DIKSI ( PILIHAN KATA )
Secara ringkas, Diksi bisa diartikan sebagai pilihan kata pengarang untuk menggambarkan cerita mereka. Diksi bukan hanya berarti pilih memilih kata. Istilah ini bukan saja digunakan untuk menyatakan gagasan atau menceritakan peristiwa tetapi juga meliputi persoalan gaya bahasa, ungkapan-ungkapan dan sebagainya.[1]
Agar usaha mendayagunakan teknik penceritaan yang menarik lewat pilihan kata maka diksi yang baik harus (1) tepat memilih kata untuk mengungkapkan gagasan atau hal yang diamanatkan’ (2) untuk memilih tepat seorang pengarang harus mempunyai kemampuan untuk membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa pembacanya. (3) pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya mungkin kalau ia menguasai sejumlah besar kosa kata (perbendaharaan kata) yang dimiliki masyarakat bahasanya, serta mampu pula menggerakkan dan mendayagunakan kekayaannya itu menjadi jaring-jaring kalimat yang jelas dan efektif. Contoh-contoh pengunaan diksi dalam cerita fiktif misalnya penggunaan metafora, anafora, litotes, simile, personafikasi dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya, akan disajjikan sebagai berikut: a. Simile (persamaan) adalah suatu gaya bahasa menggunakan kiasan berdasarkan perbandingan atau persamaan. Sesuatu yang dimaksud dibandingkan dengan sesuatu yang lain jenisnya. Hal ini dinyatakan secara eksplisit dengan menggunakan sebagai, laksana, seperti, bagai dan sebagainya. Beberapa contoh: 1)” bagai seekor burung yang kedinginan, Hasan meringkuk di selnya gara-gara merampok” 2) Di langit bulan yang masih jauh dari purnama itu seperti sabit yang kehilangan tangkainya. b. Metafora. Metafora berasal dari kata Yunani : meta yang berarti di belakang, dengan, di seberang dan phore yang berarti ‘membawa’. Secara etimologis, metafora adalah gaya bahasa yang melukiskan sesuatu dengan mengambil sifat atau keadaan benda lain. Tetapi tidak menggunakan kata ‘bagai’, seperti, laksana dan sebagainya. Contoh: 1) “bunga desa itu terkulai, patah dengan cara tak wajar” 2). aku tadi kehilangan muka saat bertemu orang yang kutaksir 3). dia adalah singa podium yang selalu mampu membetot massa lewat rayuan mautnya c. Personifikasi. Berasal dari kata latin Persona yang berarti orang atau pribadi dan facere yang berarti membuat. Jadi personifikasi atau pengorangan ialah semacam kiasan yang mengambarkan binatang, tumbuhan dan benda-benda mati seakan-akan hidup selayaknya manusia, seolah punya maksud, sifat dan perasaan dan kegiatan seperti manusia. a. Air yang kebiruan di dalam bak berlapis porselen itu seakan memanggil-manggil untuk diselami. b. Buku-buku yang kupinjam dari perpustakaan kapal telah menungguku c. Pulpenku merajuk, membetot diriku agar terus menulis surat buat si mata genit dambaan hati a. tautologi. Berasal dari bahasa Yunani Toauto yang berarti sama dan logos yang berarti perkataan. Gaya bahasa ini adalah gaya bahasa penegasan dimana pengarang mengulang gagasan yang sama dengan kata atau perkataan yang berlainan. Contoh: a. Ia mendehem agak keras, batuk b. Alangkah senangnya hatiku ketika jalan-jalan dengan dia, bersiar-siar dan berputar-putar, naik bendi dan kereta melihat kota Jakarta c. Maka bercucuranlah pula air mata perempuan ini, menangis. b. Pleonasme. Berasal dari bahasa Yunani Pleon yang berarti lebih banyak dan Pleonazoo yang berarti berlimpah. Gaya bahasa ini mempergunakan kata atau kata-kata yang maknanya telah terkandung dalam kata-kata terdahulu.Contoh: a. maka olenglah kapal itu ke kiri dan ke kanan serta mengangguk ke muka dan ke belakang b. dia melompat ke depan dan mundur ke belakang c. Setelah sampai ke jalan besar di muka kantor Pos menolehlah ia ke belakang c. Hiperbol. Berasal dari kata Yunani Hyper yang berarti di atas, atau melampaui dan ballein yang berarti melemparkan. Jadi gaya bahasa ini merupakan gaya melebih-lebihkan sesuatu secara sengaja dari kenyataan sebenarnya. Contoh: a. teriakan-teriakannya membelah udara tetapi pemimpin membelah dua jantung rakyat b. kemenangan berturut-turut memabukkan manusia c. Hujan surat selebaran turun dari langit berisi ajakan agar rakyat Indonesia menyerahkan senjatanya pada sekutu d. Pars pro toto. Gaya bahasa berasal dari kata Latin pars yangberarti bagian dan Pro demi Totum yang berarti keseluruhan. Jadi gaya bahasa ini mempergunakan sebagian dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhannya. Contoh: a. kalau aku kembali ke padang niscaya akan kulihatlah semua mulut yang dulu mengejekku b. sejak tadi pagi tak kulihat batang hidung lelaki berengsek itu c. Jantung rakyat yang sebelah kiri percaya pada kata-kata pemimpin, sebelah lainnya takut pada kekuatan sekutu e. Sarkasme. Berasal dari kata Yunani Sarx yang berarti daging. Sarkazoo artinya merobek daging. Sarkasme merupakan gaya bahasa sindiran yang terkasar karena memaki orang dengan kata-kata kasar, tak sopan di dengar dan menyakitkan hati. Contoh: a. Hei mana Anjing Belanda, datang dan lawanlah si Pitung!! b. Rupamu bagai hantu drakula penghisap darah. Masih mau uji nyali di sini!! c. Hei mana anjing Sukarno (Djunaedi 1975) f. Anafora. Adalah gaya bahasa pengulangan kata atau kata-kata pada awal kalimat atau penggalan kalimat. Tujuannya adalah untuk menegaskan atau menonjolkan arti. Contoh: a. ada salak anjing, ada dengus babi, ada aum harimau ada cericit tikus b. Hidupku untukmu, hidupku untuk ayahmu, hidupku untuk ibumu, hidupku untuk anak-anakmu. c. Tangis berkepanjangan, tangis desa, tangis para istri, tangis anak-anak bajang di tengah hiruk pikuk kerusuhan. g. Epifora. Adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari gaya bahasa anafora. Yaitu pengulangan kata atau kata-kata pada akhir kalimat atau bagian kalimat. Tujuannya sama seperti anafora menegaskan arti. Contoh: a. Hidupnya sebagian untuk kebahagiaan laki-laki, cintanya untuk kenikmatan laki-laki, perasaannya untuk melembutkan hati laki-laki b. Alam menjadi saksi, gunung menjadi saksi, pohon menjadi saksi saat kau mencium mesra diriku c. Ifing tersenyum, berdua kami tersenyum. Hari tersenyum dan bumi juga tersenyum h. Litotes. Berasal dari bahasa Yunani Litos yang berarti sederhana. Litotes adalah gaya bahasa yang bertujuan merendahkan diri dengan mempergunakan kata yang berlawanan artinya dengan yang dimaksud. Contohnya: a. takkan dapat saya membalas segala kebajikan ibu kepada saya yang hina lagi miskin ini b. Tidak usah sungkan-sungkan datang ke gubug reyotku ini c. Nggak usah malu-malu, cobain deh makanan ala kadarnya ini. [1] Bisa dibaca dalam buku Diksi dan gaya Bahasa, karya Gorys Keraf yang diterbitkan pada tahun 1981, khususnya di halaman 18.
Agar usaha mendayagunakan teknik penceritaan yang menarik lewat pilihan kata maka diksi yang baik harus (1) tepat memilih kata untuk mengungkapkan gagasan atau hal yang diamanatkan’ (2) untuk memilih tepat seorang pengarang harus mempunyai kemampuan untuk membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa pembacanya. (3) pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya mungkin kalau ia menguasai sejumlah besar kosa kata (perbendaharaan kata) yang dimiliki masyarakat bahasanya, serta mampu pula menggerakkan dan mendayagunakan kekayaannya itu menjadi jaring-jaring kalimat yang jelas dan efektif. Contoh-contoh pengunaan diksi dalam cerita fiktif misalnya penggunaan metafora, anafora, litotes, simile, personafikasi dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya, akan disajjikan sebagai berikut: a. Simile (persamaan) adalah suatu gaya bahasa menggunakan kiasan berdasarkan perbandingan atau persamaan. Sesuatu yang dimaksud dibandingkan dengan sesuatu yang lain jenisnya. Hal ini dinyatakan secara eksplisit dengan menggunakan sebagai, laksana, seperti, bagai dan sebagainya. Beberapa contoh: 1)” bagai seekor burung yang kedinginan, Hasan meringkuk di selnya gara-gara merampok” 2) Di langit bulan yang masih jauh dari purnama itu seperti sabit yang kehilangan tangkainya. b. Metafora. Metafora berasal dari kata Yunani : meta yang berarti di belakang, dengan, di seberang dan phore yang berarti ‘membawa’. Secara etimologis, metafora adalah gaya bahasa yang melukiskan sesuatu dengan mengambil sifat atau keadaan benda lain. Tetapi tidak menggunakan kata ‘bagai’, seperti, laksana dan sebagainya. Contoh: 1) “bunga desa itu terkulai, patah dengan cara tak wajar” 2). aku tadi kehilangan muka saat bertemu orang yang kutaksir 3). dia adalah singa podium yang selalu mampu membetot massa lewat rayuan mautnya c. Personifikasi. Berasal dari kata latin Persona yang berarti orang atau pribadi dan facere yang berarti membuat. Jadi personifikasi atau pengorangan ialah semacam kiasan yang mengambarkan binatang, tumbuhan dan benda-benda mati seakan-akan hidup selayaknya manusia, seolah punya maksud, sifat dan perasaan dan kegiatan seperti manusia. a. Air yang kebiruan di dalam bak berlapis porselen itu seakan memanggil-manggil untuk diselami. b. Buku-buku yang kupinjam dari perpustakaan kapal telah menungguku c. Pulpenku merajuk, membetot diriku agar terus menulis surat buat si mata genit dambaan hati a. tautologi. Berasal dari bahasa Yunani Toauto yang berarti sama dan logos yang berarti perkataan. Gaya bahasa ini adalah gaya bahasa penegasan dimana pengarang mengulang gagasan yang sama dengan kata atau perkataan yang berlainan. Contoh: a. Ia mendehem agak keras, batuk b. Alangkah senangnya hatiku ketika jalan-jalan dengan dia, bersiar-siar dan berputar-putar, naik bendi dan kereta melihat kota Jakarta c. Maka bercucuranlah pula air mata perempuan ini, menangis. b. Pleonasme. Berasal dari bahasa Yunani Pleon yang berarti lebih banyak dan Pleonazoo yang berarti berlimpah. Gaya bahasa ini mempergunakan kata atau kata-kata yang maknanya telah terkandung dalam kata-kata terdahulu.Contoh: a. maka olenglah kapal itu ke kiri dan ke kanan serta mengangguk ke muka dan ke belakang b. dia melompat ke depan dan mundur ke belakang c. Setelah sampai ke jalan besar di muka kantor Pos menolehlah ia ke belakang c. Hiperbol. Berasal dari kata Yunani Hyper yang berarti di atas, atau melampaui dan ballein yang berarti melemparkan. Jadi gaya bahasa ini merupakan gaya melebih-lebihkan sesuatu secara sengaja dari kenyataan sebenarnya. Contoh: a. teriakan-teriakannya membelah udara tetapi pemimpin membelah dua jantung rakyat b. kemenangan berturut-turut memabukkan manusia c. Hujan surat selebaran turun dari langit berisi ajakan agar rakyat Indonesia menyerahkan senjatanya pada sekutu d. Pars pro toto. Gaya bahasa berasal dari kata Latin pars yangberarti bagian dan Pro demi Totum yang berarti keseluruhan. Jadi gaya bahasa ini mempergunakan sebagian dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhannya. Contoh: a. kalau aku kembali ke padang niscaya akan kulihatlah semua mulut yang dulu mengejekku b. sejak tadi pagi tak kulihat batang hidung lelaki berengsek itu c. Jantung rakyat yang sebelah kiri percaya pada kata-kata pemimpin, sebelah lainnya takut pada kekuatan sekutu e. Sarkasme. Berasal dari kata Yunani Sarx yang berarti daging. Sarkazoo artinya merobek daging. Sarkasme merupakan gaya bahasa sindiran yang terkasar karena memaki orang dengan kata-kata kasar, tak sopan di dengar dan menyakitkan hati. Contoh: a. Hei mana Anjing Belanda, datang dan lawanlah si Pitung!! b. Rupamu bagai hantu drakula penghisap darah. Masih mau uji nyali di sini!! c. Hei mana anjing Sukarno (Djunaedi 1975) f. Anafora. Adalah gaya bahasa pengulangan kata atau kata-kata pada awal kalimat atau penggalan kalimat. Tujuannya adalah untuk menegaskan atau menonjolkan arti. Contoh: a. ada salak anjing, ada dengus babi, ada aum harimau ada cericit tikus b. Hidupku untukmu, hidupku untuk ayahmu, hidupku untuk ibumu, hidupku untuk anak-anakmu. c. Tangis berkepanjangan, tangis desa, tangis para istri, tangis anak-anak bajang di tengah hiruk pikuk kerusuhan. g. Epifora. Adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari gaya bahasa anafora. Yaitu pengulangan kata atau kata-kata pada akhir kalimat atau bagian kalimat. Tujuannya sama seperti anafora menegaskan arti. Contoh: a. Hidupnya sebagian untuk kebahagiaan laki-laki, cintanya untuk kenikmatan laki-laki, perasaannya untuk melembutkan hati laki-laki b. Alam menjadi saksi, gunung menjadi saksi, pohon menjadi saksi saat kau mencium mesra diriku c. Ifing tersenyum, berdua kami tersenyum. Hari tersenyum dan bumi juga tersenyum h. Litotes. Berasal dari bahasa Yunani Litos yang berarti sederhana. Litotes adalah gaya bahasa yang bertujuan merendahkan diri dengan mempergunakan kata yang berlawanan artinya dengan yang dimaksud. Contohnya: a. takkan dapat saya membalas segala kebajikan ibu kepada saya yang hina lagi miskin ini b. Tidak usah sungkan-sungkan datang ke gubug reyotku ini c. Nggak usah malu-malu, cobain deh makanan ala kadarnya ini. [1] Bisa dibaca dalam buku Diksi dan gaya Bahasa, karya Gorys Keraf yang diterbitkan pada tahun 1981, khususnya di halaman 18.