--> Skip to main content

KONTRUKSI REALITAS

Noeng Muhadjir (2000) mengatakan bahwa saat hendak melakukan penelitian, banyak orang langsung berbicara populasi, teknik sampling, merumuskan masalah, mendesain tata relasi, merancang instrumen instrumen kuantifikasi data, dan seterusnya, tanpa menyadari bahwa dia telah menjadi penganut filsafat ilmu tertentu.
Kebiasaan ini umum terjadi, pun dalam dunia komunikasi/televisi. Saat hendak mengetahui jumlah penonton, pihak peneliti langsung menentukan populasi beserta sampelnya untuk kemudian digeneralisasi sebagai fakta bahwa sekian persen orang menonton program A. Atau seperti dalam iklan, 7 dari 10 perempuan Indonesia menggunakan shampo B. Dalam ilmu komunikasi di Indonesia, pendekatan Objektif-Positivistik-Kuantitatif semacam ini memang masih mendominasi. Dalam filsafat ilmu, hukum generalisasi dan reduksi yang linear ini sedang mengalami krisis hebat. Sebab ada keyakinan bahwa setiap manusia itu berbeda dan unik. Masyarakat bukanlah terdiri dari satu entitas yang homogen (yang karenanya bisa diukur), tetapi terdiri dari banyak ragam kepribadian yang kompleks. Dan karenanya perilaku aperiodik instabil akan selalu dapat ditemukan pada sistem-sistem yang dalam kacamata statistik sederhana. Dan kenapa pendekatan kuno ini masih menjadi mainstream dalam ilmu komunikasi, jawabannya bukanlah karena ia begitu diminati dan karenanya tidak ditinggalkan, seperti yang dikatakan oleh agen-agen (asing) pendukungnya. Sebab, mengikuti Deddy Mulyana (2001), itu tak lebih karena para mahasiswa telah diberi ‘kacamata kuda’ begitu masuk perguruan tinggi. Dalam mata kuliah Metode Penelitian Sosial atau Metode Penelitian Komunikasi, mahasiswa langsung dicekoki dengan konsep-konsep berbau positivistik, seperti hipotesis, variabel bebas, variabel terikat, populasi, reliabilitas, validitas, dan sebagainya. Setelah kita menjernihkan mengapa pendekatan kuantitatif masih saja mendominasi ilmu komunikasi di Indonesia, dan mengetahui betapa teks-teks kultural yang dihasilkan sejumlah program televisi banyak menuai kecaman, maka perdebatan selanjutnya, menurut hemat saya, adalah dasar dari semua ini, yakni apa yang disebut pendekatan behaviorisme radikal, yang juga masih merupakan anak dari Positivisme. Selama ini cara mengetahui apakah seseorang sedang menonton sebuah program acara adalah melalui alat yang disebut peoplemeter, dimana alat ini dipasang di televisi responden terpilih. Diharapkan setiap anggota rumah tangga yang menonton televisi akan memencet tombol di handset dan memencet lagi seusai menonton. Penelitian yang dilakukan berdasarkan perilaku permukaan ini sesuai dengan kaidah behaviorisme radikal. Mereka berpendapat bahwa satu-satunya cara sah secara ilmiah untuk memahami semua hewan, termasuk manusia, adalah dengan mengamati perilaku mereka secara langsung dan seksama. Lebih jauh behaviorisme radikal menolak gagasan bahwa manusia memiliki kesadaran, bahwa terjadi suatu proses mental tersembunyi yang berlangsung pada diri individu diantara datangnya stimulus dan bangkitnya perilaku. Pendekatan ‘gila’ ini segera mendapat respon dari sejumlah aliran filsafat, seperti interaksionisme simbolik. Para penganutnya memandang bahwa pendekatan behaviorisme radikal tidak memungkinkan seorang peneliti untuk mendapatkan latar alamiah dari apa yang sedang diteliti. Menempatkan manusia dalam lingkungan buatan akan membuat subjek berperilaku tidak alamiah karena tahu sedang diteliti, sebagaimana hewan juga akan berperilaku lain ketika mereka berada dalam lingkungan buatan seperti kebun binatang, apalagi laboratorium (Mulyana, 2001). Mereka, kata kaum interaksionis simbolik, tidak akan mampu membedakan manusia dengan hewan. Padahal aktivitas tersembunyi (kesadaran) inilah yang justru membedakan perilaku manusia dengan perilaku hewan. Mereka membuang kehendak bebas manusia untuk menyalakan televisi sebagai sekedar mengalihkan perhatian sambil menunggu temannya datang, sekedar membaca runing text yang terus bergerak di layar bawah televisi, atau sekedar tidak terlalu sunyi. Djati Koesoemo yang dikutip Garin Nugroho (1995) mengatakan, “orang yang menonton televisi belum tentu suka akan tontonan itu. Seringkali mereka menonton sambil ngedumel”. Dan dalam kasus-kasus seperti ini, sebagaimana diungkapkan James Lull (1998), “penggunaan media oleh khalayak tak dapat dianggap benar-benar merupakan respon terhadap kebutuhan biologis atau psikologis. Kalaupun dinyatakan begitu, itu jelas berlebihan”. Kaum behavioris ini seperti tidak sadar bahwa mereka sedang mengkonstruk pemirsa yang mereka inginkan melalui alat (tool). Mereka bagaimanapun bisa dipandang telah mereduksi perilaku manusia kepada mekanisme yang sama dengan yang ditemukan pada hewan lebih rendah! Dan ini adalah sebuah penghinaan!Di tengah kekacauan Sistem Sosial-Kultur Indonesia, kita memerlukan suatu keterbukaan untuk melampaui batas-batas metodologis yang disediakan para provider asing itu. Dan keterbukaan itu, seperti kata Agus Nggerwanto (2001), memerlukan seperangkat intuisi yang reflektif agar mampu mengalami lompatan imajinatif untuk melampaui yang partikular menuju pemahaman yang menyeluruh, yakni media massa tidak saja berfungsi untuk melayani selera-budaya, tetapi juga mendidik-cerdaskan selera-budaya. (Dikutip dan dirangkum Dari situs sebelah )
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar