Bahasa jurnalistik
Bahasa jurnalistik selalu menuntut kejelasan dan kehematan.
Apa yang dimaksud dengan kejelasan? Artinya, setiap kalimat harus mengandung gagasan yang jelas dan diwujudkan dalam struktur kalimat yang benar secara gramatikal. Tanpa memiliki pengetahuan yang memadai mengenai berbahasa yang tepat secara gramatikal, seorang wartawan mudah tergelincir membuat kalimat yang tidak gramatikal sekalipun gagasan yang disampaikan tidak kompleks.
Kesalahan gramatikal yang paling sering dilakukan wartawan adalah penempatan kata tugas (“function word”) di depan subyek sebuah kalimat. Misal: Di dalam buku itu memuat 100 halaman Bagi Wartawan yang memperoleh berita eksklusif diberi penghargaan khusus Dalam upacara tradisionil yang berlangsung setiap tahun itu selalu dihadiri turis asing. Tiga contoh kalimat di atas merupakan kasus yang berulangkali terjadi dalam bahasa jurnalistik di hampir semua media cetak di Indonesia. Kesalahan gramatikal juga sering dilakukan wartawan yang menyusun kalimat majemuk bertingkat dengan melenyapkan subyek kalimat. Misal: Ketika berjalan siang hari di Lapangan Monas, matahari menyilaukan mata saya.(Makna kalimat ini: yang berjalan adalah matahari bukan saya. Kalimat ini bisa diralat menjadi: Ketika berjalan siang hari di Lapangan Monas, saya merasa pandangan mata saya silau oleh sinar matahari). Di samping memahami aturan tata bahasa, wartawan juga perlu memahami pedoman dasar kejelasan dalam menulis. Dua pedoman itu dirumuskan oleh Goenawan Mohamad sebagai berikut: Pertama, si penulis harus memahami betul soal yang mau ditulisnya, bukan juga pura-pura paham atau belum yakin benar akan pengetahuannya sendiri. Kedua, si penulis harus punya kesadaran tentang pembaca. Memahami betul soal-soal yang mau ditulisnya berarti juga bisa menguasai bahan penulisan dalam suatu sistematik. Ada orang yang sebetulnya kurang bahan (baik hasil pengamatan, wawancara, hasil bacaan, buah pemikiran) hingga tulisannya cuma mengambang. Ada orang yang terlalu banyak bahan, hingga tak bisa membatasi dirinya: menulis terlalu panjang. Terutama dalam penulisan jurnalistik, tulisan kedua macam orang itu tak bisa dipakai. Sebab penulisan jurnalistik harus disertai informasi faktuil atau detail pengalaman dalam mengamati, berwawancara dan membaca sumber yang akurat. Juga harus dituangkan dalam waktu dan ruangan yang tersedia. Lebih penting lagi ialah kesadaran tentang pembaca. Sebelum kita menulis, kita harus punya bayangan (sedikit-sedikitnya perkiraan) tentang pembaca kita: sampai berapa tinggi tingkat informasinya? Bisakah tulisan saya ini mereka pahami? Satu hal yang penting sekali diingat: tulisan kita tak hanya akan dibaca seorang atau sekelompok pembaca tertentu saja, melainkan oleh suatu publik yang cukup bervariasi dalam tingkat informasi. Pembaca harian atau majalah kita sebagian besar mungkin mahasiswa, tapi belum tentu semua tau sebagian besar mereka tahu apa dan siapanya W. S. Renda atau B. M. Diah. Menghadapi soal ini, pegangan penting buat penulis jurnalistik yang jelas ialah: buatlah tulisan yang tidak membingungkan orang yang yang belum tahu, tapi tak membosankan orang yang sudah tahu. Ini bisa dicapai dengan praktek yang sungguh-sungguh dan terus-menerus. Kehematan Di samping harus menulis dengan jelas, wartawan wajib menghemat kata atau kalimat dalam menulis berita. Wartawan majalah The Economist dianjurkan untuk mengikuti nasihat george Orwell dalam menulis. Hindari pemakaian kata yang panjang jika ada kata yang lebih pendek, jika memungkinkan untuk membuang satu kata, buanglah. Wartawan yang senang bergumul dengan kata-kata cenderung memiliki kepekaan untuk memilih kata-kata yang lebih ringkas. Pada tataran kalimat, wartawan juga dituntut untuk menerapkan prinsip kehematan. Ada prinsip kehematan yang sejalan dengan prinsip kejelasan dalam berbahasa. Di Indonesia ada kecenderungan orang (terutama pejabat) untuk mengabstrakkan kata kerja. Misalnya: membunuh diganti dengan melakukan pembunuhan, memutuskan dengan mengambil keputusan, mencuri dengan melakukan pencurian dan seterusnya. Tentang Singkatan, Akronim, dan Kata-Kata Asing Pada dasarnya, wartawan dianjurkan menghindari pemakaian singkatan, akronim dan kata-kata asing. Anjuran ini didasarkan atas anggapan bahwa pemakaian singkatan, akronim dan kata-kata asing itu dapat menyulitkan pembaca. Jika pemakaian singkatan, akronim dan kata-kata asing itu sudah diterima sebagai kelaziman, dan dapat mendukung prinsip kehematan, anjuran tersebut dapat dilanggar. Akronim rudal (peluru kendali) kini agaknya sudah menjadi lema tersendiri. Di lingkungan penutur bahasa Inggris, kini muncul kata-kata baru yang merupakan gabungan dua kata: netizen adalah kombinasi net dan citizen. Netizen berarti orang yang menggunakan internet. Terhadap kata-kata asing, kita juga tak perlu terlampau membenci. Lema karaoke (dari bahasa Jepang, kara (kosong), oke (orkes) juga diterima oleh kalangan penutur bahasa Inggris. Kalimat aktif lebih dianjurkan dari pada kalimat pasif. Dalam ilmu retorika, kalimat aktif diakui lebih mencerminkan dinamika dari pada kalimat pasif. Pembaca juga lebih muda menangkap gagasan yang disampaikan dalam bentuk kalimat aktif dari pada kalimat pasif. Bahasa jurnalistik agaknya mengikuti prinsip yang mementingkan kalimat aktif ini. sumber : makalah jurnalistik Lembaga Pendidikan Jurnalistik Antara 2007
Kesalahan gramatikal yang paling sering dilakukan wartawan adalah penempatan kata tugas (“function word”) di depan subyek sebuah kalimat. Misal: Di dalam buku itu memuat 100 halaman Bagi Wartawan yang memperoleh berita eksklusif diberi penghargaan khusus Dalam upacara tradisionil yang berlangsung setiap tahun itu selalu dihadiri turis asing. Tiga contoh kalimat di atas merupakan kasus yang berulangkali terjadi dalam bahasa jurnalistik di hampir semua media cetak di Indonesia. Kesalahan gramatikal juga sering dilakukan wartawan yang menyusun kalimat majemuk bertingkat dengan melenyapkan subyek kalimat. Misal: Ketika berjalan siang hari di Lapangan Monas, matahari menyilaukan mata saya.(Makna kalimat ini: yang berjalan adalah matahari bukan saya. Kalimat ini bisa diralat menjadi: Ketika berjalan siang hari di Lapangan Monas, saya merasa pandangan mata saya silau oleh sinar matahari). Di samping memahami aturan tata bahasa, wartawan juga perlu memahami pedoman dasar kejelasan dalam menulis. Dua pedoman itu dirumuskan oleh Goenawan Mohamad sebagai berikut: Pertama, si penulis harus memahami betul soal yang mau ditulisnya, bukan juga pura-pura paham atau belum yakin benar akan pengetahuannya sendiri. Kedua, si penulis harus punya kesadaran tentang pembaca. Memahami betul soal-soal yang mau ditulisnya berarti juga bisa menguasai bahan penulisan dalam suatu sistematik. Ada orang yang sebetulnya kurang bahan (baik hasil pengamatan, wawancara, hasil bacaan, buah pemikiran) hingga tulisannya cuma mengambang. Ada orang yang terlalu banyak bahan, hingga tak bisa membatasi dirinya: menulis terlalu panjang. Terutama dalam penulisan jurnalistik, tulisan kedua macam orang itu tak bisa dipakai. Sebab penulisan jurnalistik harus disertai informasi faktuil atau detail pengalaman dalam mengamati, berwawancara dan membaca sumber yang akurat. Juga harus dituangkan dalam waktu dan ruangan yang tersedia. Lebih penting lagi ialah kesadaran tentang pembaca. Sebelum kita menulis, kita harus punya bayangan (sedikit-sedikitnya perkiraan) tentang pembaca kita: sampai berapa tinggi tingkat informasinya? Bisakah tulisan saya ini mereka pahami? Satu hal yang penting sekali diingat: tulisan kita tak hanya akan dibaca seorang atau sekelompok pembaca tertentu saja, melainkan oleh suatu publik yang cukup bervariasi dalam tingkat informasi. Pembaca harian atau majalah kita sebagian besar mungkin mahasiswa, tapi belum tentu semua tau sebagian besar mereka tahu apa dan siapanya W. S. Renda atau B. M. Diah. Menghadapi soal ini, pegangan penting buat penulis jurnalistik yang jelas ialah: buatlah tulisan yang tidak membingungkan orang yang yang belum tahu, tapi tak membosankan orang yang sudah tahu. Ini bisa dicapai dengan praktek yang sungguh-sungguh dan terus-menerus. Kehematan Di samping harus menulis dengan jelas, wartawan wajib menghemat kata atau kalimat dalam menulis berita. Wartawan majalah The Economist dianjurkan untuk mengikuti nasihat george Orwell dalam menulis. Hindari pemakaian kata yang panjang jika ada kata yang lebih pendek, jika memungkinkan untuk membuang satu kata, buanglah. Wartawan yang senang bergumul dengan kata-kata cenderung memiliki kepekaan untuk memilih kata-kata yang lebih ringkas. Pada tataran kalimat, wartawan juga dituntut untuk menerapkan prinsip kehematan. Ada prinsip kehematan yang sejalan dengan prinsip kejelasan dalam berbahasa. Di Indonesia ada kecenderungan orang (terutama pejabat) untuk mengabstrakkan kata kerja. Misalnya: membunuh diganti dengan melakukan pembunuhan, memutuskan dengan mengambil keputusan, mencuri dengan melakukan pencurian dan seterusnya. Tentang Singkatan, Akronim, dan Kata-Kata Asing Pada dasarnya, wartawan dianjurkan menghindari pemakaian singkatan, akronim dan kata-kata asing. Anjuran ini didasarkan atas anggapan bahwa pemakaian singkatan, akronim dan kata-kata asing itu dapat menyulitkan pembaca. Jika pemakaian singkatan, akronim dan kata-kata asing itu sudah diterima sebagai kelaziman, dan dapat mendukung prinsip kehematan, anjuran tersebut dapat dilanggar. Akronim rudal (peluru kendali) kini agaknya sudah menjadi lema tersendiri. Di lingkungan penutur bahasa Inggris, kini muncul kata-kata baru yang merupakan gabungan dua kata: netizen adalah kombinasi net dan citizen. Netizen berarti orang yang menggunakan internet. Terhadap kata-kata asing, kita juga tak perlu terlampau membenci. Lema karaoke (dari bahasa Jepang, kara (kosong), oke (orkes) juga diterima oleh kalangan penutur bahasa Inggris. Kalimat aktif lebih dianjurkan dari pada kalimat pasif. Dalam ilmu retorika, kalimat aktif diakui lebih mencerminkan dinamika dari pada kalimat pasif. Pembaca juga lebih muda menangkap gagasan yang disampaikan dalam bentuk kalimat aktif dari pada kalimat pasif. Bahasa jurnalistik agaknya mengikuti prinsip yang mementingkan kalimat aktif ini. sumber : makalah jurnalistik Lembaga Pendidikan Jurnalistik Antara 2007