Tempo yang mengungkap skandal pembelian kapal perang Indoensia dari ar,ada bekas jerman Timur yang melibatkan Soeharto, Habibie dan Lim Soei Liong. Memilih Sasaran untuk Investigasi Dalam pandangan Burgh, pelbagai sasaran yang dapat diinvestigasi adalah hal-hal yang meliputi: Hal-hal yang memalukan (terkait hal ilegal atau pelanggaran moral) Penyalahgunaan kekuasaan Hal aktual yang menjadi pembicaraan publik Keadilan yang korup Menipulasi laporan keuangan Pelanggaran hukum Hal-hal yang sengaja disembunyikan Reportase harian juga bisa menjadi tumpukan gagasan-gagasan untuk suatu proyek investigasi, seperti yang dimulai wartawan investigasi Bob Woodward, si pembongkar kasus watergate. Ia memulainya dari surat kabar mingguan di pinggiran kota Washington DC terhadap hak-hal yang kecil, namun kemudian mengantarnya ke Wahington Post. Harsono mengindikasikan kerja liputan investigasi berciri : riset dan reportase yang mendalam untuk membuktikan kebenaran/kesalahan hipotesis; paper trail (pelacakan jejak dokumen); wawancara mendalam (mintakan background; dan memakai metode penyidikan polisi (penyamaran, pengunaan kamera/rekaman tersembunyi) Memulai Investigasi Salah satu hal yang banyak membedakan antara in-depth reporting dengan investigative reporting adalah ada atau tidaknya Hipotesis.Secara sederhana kegiatan liputan investigasi umumnya terbagi ke dalam dua bagian proses peliputan. Pertama, menelusuri pelbagai kasus/skandal/permasalahan yang mesti ditindaklanjuti. Kedua, jika didapat, memasuki tahap “serius”, yaitu memulia kerjanya. Sheila Coroner, Direktur Philipines center for Investigative Journalism (PCIJ) mengatakan, perlunya menetapkan pengaturan sisitematika kerjanya. Secara umum ada dua tahapan kerja. Pertama, penjajakan dan pekerjaan dasar. Kedua, penajaman dan penyelesaian investigasi. Rumusnya: 2 bagian + 7 Rincian Langkah. Bagian pertama (persiapan) Petunjuk awal (first lead) Investigasi pendahuluan (initial investigation) pembentukan hipotesa (forming an investigation hypothesis) Pencarian dan pendalaman literatur (literatur reserach) Wawancara pakar dan sumber-sumber ahli (interview experts) Penjajakan dokumen (finding a paper trail) Wawancara sumber-sumber kunci (interviewing key informants) Ad.1 minat. melihat adanya persoalan di masyarakat, mulai membuka kasus (kasus SARA, konflik, kerusuhan Mei, sosok dukun santet, dll) Ad.2 penelusuran lebih lanjut bisa tinjau lapangan, memulai riset data atau wawancara awal Ad.3 dapatkan dugaan atau gambaran kasus yag telah terjadi. Dari sinilah muncul ketepatan arah penyelidikan. Baca juga literur sehingga dapat kerangka pemikiran agar tahu bagaian persoalan itu bisa terjadi sehingga tahuasusi-asumsi yang melatarbelakangi sebab-sebab kasus itu Ad.4 pendalaman literatur perlu untuk mendapatkan penguatan termasuk penguasaan terhadap persoalan Ad.5 setelah itu, perlu wawancara dengan pakar untuk memperoleh masukan/paparan pengetahuan dari orang-orang yang memiliki legitimasi di keahlian tertentu Ad.6 dari wawancara diperoleh bentukan material investigasi/dokumen yang mesti dicari sebagai bahan pembuktian, guna memastikan benar tidaknya pelanggaran yang telah terjadi (kunci/proses yang sangat penting) Ad.7 wawancara lagi dnegan orang-orang yang memiliki keterkaitandnegan pelbagai dokumen tersebut,sebagai bahan pengecekan. Bagian kedua Pengamatan langsung di lapangan (first hand observation) Pengorganisasian file (organizing file) Wawancara lebih lanjut (more interviews) Analisis dan pengorganisasian data (analyzing & organizing data) Penulisan (writing) Pengecekan fakta (fact checking) pengecekan pencemaran nama baik (libel check) Ad.1 berbekal hipotesis atas arah kasus, pelru ke lapangan untuk menjaring keutuhan keterangan yang didapat. Berbagai tempat didatangi langsung, dicatat (bawa juga peta geografis), bisa idbuat sisi human interest-nya Ad.2 kenyataan lapangan sering memberikan ketidakaturan berbagai dokumen yang diperoleh, maka perlu pemilahan file-file Ad.3 saat memilah file sering ditemukan bahan yang belum lengkap sehingga perlu wawancara lanjutan Ad.4 pekerjaan mengorganisir file membutuhkan sentuhan analisa dan bisa saja dibuatkan matrik-nya Ad.5 dari semua data tentu saja perlu diseleksi secara ketat, maka perlunya outline, penetapan focus dan menentukan angle sebagai benang merah dari keseluruhan materi Ad.6 kegiatan akhir adalah mengevalusi isi laporan yang tertuju pada materi fakta dan kemungkinan kesalahan keterangan yang menyertainya Ad.7 meneliti kembali kemungkinan terjadinya pencemaran nama baik pada pihak-pihak tertentu (sangat memerlukan kewaspadaan editor) Sumber: makalah Investigative Reporting oleh sahabat saya yang sekarang menjadi Biro ANTARA Tokyo Benny Siga Butarbutar MSi