SUNGGUHKAH IKLAN POLITIK TELEVISI EFEKTIF
SUNGGUHKAH IKLAN POLITIK TELEVISI EFEKTIF?
Tanpa terasa setiap hari kita dikepung iklan-iklan dan retorika partai politik khususnya saat Pemilu 2004 yang jatuh pada 5 April 2004. Iklan-iklan itu merasuk dan mengepung dunia kesadaran bangsa, mengusik ketenangan saat menikmati sebuah tayangan atau berita.
Megawati dengan iklan 'Moncong Putihnya', SBY dengan iklan Partai Demokratnya, Pan bersama Amien Rais juga tak mau ketinggalan, seolah berlomba mencari pengaruh.
Tapi persoalan besarnya adalah, benarkah iklan-iklan itu efektif dalam mempengaruhi massa? Begitu bodohkah massa --dalam hal ini pemirsa televisi- sehingga begitu saja harus percaya pada apa saja yang diucapkan oleh jurukampanye atau komunikator politik? Ataukah, pengaruhnya biasa-biasa saja ? Bila dirujuk ke belakang, Marshall McLuhan dalam bukunya "Understanding Media" (1999) mengatakan bahwa televisi bukan sekedar medium teknologi, tetapi lebih pada medium metafor dari alam semesta. Artinya televisi bisa menyajikan kenyataan di luar media menggunakan metafor-metafor yang unik. Ketika televisi lahir, dan kemudian menjadi salah satu medium pembenaran melanjutkan tradisi empirisme, maka Neil Postman ( dalam buku Amusing Ourselves to Death: publis Discourse in the Age of Business, 1995) paling keras mengkritik televisi sebagai medium yang setiap menit selalu membodohkan manusia. Televisi seakan menjadi media yang selalu membawa manusia pada dunia penuh omong kosong, berbahaya dan absurd. Dari kacamata Neil, kekuatan televisi telah membunuh kreativitas nalar menausia yang sebelumnya telah berkembang lewat budaya cetak dan tulis. Kondisi itu di sisi lain membuat manusia tidak lagi menjadi 'homo sapiens' (manusia yang bijak) tetapi sebagai makhluk yang setiap saat mengkonsumsi menu informasi instan yang penuh dengan 'bumbu masak' kebohongan dan pembodohan. Meski begitu pendapat Neil itu mendapat bantahan banyak orang, misalnya David Hume. Menurut dia, televisi memang berbahaya, basurd dan omong kosong, tetapi televisi adalah medium simbolik yang paling mendekati kaidah ilmiah. Kemampuan televisi ini tidak dapat diwujudkan oleh media lain sebelumnya sehingga televisi menjadi medium pembenaran mendekati kaidah ilmiah meski absurd, maya dan juga penuh kebohongan. Menurut Burhan Bungin (dalam buku Erotika Media Massa, 2001) sebelumnya orang tak pernah membayangkan kalau ia bisa bersahabat dengan televisi yang sebelumnya dinilai 'naif', tetapi semuanya berubah menjadi kenyataan, televisi justru kini menjadi sahabat berjuta-juta manusia di bumi dengan menyajikan berbagai hiburan, pengetahuan dan kadang juga gosip dan fitnah. Televisi kemudian bisa mereproduksi sifat dan kemampuan yang ada pada semua manusia, dalam interaksi dengan manusia lain. Sebagai konsekuensinya, medium televisi adalah sebuah diskursus pengetahuan umat manusia, namun di saat kebutuhan manusia dapat dipenuhi televisi tanpa basa-basi, televisi bisa menjadi alternatif menggantikan peran manusia secara utuh di waktu yang akan datang. Di saat manusia tak mampu lagi bersahabat dengan masyarakat, televisi justru mampu menjadi medium yang paling tepat untuk membentuk opini dan membangkitkan sentimen masyarakat. Iklan politik Dalam sejarah peradaban manusia, iklan sangat berperan yang penting dalam membentuk opini publik. Itulah sebabnya, partai politik besar dan punya uang menghabiskan banyak uang untuk bisa tampil di televisi. Sebagai media informasi, Iklan menurut Burhan Bungin, menempatkan diri sebagai bagian penting dalam mata rantai kegiatan ekonomi kapitalis. Karenanya, iklan selalu dilihat sebagai bagian dari media kapitalis dalam arti iklan tak bisa dipisahkan dari rangkaian kegaiatan perusahaan yang tiada lain milik kapitalis. Maka dari itu iklan akan selalu hidup selama kapitalisme itu juga hidup. Bagaimana dengan iklan 'Moncong Putih", atau Iklan Prabowo di televisi? Efektifkah iklan itu menggoda pemirsa agar mau memilih partai yang mereka tawarkan? Menurut Pemerhati Masalah Internasional T Yulianti, Iklan politik selalu mengundang kontroversi. Baru-baru ini, iklan politik Presiden AS George W Bush yang menayangkan gambar serangan 11 September 2001 dihujat sejumlah kalangan. Politisi yang menggunakan tragedi yang menewaskan 4.000 orang sebagai iklan politik dianggap tidak memiliki nurani. Padahal, kubu Partai Republik sengaja mengangkat peristiwa dramatis itu untuk menggugah pemilih agar memilih presiden yang bisa menjadi commander in chief yang kuat seperti Bush. Menurut T Yulianti , sejak pertama kali muncul di televisi tahun 1952, iklan politik selalu mengundang perdebatan, terkait etika dan hukum. Contoh, iklan politik Lyndon B Johnson tahun 1964, yang kondang disebut iklan "Bunga Daisy". Dalam spot iklan ditayangkan seorang gadis cilik tengah memetik bunga aster (daisy) saat sebuah bom atom meledak dengan jamur api mahadahsyat membumbung tinggi. Iklan politik itu dimaksudkan untuk menyebarkan ketakutan rakyat mengenai kecenderungan Barry Goldwater, lawan politik Johnson, untuk memulai sebuah perang nuklir dengan Uni Soviet. Iklan politik itu hanya ditayangkan sekali pada 7 September 1964 di televisi CBS sebab Goldwater mengancam menggugat Johnson dengan tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik. Meski dicabut, iklan itu berulang-ulang ditayangkan dalam pemberitaan setelah kontroversi menjadi perdebatan publik. "Bunga Daisy" merupakan satu dari ratusan iklan politik sepanjang lebih dari 50 tahun sejarah perkembangannya. Iklan politik selalu menarik perhatian publik AS selama 13 kali pemilihan presiden, meski diperlukan uang luar biasa besar. Pada kampanye Pemilu 1988, tiap calon presiden mengeluarkan dana rata-rata 228 juta dollar AS untuk belanja iklan politik. Jumlah ini sekitar 8,4 persen dari biaya kampanye keseluruhan. Belakangan, biaya iklan politik meroket. Para calon presiden memprioritaskan pemasangan iklan di televisi dalam strategi kampanye. Pada Pemilu 1992, calon presiden Bush dan Clinton sama-sama membelanjakan 60 persen anggaran kampanye untuk iklan radio dan televisi. Pada Pemilu 2000, calon presiden George W Bush (Partai Republik) mengeluarkan biaya iklan 47,3 juta dollar. Al Gore (Partai Demokrat) menghabiskan 47,6 juta dollar. Pertanyaannya, bisakah uang sebanyak itu membeli suara? Iklan politik tidak beda promosi produk. Keduanya berusaha menjual sesuatu kepada sasaran konsumen tertentu. Memang iklan politik lebih rumit daripada, iklan sabun atau obat nyamuk. Jika berhasil, iklan politik bisa meraih sejumlah target, seperti meningkatkan popularitas calon, meyakinkan pemilih yang masih bingung, meraih dukungan, menyerang pesaing dan penentang, menjelaskan visi dan misi, dan menjaga citra sang calon. Sindiran, kritikan, drama, humor, horor, dan serangan terbuka menjadi isi iklan politik. Presiden George W Bush --menurut kajian T Yulianto--,tampaknya memutar kembali iklan politik feel-good ads ke suspence and dramatic ads. Baru-baru ini, untuk bisa terpilih kembali, tim kampanye Bush menggelar iklan yang mengeksploitasi peristiwa 11 September 2001. Dalam spot iklan 30 detik seharga 4,5 juta dollar itu, digambarkan tragedi runtuhnya menara kembar WTC yang menewaskan sekitar 4.000 orang. Lalu Bush mengatakan, AS akan masuk jurang jika tidak mempunyai pemimpin kuat. Dia-lah penguasa tertinggi militer yang diperlukan pada masa-masa transisi. Iklan diakhiri tulisan, "Safer, Stronger. President Bush. Steady Leadership in times of change". sungguhkah efektif? Persoalannya efektivitas iklan politik di televisi guna memenangkan pemilu dan meraih suara sebanyak mungkin? Roderick Hart, profesor ilmu politik Universitas Texas mengatakan, tidak ada kajian dan penelitian cukup yang bisa memastikan apakah iklan politik bisa menggalang suara bagi para calon presiden. Ditambahkan, ada semacam kepercayaan di masyarakat, betapa pun kuatnya pengaruh iklan di televisi, Dari kajian T Yulianti, efektivitas iklan politik belum terjamin seperti halnya iklan sabun atau produk lainnya. Banyak kajian menunjukkan swing voters, pemilih berpindah dukungan karena dipengaruhi iklan politik, kampanye, penampilan kandidat, atau program partai, persentasenya sangat kecil. Di Amerika Serikat, jumlah swing voters hanya 15 persen dari total pemilih. Mereka inilah yang sebetulnya jadi sasaran utama iklan politik karena sebetulnya sebagian besar pemilih sudah memiliki party identification. Pemilih tipe ini loyal pada partainya serta tidak akan terpengaruh oleh kampanye atau iklan politik. Kenneth Goldstein, ahli ilmu politik Universitas Wiscounsin mengatakan, iklan politik bisa mempengaruhi, terutama dalam pemilihan antara dua calon presiden yang memiliki kualitas dan kemampuan hampir sama. Dari kajian ini, televisi dianggap punya kekuatan untuk mempengaruhi keinginan calon pemilih untuk menentukan pilihan mereka. Meski tidak secara langsung, televisi mampu membuat seorang tokoh yang sebelumnya 'tidak terkenal' bisa menjadi tokoh yang banyak dibicarakan banyak orang. Kasus ini bisa diterapkan pada diri Susilo Bambang Yudhoyono. Meski partai di balik SBY masih bisa dibilang partai yang baru, tetapi tanggapan masyarakat terhadap kehadiran SBY di daerah-daerah cukup meriah, dan ini salah satu penyebabnya adalah : televisi. (makalah tahun 2004)
Tapi persoalan besarnya adalah, benarkah iklan-iklan itu efektif dalam mempengaruhi massa? Begitu bodohkah massa --dalam hal ini pemirsa televisi- sehingga begitu saja harus percaya pada apa saja yang diucapkan oleh jurukampanye atau komunikator politik? Ataukah, pengaruhnya biasa-biasa saja ? Bila dirujuk ke belakang, Marshall McLuhan dalam bukunya "Understanding Media" (1999) mengatakan bahwa televisi bukan sekedar medium teknologi, tetapi lebih pada medium metafor dari alam semesta. Artinya televisi bisa menyajikan kenyataan di luar media menggunakan metafor-metafor yang unik. Ketika televisi lahir, dan kemudian menjadi salah satu medium pembenaran melanjutkan tradisi empirisme, maka Neil Postman ( dalam buku Amusing Ourselves to Death: publis Discourse in the Age of Business, 1995) paling keras mengkritik televisi sebagai medium yang setiap menit selalu membodohkan manusia. Televisi seakan menjadi media yang selalu membawa manusia pada dunia penuh omong kosong, berbahaya dan absurd. Dari kacamata Neil, kekuatan televisi telah membunuh kreativitas nalar menausia yang sebelumnya telah berkembang lewat budaya cetak dan tulis. Kondisi itu di sisi lain membuat manusia tidak lagi menjadi 'homo sapiens' (manusia yang bijak) tetapi sebagai makhluk yang setiap saat mengkonsumsi menu informasi instan yang penuh dengan 'bumbu masak' kebohongan dan pembodohan. Meski begitu pendapat Neil itu mendapat bantahan banyak orang, misalnya David Hume. Menurut dia, televisi memang berbahaya, basurd dan omong kosong, tetapi televisi adalah medium simbolik yang paling mendekati kaidah ilmiah. Kemampuan televisi ini tidak dapat diwujudkan oleh media lain sebelumnya sehingga televisi menjadi medium pembenaran mendekati kaidah ilmiah meski absurd, maya dan juga penuh kebohongan. Menurut Burhan Bungin (dalam buku Erotika Media Massa, 2001) sebelumnya orang tak pernah membayangkan kalau ia bisa bersahabat dengan televisi yang sebelumnya dinilai 'naif', tetapi semuanya berubah menjadi kenyataan, televisi justru kini menjadi sahabat berjuta-juta manusia di bumi dengan menyajikan berbagai hiburan, pengetahuan dan kadang juga gosip dan fitnah. Televisi kemudian bisa mereproduksi sifat dan kemampuan yang ada pada semua manusia, dalam interaksi dengan manusia lain. Sebagai konsekuensinya, medium televisi adalah sebuah diskursus pengetahuan umat manusia, namun di saat kebutuhan manusia dapat dipenuhi televisi tanpa basa-basi, televisi bisa menjadi alternatif menggantikan peran manusia secara utuh di waktu yang akan datang. Di saat manusia tak mampu lagi bersahabat dengan masyarakat, televisi justru mampu menjadi medium yang paling tepat untuk membentuk opini dan membangkitkan sentimen masyarakat. Iklan politik Dalam sejarah peradaban manusia, iklan sangat berperan yang penting dalam membentuk opini publik. Itulah sebabnya, partai politik besar dan punya uang menghabiskan banyak uang untuk bisa tampil di televisi. Sebagai media informasi, Iklan menurut Burhan Bungin, menempatkan diri sebagai bagian penting dalam mata rantai kegiatan ekonomi kapitalis. Karenanya, iklan selalu dilihat sebagai bagian dari media kapitalis dalam arti iklan tak bisa dipisahkan dari rangkaian kegaiatan perusahaan yang tiada lain milik kapitalis. Maka dari itu iklan akan selalu hidup selama kapitalisme itu juga hidup. Bagaimana dengan iklan 'Moncong Putih", atau Iklan Prabowo di televisi? Efektifkah iklan itu menggoda pemirsa agar mau memilih partai yang mereka tawarkan? Menurut Pemerhati Masalah Internasional T Yulianti, Iklan politik selalu mengundang kontroversi. Baru-baru ini, iklan politik Presiden AS George W Bush yang menayangkan gambar serangan 11 September 2001 dihujat sejumlah kalangan. Politisi yang menggunakan tragedi yang menewaskan 4.000 orang sebagai iklan politik dianggap tidak memiliki nurani. Padahal, kubu Partai Republik sengaja mengangkat peristiwa dramatis itu untuk menggugah pemilih agar memilih presiden yang bisa menjadi commander in chief yang kuat seperti Bush. Menurut T Yulianti , sejak pertama kali muncul di televisi tahun 1952, iklan politik selalu mengundang perdebatan, terkait etika dan hukum. Contoh, iklan politik Lyndon B Johnson tahun 1964, yang kondang disebut iklan "Bunga Daisy". Dalam spot iklan ditayangkan seorang gadis cilik tengah memetik bunga aster (daisy) saat sebuah bom atom meledak dengan jamur api mahadahsyat membumbung tinggi. Iklan politik itu dimaksudkan untuk menyebarkan ketakutan rakyat mengenai kecenderungan Barry Goldwater, lawan politik Johnson, untuk memulai sebuah perang nuklir dengan Uni Soviet. Iklan politik itu hanya ditayangkan sekali pada 7 September 1964 di televisi CBS sebab Goldwater mengancam menggugat Johnson dengan tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik. Meski dicabut, iklan itu berulang-ulang ditayangkan dalam pemberitaan setelah kontroversi menjadi perdebatan publik. "Bunga Daisy" merupakan satu dari ratusan iklan politik sepanjang lebih dari 50 tahun sejarah perkembangannya. Iklan politik selalu menarik perhatian publik AS selama 13 kali pemilihan presiden, meski diperlukan uang luar biasa besar. Pada kampanye Pemilu 1988, tiap calon presiden mengeluarkan dana rata-rata 228 juta dollar AS untuk belanja iklan politik. Jumlah ini sekitar 8,4 persen dari biaya kampanye keseluruhan. Belakangan, biaya iklan politik meroket. Para calon presiden memprioritaskan pemasangan iklan di televisi dalam strategi kampanye. Pada Pemilu 1992, calon presiden Bush dan Clinton sama-sama membelanjakan 60 persen anggaran kampanye untuk iklan radio dan televisi. Pada Pemilu 2000, calon presiden George W Bush (Partai Republik) mengeluarkan biaya iklan 47,3 juta dollar. Al Gore (Partai Demokrat) menghabiskan 47,6 juta dollar. Pertanyaannya, bisakah uang sebanyak itu membeli suara? Iklan politik tidak beda promosi produk. Keduanya berusaha menjual sesuatu kepada sasaran konsumen tertentu. Memang iklan politik lebih rumit daripada, iklan sabun atau obat nyamuk. Jika berhasil, iklan politik bisa meraih sejumlah target, seperti meningkatkan popularitas calon, meyakinkan pemilih yang masih bingung, meraih dukungan, menyerang pesaing dan penentang, menjelaskan visi dan misi, dan menjaga citra sang calon. Sindiran, kritikan, drama, humor, horor, dan serangan terbuka menjadi isi iklan politik. Presiden George W Bush --menurut kajian T Yulianto--,tampaknya memutar kembali iklan politik feel-good ads ke suspence and dramatic ads. Baru-baru ini, untuk bisa terpilih kembali, tim kampanye Bush menggelar iklan yang mengeksploitasi peristiwa 11 September 2001. Dalam spot iklan 30 detik seharga 4,5 juta dollar itu, digambarkan tragedi runtuhnya menara kembar WTC yang menewaskan sekitar 4.000 orang. Lalu Bush mengatakan, AS akan masuk jurang jika tidak mempunyai pemimpin kuat. Dia-lah penguasa tertinggi militer yang diperlukan pada masa-masa transisi. Iklan diakhiri tulisan, "Safer, Stronger. President Bush. Steady Leadership in times of change". sungguhkah efektif? Persoalannya efektivitas iklan politik di televisi guna memenangkan pemilu dan meraih suara sebanyak mungkin? Roderick Hart, profesor ilmu politik Universitas Texas mengatakan, tidak ada kajian dan penelitian cukup yang bisa memastikan apakah iklan politik bisa menggalang suara bagi para calon presiden. Ditambahkan, ada semacam kepercayaan di masyarakat, betapa pun kuatnya pengaruh iklan di televisi, Dari kajian T Yulianti, efektivitas iklan politik belum terjamin seperti halnya iklan sabun atau produk lainnya. Banyak kajian menunjukkan swing voters, pemilih berpindah dukungan karena dipengaruhi iklan politik, kampanye, penampilan kandidat, atau program partai, persentasenya sangat kecil. Di Amerika Serikat, jumlah swing voters hanya 15 persen dari total pemilih. Mereka inilah yang sebetulnya jadi sasaran utama iklan politik karena sebetulnya sebagian besar pemilih sudah memiliki party identification. Pemilih tipe ini loyal pada partainya serta tidak akan terpengaruh oleh kampanye atau iklan politik. Kenneth Goldstein, ahli ilmu politik Universitas Wiscounsin mengatakan, iklan politik bisa mempengaruhi, terutama dalam pemilihan antara dua calon presiden yang memiliki kualitas dan kemampuan hampir sama. Dari kajian ini, televisi dianggap punya kekuatan untuk mempengaruhi keinginan calon pemilih untuk menentukan pilihan mereka. Meski tidak secara langsung, televisi mampu membuat seorang tokoh yang sebelumnya 'tidak terkenal' bisa menjadi tokoh yang banyak dibicarakan banyak orang. Kasus ini bisa diterapkan pada diri Susilo Bambang Yudhoyono. Meski partai di balik SBY masih bisa dibilang partai yang baru, tetapi tanggapan masyarakat terhadap kehadiran SBY di daerah-daerah cukup meriah, dan ini salah satu penyebabnya adalah : televisi. (makalah tahun 2004)