--> Skip to main content

ARTIKEL LEPAS

SEMIOTIKA : Binatang Apa? ”Bila bulan bisa ngomong,…….. Nanti siapa yang akan kuat mendengar keluhannya? Bila matahari bisa mengungkapkan rasa hati, tentu dia sudah tak kuat melihat kelakuan kita sehari-hari…”” (anonim, 2004 ) Mencoba mengenal sesuatu dan alam sekitarnya adalah salah satu karunia terbesar yang diberikan Tuhan kepada Manusia. Lewat seluruh panca inderanya, manusia mencoba memberi makna dari setiap derap, langkah bahkan nafasnya sendiri.
Dalam seluruh hidupnya, manusia selalu mengejar makna-makna yang ada di sekitarnya, menginterpretasikan fakta, mengurai ada apa di balik kata-kata atau peristiwa yang dialaminya. Keunikan manusia dibanding ciptaan Tuhan yang lain adalah kemampuannya dalam merangkai kata dan berbahasa mengurai makna. Lebih heboh lagi, Erns Cassier menyebut manusia sebagai ‘animal symbolicum yakni makhluk atau ciptaan yang mempergunakan simbol yang secara generik mempunyai cakupan yang lebih luas ketimbang istilah Homo sapiens (yang biasa diterakan pada manusia) yakni sebagai makhluk yang berpikir, sebab dalam kegiatan berpikirnya manusia itu, manusia mempergunakan simbol-simbol. Untuk urusan makan saja, manusia punya banyak cara mengungkapkan keinginannya: lewat suaranya, lewat tatapan matanya, bahkan lewat ‘’kekuatan simbolik” kertas yang sama-sama diyakini sebagai alat tukar yang sah –yakni uang--. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh binatang atau jenis binatang cerdas seperti simpanse sekalipun. Akan menggelikan misalnya bila binatang bisa berbahasa seperti manusia. Ayam, babi, sapi yang hendak dipotong atau kambing yang hendak disembelih manusia, tentu berontak atau akan merintih-rintih dan dengan suara mengiba meminta dirinya dilepaskan dari mara bahaya. Lewat kemampuan berbahasa manusia bisa mengembangkan kemampuan berpikirnya secara sistematis, mampu menggunakan otaknya demi mencapai keuntungan tanpa harus mengeluarkan kekuatan fisiknya sebagai mana yang ditunjukkan oleh harimau atau singa bila berhadapan dengan saingannya saat hendak menyantap barang buruannya. Tanpa kemampuan berbahasa ini, manusia tak bisa mengembangkan kebudayaannya, sebab manusia tanpa bahasa maka hilang pula kemampuan mereduplikasi, mewariskan atau meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi.[1] “Tanpa Bahasa,”simpul Aldous Huxley sebagaimana dikutip Jujun S Suriasumantri ,”manusia tak berbeda dengan anjing atau monyet”.[2] Mengapa bisa begitu, --mungkin anda bertanya-tanya--,jawabannya sederhana saja. Manusia bisa berpikir dengan baik, karena dia mempunyai bahasa. Tanpa bahasa maka manusia tidak akan dapat berpikir secara rumit dan abstrak seperti yang dilakukan mahasiswa atau dosen saat menyusun skripsi atau tesis penelitian mereka. Tanpa bahasa, maka kita tak mungkin bisa mengartikan buah pikiran orang lain atau bisa mengkomunikasikan pengetahuan kita kepada orang lain. Sebagai perbandingan, binatang seperti anjing atau harimau tak memiliki kemampuan berpikir dan menuangkan gagasannya lewat bahasa. Binatang tidak diberkahi dengan bahasa yang sempurna sebagaimana yang kita miliki. Oleh sebab itu, macan atau anjing tak bisa menggelar sebuah seminar di antara mereka tentang cara bagaimana memburu atau menaklukan manusia. Binatang tidak dapat berpikir dengan baik dan mengakumulasikan pengetahuannya lewat proses komunikasi seperti manusia dalam mengembangkan ilmu. Menurut Aldous Huxley, “Mungkin saja terdapat genius di antara para gorila, tetapi karena mereka tidak mempunya bahasa yang terstruktur rapi dan sistematis sebagaimana manusia, maka buah pikiran dan penemuan genius itu tidak tercatat dan menghilang begitu saja”. Meski manusia itu punya bahasa, tapi dalam praktek sehari-hari, manusia masih harus melakukan interpretasi atau upaya memberi makna terhadap bahasa. Apalagi bila sudah tertulis menjadi bahasa yang lebih baku dan tercetak di media massa, upaya pemberian makna atau interpretasi menjadi kendala yang tak boleh dianggap enteng. Terkadang bisa timbul bias atau bahkan penyimpangan makna lewat interpretasi yang salah atau konteks berpikir yang berbeda. Makna terhadap bahasa atau simbol-simbol manusia terkadang menimbulkan ketegangan tersendiri, apalagi bila dikaitkan dengan ideologi, latar belakang para penyampai pesan serta mereka yang mengintepretasikan pesan. Mengenal semiotika Tidak kenal maka tak sayang, istilah ini tepat bila ditujukan pada peminat kajian semiotika. Kata itu kadang masih terdengar asing bagi telinga mahasiswa juga di kalangan mahasiswa Ilmu Komunikasi, meski tak sedikit yang sudah melirik dan mulai mencoba-coba menggunakan semiotika sebagai alat ‘bedah’ penelitian mereka. Di Universitas Moestopo khususnya di Fikom, sejumlah mahasiswa konsentrasi jurnalistik dan periklanan ‘berani’ memakai pendekatan semiotika dalam menelaah konstruksi realitas sosial atau representasi fenomena politik atau sosial yang coba dimunculkan oleh media massa. Tidak saja bagi mahasiswa konsentrasi jurnalistik yang mengangkat bagaimana sebuah media massa mengangkat sebuah realitas menjadi ‘tanda’ yang punya makna, mahasiswa konsentrasi periklananpun bisa menggunakan semiotika sebagai pisau analisis dalam menelaah makna dibalik sebuah iklan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, pendekatan dan metodelogi atau sebuah bidang kajian semiotika tampaknya kini mulai di”akrab”-I, tidak saja oleh para akademisi, tetapi juga oleh para mahasiswa, khususnya pada program ilmu komunikasi.[3] Lewat semiotika peneliti komunikasi terangsang dan tergelitik untuk menguak ada apa di balik berita-berita yang dibuat oleh wartawan tentang suatu peristiwa atau kejadian yang ada di sekitarnya. Tanpa berupaya mengecilkan arti penelitian analisis isi klasik yang bersifat kuantitatif, penelitian menggunakan semiotika mencoba meraih dan merengkuh lebih dalam makna yang muncul dari sebuah berita, kalimat, frasa, lead judul bahkan kata. Meski terkadang nyaris tak berbeda dengan analisis wacana yang menelaah ada apa di balik sebuah wacana atau discourse, analisis semiotika punya caranya sendiri dalam mengupas makna. Semiotika yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda, pada dasarnya merupakan suatu studi atas kode-kode yakini sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna. ------- [1] Jujun S Suriasumantri dalam bukunya “ Filsafat Ilmu sebuah pengantar Populer, 1999 bahkan menilai, kemampuan berbahasa inilah yang membuat mengapa manusia bisa lebih bertahan hidup ketimbang monyet sekalipun. [2] Ibid.hal.171 [3] Alex Sobur dalam bukunya ‘Semiotika Komunikasi’ terbitan Remaja Rosdakarya Bandung (2003) menilai bahwa semiotika adalah suatu bidang studi yang ‘hangat’ dan memikat. Semiotika telah menjadi kegemaran di tengah-tengah kalangan progresif. Ia membetot perhatian sejumlah besar sarjana. Sebagai buktinya ada Jurnal Semiotica dan serial Approaches to Semiotics yang disunting Thomas A.Sebeok. Selain itu didukung dengan banyaknya pusat semiotika (Centre for semiology di Universitas Brussels Belgia, Brazilian Semiotic Society di Sao Paulo Brazil, Centro Latino-Americano de Semiotica di Colombia, International Semiotics Institute di Finlandia, Japanese Association for Semiotic Society Studies di Jepang, International Association For Semiotics of Law di Inggris dan Research Center for Language and Semiotic Studies di Universitas Indiana Amerika.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar