--> Skip to main content

Kasus-kasus semantik Bahasa jurnalistik Indonesia

Kasus-kasus semantik Bahasa jurnalistik Indonesia tetap berpijak pada pemakaian bahasa Indonesia yang benar. Itu sebabnya wartawan juga dituntut memiliki pengetahuan semantik yang memdai. Tak memiliki pengetahuan itu, wartawan akan seenaknya saja menggunakan kata-kata untuk konteks yang tidak dimaksudkan oleh kata-kata tersebut.
Banyak wartawan yang mengabaikan perbedaan makna hampir dan nyaris, komsumtivisme dan konsumerisme dan seterusnya. Wartawan yang tak bisa membedakan makna “pun” sebagai partikel atau sebagai sinonim untuk “juga” cenderung keliru dalam cara menuliskannya. (Siapapun—pun di sini sebagai partikel sehingga penulisannya digabung; Saya pun –pun di sini sebagai sinonim “juga” sehingga harus dipisah dalam penulisannya. Kasus-kasus ejaan Sampai saat ini masih banyak wartawan yang melakukan kesalahan dalam ejaan dan penulisan kata yang sesuai dengan standar bahasa Indonesia baku. Yang paling sering terjadi adalah penulisan singkatan gelar : Amir, S.H. (sarjana hukum). Jika tanda koma dan titik setelah huruf S dihilangkan, SH di sini bisa berarti Surya Hadiningrat. Perihal kesantunan bahasa jurnalistik Di Indonesia, salah seorang linguis yang memperhatikan bahasa jurnalistik adalah Anton M. Moeliono. Menurut dia, dalam menyampaikan berita, wartawan terikat oleh tata krama berbahasa. Jika seorang pejabat mengucapkan kata-kata tak senonoh, wartawan tak harus mengutipnya secara verbatim dalam bentuk kutipan langsung. Kesantunan berbahasa dalam jurnalisme tentu menjadi isu yang menarik untuk dibahas karena pokok bahasan ini bersinggungan dengan apa yang kita kenal dengan eufemisme. Perkara sopan santun juga bersifat situasional dan kontekstual, jadi bukan hal yang universal. Oleh sebab itu, apa yang dianggap santun oleh satu komunitas belum tentu dianggap demikian oleh komunitas lainnya. Sesuatu yang dianggap santun oleh satu generasi bisa dianggap tidak santun oleh generasi berikutnya. Kata “sundal” sekarang ini tak pernah muncul di media massa. Tapi kata itu digunakan secara lazim dalam persuratkabaran di era menjelang kemerdekaan RI. Orba pernah alergi dengan kata “perempuan”, tapi sekarang kata itu terdengar lebih pas untuk dipilih daripada lema “wanita”. Namun, sebagai manusia yang diikat oleh konvensi sosial-moral, wartawan tetap saja harus mengakui perlunya bertatakrama dalam menggunakan bahasa jurnalistik di media massa. Bahkan di kalangan seniman yang cenderung liberal dalam berolah kata, mereka masih segan untuk menerjemahkan tajuk lakon teater seperti “Monolog Vagina” ke dalam kosa kata yang asli Indonesia. Sumber: Makalah Mas Mulyo Sanyoto pengajar jurnalistik LPJA - Bahasa Jurnalistik Indonesia oleh Goenawan Mohamad; The Economist Style Guide, The Reader’s Digest.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar