--> Skip to main content

Teori Interaksionis Simbolik pada kasus Kerusuhan Sampit

Tinjauan Teori Interaksionis Simbolik pada kasus Kerusuhan Sampit oleh Yoyoh Hereyah

Kasus Sampit di tahun 2001 merupakan salah satu kasus kerusuhan rasial yang menewaskan sejumlah besar orang . menurut catatan beberapa media massa lebih dari seribu orang etnis madura menjadi korban di sana.
Kasus ini merupakan kasus cultural yang dinilai besar dan terjadi di masa transisi Indonesia. Menurut Jamie Davidson dalam tesis Ph.D. Violence and Politics in West Kalimantan, Indonesia (Washington University, Seattle: 2002), bungkus tragedi itu adalah kerusuhan anti-Madura. Media mainstream di Pontianak, Palangka Raya, Banjarmasin, Balikpapan dan Samarinda diisi dengan komentar-komentar rasialis tentang orang Madura, seakan-akan untuk memberikan legitimasi bahwa orang Madura ... boleh dipotong kepalanya. Orang Dayak dan orang Melayu pun berlomba-lomba menjadikan orang Madura sebagai kambing hitam dalam rangka memperkuat posisi etnik masing-masing. Persaingan terbesar di Kalimantan Barat sebenarnya terjadi antara orang Dayak dengan orang Melayu. Pembunuhan terbesar orang Madura terjadi di Sambas pada 1999 (oleh orang Melayu) dan Sampit pada 2001 (oleh orang Dayak). Kerusuhan Sampit ini marak pada tanggal 17 Februari di Sampit, ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur, ketika – dengan alasan masih belum bisa dipastikan - sebuah rumah milik penduduk asli Dayak dibakar habis. Menurut laporan orang-orang setempat, ada komplotan orang Madura yang baru saja tiba berkeliling Sampit sambil memekik ‘Matilah Orang Dayak.’ Ratusan orang Dayak mengungsi keluar dari kota atau berlindung di gereja-gereja. Setelah berita itu menyebar orang Dayak dalam jumlah besar kemudian kembali ke Sampit untuk membalas dendam. Enam orang tewas. Kerusuhan menyebar dengan cepat ke kota maupun kampung sekitar dan mencapai ibukota propinsi Palangkaraya, 220 kilimeter ke sebelah Timur. Dalam sebuah insiden terburuk saat kerusuhan, 118 orang Madura yang sedang dalam perjalanan ke Sampit dibunuh oleh orang Dayak di kampung Parenggean pada tanggal 25 Februari, setelah polisi pengawal mereka melarikan diri.[1] Pada tanggal 2 Maret, kekerasan cukup mereda dan memungkinkan kunjungan Wakil Presiden Megawati selama 30 menit ke kem pengungsi di Sampit yang kemudiaan diikuti dengan kunjungan singkat Presiden Wahid pada tanggal 8 maret ke Sampit dan Palangkaraya. Bagaimanapun ketenangan yang relatif itu hanya bisa tercapai karena sebagian besar pendatang orang Madura sudah bersembunyi di pengungsian, mengungsi ke Banjarmasin, ibukota propinsi tetangga, Kalimantan Selatan, atau sudah dievakuasi ke Jawa. Kekerasan lebih lanjut terjadi setelah kunjungan Abdurrahman Wahid dimana enam orang pengunjuk rasa Dayak ditembak mati polisi.[2] Pada tanggal 22 Maret terjadi lagi kerusuhan di dan di sekitar ibukota Kabupaten Kuala Kapuas. Sebanyak 17 orang lagi dilaporkan tewas dan banyak rumah serta harta benda yang dibakar. Banyak orang Madura meminta perlindungan polisi. Polisi mendapat perintah tembak ditempat terhadap para perusuh. Bulan April kerusuhan baru berupa pembakaran rumah dilaporkan di Pangkalan Bun, ibukota Kabupaten Kotawaringin Barat. Menurut polisi setempat, kerusuhan diawali oleh sekitar 400 orang yang tiba dengan menggunakan truk dari arah Sampit yang berhasil menerobos para polisi yang mencegah mereka untuk memasuki kota. Mereka mulai membakari rumah-rumah orang Madura, sekaligus menciptakan arus pengungsi lebih lanjut. Kembali ke Sampit, orang Dayak bentrok dengan polisi pada tanggal 10 April ketika para pengunjuk rasa yang marah memprotes penahanan dan penembakan orang Dayak. Para pengunjuk rasa menuntut agar semua polisi mundur dari kota. Tembakan dilepaskan dan seorang awam tewas.[3] MENGAPA dalam kasus Sampit konflik terjadi hanya antara Dayak dan Madura, sebaliknya dengan suku-suku lain terbina hidup rukun dan damai? Mengapa dalam setiap konflik, di kalangan masyarakat Dayak ada perasaan selalu sebagai pihaknya yang disalahkan? Dan mengapa kejahatan-kejahatan yang dilakukan warga suku Madura tidak diproses secara hukum? Jawaban yang serupa diperoleh di mana-mana. Mulai dari budaya kekerasan yang mereka sebut sebagai akar masalah hingga dugaan kolusi yang terjadi antara aparat penegak hukum dengan warga etnis Madura, terutama di Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur yang dihuni sekitar 160.000 jiwa dengan 60 persen di antaranya etnis Madura. Kasus ini merupakan kasus yang menarik bila dikaji menggunakan Teori Interaksionisme Simbolik. Mengapa bisa terjadi kerusuhan dan pembunuhan massal terhadap sebuah etnis tertentu oleh etnis Dayak yang sebelumnya diketahui tidak bermasalah? Bagaimana apabila kasus ini dibedah menggunakan Teori Interaksionis Simbolik ? B. KERANGKA PEMIKIRAN Sebelum mengungkap makna dari kasus diatas ada baiknya kita mengungkap apa itu sebenarnya Teori Interaksionisme –simbolik ini.Teori interaksionisme-simbolik dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh-tokohnya seperti Goerge H.Mead dan Herbert Blummer. Awal perkembangan interaksionisme simbolik dapat dibagi menjadi dua aliran / mahzab yaitu aliran / mahzab Chicago, yang dipelopori oleh oleh Herbert Blumer, melanjutkan penelitian yang dilakukan George Herbert Mead. Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan di dalam cara yang sama dari ketika studi tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok materi, masuk pengalaman nya, dan usaha untuk memahami nilai dari tiap orang. Blumer dan pengikut nya menghindarkan kwantitatif dan pendekatan ilmiah dan menekankan riwayat hidup, autobiografi, studi kasus, buku harian, surat, dan nondirective interviews. Blumer terutama sekali menekankan pentingnya pengamatan peserta di dalam studi komunikasi. Lebih lanjut, tradisi Chicago melihat orang-orang sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak dapat diramalkan. masyarakat dan diri dipandang sebagai proses, yang bukan struktur untuk membekukan proses adalah untuk menghilangkan inti sari hubungan sosial.[4] Menurut H. Blumer teori ini berpijak pada premis bahwa (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka, (2) makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”, dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung. “Sesuatu” – alih-alih disebut “objek” – ini tidak mempunyai makna yang intriksik. Sebab, makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis.[5] Bagi H. Blumer, “sesuatu” itu – biasa diistilahkan “realitas sosial” – bisa berupa fenomena alam, fenomena artifisial, tindakan seseorang baik verbal maupun nonverbal, dan apa saja yang patut “dimaknakan”. Sebagai realitas sosial, hubungan “sesuatu” dan “makna” ini tidak inheren, tetapi volunteristrik. Sebab, kata Blumer sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor melakukan serangkaian kegiatan olah mental: memilih, memeriksa, mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya. Dengan demikian, pemberian makna ini tidak didasarkan pada makna normatif, yang telah dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah mental yang terus-menerus disempurnakan seiring dengan fungsi instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dan sikap aktor atas sesuatu tersebut. Dari sini jelas bahwa tindakan manusia tidak disebabkan oleh “kekuatan luar” (sebagaimana yang dimaksudkan kaum fungsionalis struktural), tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam” (sebagaimana yang dimaksud oleh kaum reduksionis psikologis) tetapi didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut self-indication. [6] Menurut Blumer proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian, proses self-indication ini terjadi dalam konteks sosial di mana individu mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia memaknakan tindakan itu. [7] Lebih jauh Blumer dalam buku yang sama di halaman 78 menyatakan bahwa interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, dan oleh kepastian makna dari tindakan orang lain, bukan hanya sekedar saling bereaksi sebagaimana model stimulus-respons. Selain menggunakan Interaksionis Simbolik, kasus Sampit bisa didekati dengan metode Hermeneutik. Hermeneutik dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau falsafah yang menginterpretasi makna. Pada dasawarsa ini, Hermeneutik muncul sebagai topik utama dalam falsafah ilmu sosial, seni dan bahasa dan dalam wacana kritikan sastera yang mempamerkan hasil interpretasi teks sastera. Perkataan Hermeneutik berasal dari dua perkataan Greek: hermeneuein, dalam bentuk kata kerja bermakna ”to interpret” dan hermeneia, dalam bentuk kata nama bermakna ”interpretation”. Kaedah ini mengutamakan penginterpretasian teks dalam konteks sosiobudaya dan sejarah dengan mendedahkan makna yang tersirat dalam sesebuah teks atau karya yang diselidiki. Dokumen awal menjelaskan bahawa seorang ahli falsafah, iaitu Martin Heidegger menggunakan kaedah Hermeneutik pada tahun 1889-1976. Walau bagaimanapun, Hermeneutik telah mula dipelopori oleh Schleimarcher dan Dilthey sejak abad ke-17 dan diteruskan oleh Habermas, Gadamer, Heidegger, Ricoeur dan lain-lain pada abad ke-20. Menurut Mueller (1997), Hermeneutik adalah seni pemahaman dan bukan sebagai bahan yang telahpun difahami. Hermeneutik juga adalah sebahagian daripada seni pemikiran dan berlatarkan falsafah. Oleh itu, untuk melakukan penginterpretasian terhadap ilmu pengetahuan tentang bahasa, maka adalah penting untuk memahami ilmu pengetahuan individu. Tetapi, pada hakikatnya adalah mustahil untuk menganalisis aspek-aspek psikologi seseorang itu. Kejayaan seni penginterpretasian bergantung kepada kepakaran linguistik dan kebolehan memahami subjek yang dikajinya. C. PEMBAHASAN Kasus Sampit ini berupa sebuah konflik antar etnis Dayak dan Madura . Komunitas Madura telah lama hidup di tanah Kalimantan khususnya Sampit. Mereka beranak pinak dan mempunyai sistem komunitas tersendiri . sejak Desember 1996 secara beruntun warga Madura empat kali menghadapi pertikaian antar-etnis yang sangat dahsyat dan memilukan, mulai dari Sanggau Ledo (Kabupaten Sambas/ Kalimantan Barat) pada Desember 1996. Dari sana, pertikaian dengan etnis Dayak ini terus meluas ke sejumlah kecamatan lain dalam Kabupaten Sambas, Pontianak, dan Kabupaten Sanggau. Lalu, pertikaian itu berakhir 28 Februari 1999. Korban yang tewas diperkirakan sedikitnya 350 orang. Ribuan tempat tinggal hangus dibakar. [8] Belum tuntas masyarakat dari kedua etnis melakukan rekonsiliasi dan rehabilitasi psikis, tiba-tiba kasus yang sama berkobar lagi di Desa Parit Setia yang juga masih di Kabupaten Sambas pada 19 Januari 1999. Setelah itu, situasi keamanan pulih kembali. Namun, 22 Februari 1999 konflik etnis Melayu-Madura ini meletus kembali di Pemangkat, lalu disusul 16 Maret 1999 di Samalantan yang melibatkan etnis Dayak dengan Madura.[9] Sejak itu, emosi massa etnis Melayu dan Dayak sulit dibendung lagi. Pertikaian mulai berkobar ke hampir seluruh wilayah Kabupaten Sambas. Sedikitnya 500 warga dari etnis yang bertikai tewas dibunuh. Semua rumah dan tempat usaha milik warga Madura dirusak dan dibakar. Kurang lebih 68.934 jiwa terpaksa diungsikan ke berbagai lokasi di Kota dan Kabupaten Pontianak, serta Kota Administratif Singkawang. Bahkan, hingga kini warga Madura itu masih bertahan di lokasi pengungsian, dan belum dapat dipastikan kapan mereka akan kembali ke Kabupaten Sambas. ”....Bibit permusuhan yang berkembang di Sambas ternyata menyubur pula di Pontianak. Setahun kemudian, yakni pada 25-28 Oktober 2000, pertikaian Melayu-Madura kembali meletus di ibu kota Provinsi Kalbar, Pontianak. Untung saja, penduduk setempat secara bersama-sama tanpa membedakan etnis langsung meningkatkan pengamanan di wilayah permukiman masing-masing sehingga kerusuhan tidak meluas dan dapat dikendalikan. Kendati demikian, sekitar 17 orang tewas, puluhan becak serta kios milik warga Madura dibakar massa. [10] Dari Kalbar, pertikaian antara penduduk asli Kalimantan dengan Madura menjalar hingga ke Kalteng dengan meletusnya tragedi Sampit pada 18 Februari 2001....” Setiap fenomena sosial politik merupakan produksejarah dan tidak terlepas dari latar belakang sejarahnya (ahistory). Ini berlaku pada fenomena konflik di Kalbar. Sejak tahun 1960-an di Kalbar telah terjadi sembilan kali konflik yang cukup besar. Delapan kali di antaranya adalah konflik antara pendatang baru Madura dengan warga Dayak, dan hanya satu kali dengan Melayu -- Melayu Sambas. Selama delapan kali konflik antara Madura Kalbar dengan Dayak, tak seorang pun dan tak sekali pun Melayu Kalbar bergabung dengan saudaranya, Dayak, memberikan reaksi terhadap Madura Kalbar, walaupun mereka memiliki pengalaman pahit yang sama dalam berhubungan dengan pendatang baru Madura. Kalau kemarahan kolektif Melayu hanya terjadi satu kali, sedangkan warga Dayak dan Madura Kalbar mengalami delapan kali konflik, lalu bagaimana mengukur tingkat kesabaran si Melayu, sedangkan Dayak juga terkenal penyabar? Itulah sebabnya Dayak dan Melayu dapat menjalin hubungan dengan kelompok etnik mana pun AWAL pertikaian antar-etnis di Kalbar dan Kalteng sebetulnya dipicu oleh persoalan yang sangat sepele. Kerusuhan Sanggau Ledo, misalnya, dipicu oleh adanya kecemburuan seorang pemuda Madura, sebab pacarnya diajak menari oleh seorang pemuda Dayak dalam suatu pesta pernikahan. Kecemburuan itu diluapkan dengan menikam pemuda Dayak hingga tewas sehingga menimbulkan kemarahan keluarga korban. Pertikaian di Parit Setia berawal dari seorang warga bernama Hassan yang kedapatan mencuri, lalu dihajar warga setempat. Tindakan penduduk Parit Setia ini tidak diterima keluarga Hassan, lalu tepat pada hari Idul Fitri, 19 Januari 1999, ratusan warga Madura menyerang perkampungan Parit Setia, mengakibatkan tiga warga (Melayu) tewas. Sedangkan tragedi berdarah di Pemangkat pada 22 Februari 1999, disebabkan ulah Rodi bin Muharap (Madura), penumpang bus dari Singkawang yang tidak mau membayar. Saat ditagih Bujang Lebik bin Idris, kernet bus yang ditumpangi Rodi, dia malah membacok Bujang hingga tewas. Sementara itu, kerusuhan di Samalantan pada 16 Maret 1999 juga dimulai dari kasus yang sangat sepele. Saat itu 13 pemuda setempat (Dayak) yang baru pulang kerja menggunakan sebuah mobil, dicegat warga Madura di Desa Perapakan (Pemangkat), lalu seorang di antaranya dibunuh.[11] C.1. BEDA BUDAYA YANG MENYOLOK Menurut Kompas (12 April 2001), etnis madura digambarkan sebagai etnis yang keras , egois dan permisif terhadap laranagan larangan yang di berlakukan oleh etnis Dayak. Mengutip LH Kadir, pemuka masyarakat Dayak di Kalbar melihat ada empat hal dasar yang selama ini kurang dipahami masyarakat Madura yang berdomisili di Kalimantan. Pertama, bagi masyarakat adat Kalimantan, khususnya etnis Dayak, senjata tajam sangat dilarang keras dibawa ke tempat umum. Menemui ataupun bertamu ke rumah orang lain dengan membawa senjata tajam ditafsirkan sebagai ancaman atau ajakan bertempur. Senjata tajam juga tidak diperkenankan mencederai atau melukai orang lain, khususnya anggota masyarakat adat Dayak. Apabila hal itu terjadi, pelakunya wajib membayar denda adat yang disebut pemampul darah. Jika korban yang dilukai itu tewas, maka pelaku dikenai hukum adat pati nyawa. Namun demikian, kalau tindakan mencederai orang lain itu dilakukan berkali-kali oleh kelompok yang sama terhadap kelompok masyarakat yang sama pula, persoalannya bisa menjadi lain. Kasus yang tadinya hanya sebatas individu, berubah menjadi masalah kelompok sosial, karena dianggap sebagai pelecehan terhadap adat. [12] Semangat solidaritas dalam menghadapi segala gangguan tercermin dalam simbol adat yang disebut "mangkok merah" (Dayak Kenayan) atau bungai jarau (Dayak Iban). "Apabila simbol ini sudah bergerak, maka keadaan bisa menjadi lain. Pertikaian kolektif pun tidak terelakkan lagi," jelas Kadir. ” Kedua, dalam tradisi penduduk asli Kalimantan, mencuri barang orang lain dalam jumlah besar adalah tabu. Alasannya, menurut adat dan kepercayaan masyarakat setempat, barang dan pemiliknya telah menyatu; ibarat jiwa dan badan. Dengan demikian, apabila barangnya diambil tanpa izin, diyakini bakal mengganggu seluruh jiwa keluarga pemilik. Sebagai konsekuensi, pemilik barang akan sakit, bahkan tidak tertutup kemungkinan meninggal. Ketiga, pinjam-pakai tanah antarpenduduk baik di dalam maupun di luar komunitas masyarakat adat tanpa pamrih merupakan hal yang lumrah. Dalam peminjaman itu biasanya hanya didasarkan pada saling percaya tanpa disertai surat perjanjian. Namun, pola ini cenderung dilanggar oleh warga pendatang, khususnya etnis Madura. Ketika pemilik hendak mengambil lagi tanahnya, sering mendapat reaksi yang kurang simpatik dari peminjam. Bahkan, peminjam pun mengklaim tanah itu adalah miliknya, sebab dia yang menggarap. Mengingkari perjanjian lisan, dalam hukum adat Dayak disebut balang semaya (ingkar janji) atau penipuan. Hukumannya setimpal dengan perampasan hak orang lain dengan kekerasan. Keempat, dalam tradisi masyarakat Dayak, ikrar perdamaian harus bersifat abadi sehingga hanya dilakukan sekali oleh kelompok yang bertikai. Pelanggaran terhadap perjanjian damai dinilai sebagai wujud pengkhianatan sehingga ikrar yang diucapkan sebelumnya sebatas demi adat. Pelanggaran tersebut dikategorikan sebagai pelecehan adat sekaligus pernyataan permusuhan oleh semua anggota komunitas dari pelanggar perjanjian.” ( LH Kadir, Kompas, 12 April 2001) Menurut Kadir lagi, Upacara adat perdamaian yang digelar bukan hanya bernilai adat, tetapi juga moral sekaligus mengandung unsur magis-religius. Hal itu disebabkan perjanjian disaksikan penguasa alam semesta atau dalam bahasa setempat disebut Betara atau Jubata. Karenanya, perdamaian yang digelar setelah pelanggaran itu takkan pernah efektif lagi hingga kapan pun. "Buktinya, hingga kini kerusuhan Dayak-Madura sepertinya sulit berakhir. Karena perjanjian damai pertama yang dibuat tahun 1959 telah dilanggar warga Madura," kata Kadir yang melihat kunci penyelesaian konflik kedua etnis ada pada kesungguhan seluruh lapisan masyarakat Madura untuk beradaptasi dan berperilaku sesuai tradisi serta adat warga Kalimantan. Tanpa didukung kesadaran itu mustahil perdamaian abadi dengan warga asli Kalimantan akan terwujud.[13] Stereotip orang Madura pernah dihimpun oleh Huub de Jonge berjudul "Stereotypes of the Madurese".[14] Dilukiskan, betapa, pada zaman kolonial, orang Jawa sudah mengembangkan penilaian negatif terhadap orang Madura. stereotip orang Madura adalah licik, tidak jujur, ekstrovert, kasar, suka balas dendam, suka merampok, temperamen panas, mudah menghunus senjata tajam, carok (bertarung sampai mati demi kehormatan), kotor, suka berpakaian norak menyala dan bertampang jelek. “…..Mungkinkah orang Dayak juga telah mengembangkan stereotip (negatif) tentang orang Madura dan itu mempengaruhi sikap mereka? Jauh sebelum kerusuhan Sampit meletus, orang Cina memberikan sebutan "sankhe" kepada warga Madura di Kalbar yang berkonotasi liar, jorok, hidup tak menetap, makan dengan mengais atau mencuri dari sana-sini. Sankhe itu adalah ayam hutan. Bagaimana stereotip orang Dayak? Masih banyak orang Jawa percaya bahwa orang Dayak bertampang aneh dan misterius. Mereka berekor dan tubuh berbulu lebat. Orang Dayak juga ahli perdukunan. Suka memenggal kepala orang lain. Lantas, bagaimana menurut orang Madura? ....orang-orang Madura juga mengembangkan atau mempercayai stereotip tertentu terhadap orang Dayak....” [15] Dari segi ekonomi etnis madura mempunyai penghidupan yang lebih layak dengan berbagai bisnis yang mereka kuasai( Khususnya bisnis kayu) . Dalam desertasi Hendro S. Sudagung, Migrasi Swakarsa Orang Madura ke Kalimantan Barat, kedatangan orang Madura ke daerah ini, dibagi dalam tiga periode. Pertama, 1902-1942 ketika Kalimantan dan Madura diperintah oleh Kerajaan Belanda. Migrasi ini berlangsung lambat dan terus-menerus. Kedua, migrasi yang terjadi pada zaman peralihan kekuasaan, saat Perang Dunia II, antara 1942 dan 1950. Saat itu Jepang menduduki Hindia Belanda, lalu terjadi kekosongan kekuasaan, sesudah Amerika mengalahkan Jepang pada Agustus 1945. Antara 1945-1950, terjadi diplomasi internasional guna menetapkan status Hindia Belanda dimana pemenangnya sebuah negara baru bernama Republik Indonesia Serikat. Ketiga, migrasi yang terjadi pada zaman Republik Indonesia, 1950-1980. Perpindahan orang Madura ke Kalimantan Barat, juga dikarenakan faktor perdagangan. Orang Madura biasa mengarungi lautan, dan menjadi pedagang antarpulau. Selain mendarat di Ketapang dan Pontianak, para pedagang sapi itu, juga mendarat di pelabuhan Pemangkat, di daerah kekuasaan keraton Sambas. “Karena biasa berlabuh di Pemangkat, akhirnya menetap di sana,” kata H. Syamsuddin dari Yayasan Korban Kerusuhan Sosial Sambas. Orang tua Syamsuddin datang ke Pemangkat pada 1923. Pemangkat adalah satu dari tiga daerah Sambas dimana terjadi pembunuhan dan pengusiran orang Madura besar-besaran pada 1999. Kini Sambas “bersih” dari orangMadura. Di Kalimantan, orang Madura, ibarat imigran kebanyakan, pekerja keras dan ulet. Mereka bekerja sebagai buruh atau petani. Tugasnya membuka hutan, ladang, kebun, menggali parit, hingga memecah batu. Upahnya kecil. Selain rajin, orang Madura dianggap taat pada majikan bila bekerja. Tak heran, permintaan tenaga kerja orang Madura, terus meningkat. Menurut Sudagung, biasanya, orang Madura yang datang ke Kalimantan Barat, dari Bangkalan dan Sampang di Pulau Madura.[16] Sedang kan orang Dayak adalah masyarakat yang defensive dan sebenarnya tidak reaktif . Banyak orang bilang bahwa etnis ini adalah etnis yang penyabar dan jarang marah. Etnis ini punya sistem hubungan yang cukup baik dengan etnis lain seperti saling menghormati dan sangat percaya atas apa yang dilakukan orang pada dirinya. Namun kepercayaan mereka itu bukannya tanpa balasan artinya mereka bisa sangat kecewa jika dibohongi atau dikecewakan. Mereka bisa sangat baik dan menghamba jika di perlakukan baik namun akan sangat marah jika dikecewakan atau dibohongi. Perbedaan budaya pada dua komunitas ini melahirkan perbedaan pemaknaan tentang kehidupan masing masiang . Si etnis Dayak menyatakan bahwa Orang Madura telah melanggar batas- batas nilai mereka dan si Madura menganggap itu biasa bagi mereka. Akhirnya konflik di sampit pun terjadi ini diperparah dengan adanya kesenjangan ekonomi dan mungkin juga factor provokator. Alhasil Selama kebih dari seminggu ribuan warga Madura terbantai dengan kepala terputus dan yang masih hidup eksodus besar besaran ke beberapa pulau termasuk pulau madura sendiri. Kasus ini mungkin akan terulang lagi dimasa depan dengan dan skenario yang berbeda namun tetap masalah yang sama adanya miskoordinasi pemaknaan dan komunikasi antara komunitas budaya dan etnis tertentu.

  [1] Sumber : Kerusuhan di Kalimantan Tengah, pernyataan Tapol dan DTE, 2/Mar/01; Pemerintah Indonesia Harus Melindungi Warganya Dengan Tepat dan Tegas! Pernyataan Bersama LSM Tentang Tragedi Sampit, Jakarta, 1/Mar/01
  [2] BBC Worldwide Monitoring 23/Mar/01; Jakarta Post 10/Apr/01;
  [3] Kerusuhan di Kalimantan Tengah, pernyataan Tapol dan DTE, 2/Mar/01; Pemerintah Indonesia Harus Melindungi Warganya Dengan Tepat dan Tegas! Pernyataan Bersama LSM Tentang Tragedi Sampit, Jakarta, 1/Mar/01
  [4] Bisa dibaca lebih jelas pada karya Stephen W. Littlejohn (1995). Theories of Human Communication, 5th Edition. Belmont, Wadsworth Publishing Company
  [5] When Mead had to give up his position as a lecturer at the University of Chicago e due to illness, Blumer took over and continued his work. In his 1937 article "Social Psychology", Blumer coined the term symbolic interactionism and summarised Mead's ideas into three premises: The way people view objects depends on the meaning these things have for them. This meaning comes about as a result of a process of interaction. The meaning of an object can change over time.
  [6] Blumer, 1969, Ibid.hal.81
  [7] Herbert Blumer, Symbolic Interaction: Perspective and Method (1969) hal.81
  [8] Baca Harian Kompas Kamis, 12 April 2001 , Laporan Kompas Dari Sanggau Ledo hingga Sampit
 [9] Ibid.
 [10] Ibid.
 [11] Harian Kompas Kamis, 12 April 2001 , Laporan Kompas Dari Sanggau Ledo hingga Sampit
  [12] Kompas, 12 April 2001
  [13] Kompas, 12 April 2001
  [14] Across Madura Strait (Kees van Dijk dkk. 1995. Leiden: KITLV Press)
  [15] Baca hasil kajian P. Florus Peneliti Kebudayaan Dayak dari Institut Dayakologi, Pontianak di Majalah D&R, 1 Maret 1997
  [16] Kompas, 12 April 2001
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar