--> Skip to main content

MISTER X DAN KEBOHONGAN PUBLIK

oleh Indiwan Seto Wahju Wibowo Jakarta, 9/4 (ANTARA)- Demi meningkatkan rating, apa saja bisa dilakukan Televisi mulai dari menampilkan sesuatu yang aneh-aneh, unik dan fenomenal macam 'Bukan Empat Mata' kini muncul rekayasa pengakuan’ makelar kasus. Kalau Tukul Arwana sempat tersandung sensor dan akhirnya acaranya ditarik gara-gara menampilkan adegan sensasional menjijikkan seorang menelan kodok hidup-hidup yang ditayangkan secara langsung.

Kini batu panas itu tengah menyandung TV One . Heboh sensasional ini menyangkut mister X, seorang misterius yang banyak dicari di negeri ini. Meski Susno baru saja mengakui bahwa inisial mister X itu adalah SJ saat dipanggil DPR, tetapi TV One sudah sejak lama menampilkan sosok Mr X itu bahkan sudah menayangkannya secara langsung. Dan kehadiran lelaki misterius ini kontan menimbulkan sensasi yang menghebohkan dan berbuntut panjang. Sensasi ini muncul saat acara ‘Apa Kabar Indonesia Pagi’ 18 Maret 2010 TV One mengundang Andri Ronaldi alias Andris yang mengaku sebagai makelar kasus. Pada saat tayang di televisi, Andris memakai topeng dan mengakui telah beroperasi sebagai mafia hukum di Bareskrim selama 12 tahun.

Menurut Edward Aritonang Kadivhumas Polri begitu mengetahui siaran itu, polisi lantas bergerak untuk mencari si markus dengan tujuan untuk membongkar dan mengetahui siapa jaringannya. Setelah tahu dicari polisi, Andris pergi ke Bali dan akhirnya kembali ke keluarganya di Jakarta lantaran memikirkan anak-istri. Pada 7 April, Andris ditangkap polisi. Kemudian Kepolisian Republik Indonesia memeriksa Andri Ronaldi alias Andris, 37 tahun, terkait dengan pengakuannya di media televisi swasta bahwa dia adalah makelar kasus yang sering beredar di Badan Reserse Kriminal, Mabes Polri. "Dari pemeriksaan, ternyata yang bersangkutan diminta ngomong seperti itu," kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Edward Aritonang, di pertemuan pers.

Pihak kepolisian lantas melaporkan IR seorang presenter ‘Apa Kabar Indonesia Pagi’ TV One ke Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia. IR diduga merekayasa pemberitaan makelar kasus. Polisi melaporkan pelanggaran ini ke Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia. Menurut Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002, dalam pasal 36 ayat 5A mengatakan, isi siaran dilarang memfitnah, menghasut, menyesatkan, dan atau bohong. "Terhadap itu, menurut pasal 57 huruf D, bisa dipidana paling lama lima tahun atau dengan denda Rp 10 miliar," kata Edward Aritonang.

Andris merupakan warga Kelapa Gading Timur yang beralamat lengkap di Jalan Flamboyan Loka Nomor 21 RT 13/RW 08, Jakarta Utara. Dia mengaku berprofesi sebagai tenaga outsourcing atau lepas di salah satu perusahaan media. Dalam pemeriksaan, ujarnya, Andris mengakui televisi itu telah menyiapkan skenario untuk dibacakan olehnya. "Yang menyuruhnya yang bertugas sebagai presenter di televisi itu," tuturnya. Dia mengatakan presenter berinisial IR yang menyuruhnya. 

Dengan memakai topeng, televisi itu mengambil gambarnya dari ruangan berbeda. Lalu, ditampilkan di televisi. Kejadian ini menimbulkan sejuta tanda tanya? Mengapa demi mengejar posisi dan rating tinggi sebuah stasiun televisi sebesar TVOne tega melakukan rekayasa berita dan melakukan pembohongan publik? Apa sebenarnya yang dilanggar oleh media televisi yang tenngah naik daun karena keberaniannya mengungkapkan fakta secara langsung ini? Pelanggaran etika Media memang punya kekuatan sekaligus kelemahan. Kekuatannya adalah kemampuan mempengaruhi pendapat umum sekaligus bisa mengumpulkan pundi-pundi kekayaan lewat pemasukan dari iklan yang banyak. Dan itulah sebabnya, mengapa televisi seakan berlomba-lomba untuk menawarkan acaranya semenarik mungkin, seheboh mungkin, hingga akhirnya bisa tergelincir merekayasa acara demi perolehan rating yang tinggi.

Terkait dengan kemungkinan pelanggaran media bisa dirujuk pendapat Paul Johnson seorang jurnalis Amerika yang mengatakan bahwa praktik pers menyimpang atau disebut sebagai tujuh dosa pers (seven Deadly Sins /tujuh dosa yang mematikan ). Tujuh dosa terberat pers itu adalah pertama Distorsi Informasi, kemudian Dramatisasi fakta , ketiga serangan privacy, kemudian pembunuhan karakter, eksploitasi seks untuk meningkatkan eksploitasi seks untuk meningkatkan sirkulasi atau rating , lalu meracuni benak atau pikiran anak dan penyalahgunaan kekuasaan. 

Pertama: Distorsi Informasi. Praktik distorsi informasi ini lazim dilakukan dengan menambah atau mengurangi informasi baik yang menyangkut opini maupun ilustrasi factual, yang tidak sesuai dengan sumber aslinya dengan akibat makna menjadi berubah. Dramatisasi ini dipraktikkan dengan memberikan illustrasi secara verbal, auditif atau visual yang berlebihan tentang suatu obyek. Dalam media cetak cara ini dapat dilakukan secara naratif (dalam bentuk kata-kata) atau melalui penyajian foto/gambar tertentu dengan tujuan untuk membangun suatu citra negatif dan stereotip. 

Dalam media audio-visual (TV) dramatisasi ini dilakukan dengan teknik pengambilan gambar dan pemberian sound-effeccts yang sesuai dengan tujuan penyampaian pesan. Untuk pelanggaran privacy, pada umumnya praktik ini dilakukan dalam peliputan kehidupan kalangan selebritis dan kaum elite, terutama yang diduga terlibat dalam suatu skandal. Berbagai cara dilakukan, antara lain melalui penyadapan telepon, penggunaan kamera dengan telelens, dan sering pula wawancara dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat sangat pribadi, memaksa atau menjebak. 

Kesempatan wawancaranya juga diambil pada saat-saat yang tidak diinginkan oleh pihak yang diwawancarai. Praktik pembunuhan kharakter ini umumnya dialami secara individu, kelompok atau organisasi/ perusahaan, yang diduga terlibat dalam perbuatan kejahatan. Praktek ini biasanya dilakukan dengan mengeksploitasi, menggambarkan dan menonjolkan segi/sisi ‘buruk’ mereka saja. Padahal sebenarnya mereka memiliki segi baiknya. Praktik eksploitasi seks tidak hanya menjadi monopoli dunia periklanan. Praktik tersebut juga dilakukan dalam pemberitaan dengan cara menempatkan di halaman depan suratkabar tulisan yang bermuatan seks. Meracuni benak/pikiran anak. praktik ini dilakukan di dunia periklanan dengan cara menempatkan figur anak-anak. Akhir-akhir ini praktek serupa semakin meningkat dengan penonjolan figur anak-anak sebagai sasaran-antara dalam memasarkan berbagai macam produk. Ketujuh dosa Penyalahgunaan kekuasaan oleh media (abuse of the power).

Penyalahgunaan kekuasaan tidak saja dapat terjadi di lingkungan pejabat pemerintahan, tetapi juga di kalangan pemegang kontrol kebijakan editorial/ pemberitaan media massa. Ketujuh dosa pers atau lebih tepatnya : penyimpangan pers (deviasi). Tersebut disebabkan karena pers tak bertanggungjawab. Disini pers sengaja menyalahgunakan bahkan menyelewengkan informasi dengan mengubah, menambah, atau mengurangi dan beropini terhadap fakta. Bila ditinjau dari tujuh dosa pers ini, kasus merekayasa seolah-olah ada orang yang mengaku sebagai makelar kasus sebagaimana dilakukan oleh TVOne ini merupakan praktik mendramatisasi fakta sehingga akhirnya masyarakat `dibohongi', melakukan praktik mendistosi informasi sehingga mengaburkan fakta sesungguhnya soal siapa itu `MR X’, dan merupakan praktik pembunuhan kharakter secara tidang langsung terhadap wibawa kepolisian. Bagaimana bisa , di kantor penegak hukum justru ada makelar kasus yang berkeliaran bertahun-tahun tanpa tertangkap? 

Lebih serius lagi, kasus rekayasa TV One ini merupakan pelanggaran terhadap UU Penyiaran yang diakui bersama oleh insan pers khususnya media televisi. Menurut Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002, dalam pasal 36 ayat 5A mengatakan, isi siaran dilarang memfitnah, menghasut, menyesatkan, dan atau bohong. "Terhadap itu, menurut pasal 57 huruf D, bisa dipidana paling lama lima tahun atau dengan denda Rp 10 miliar" Menodai Kepercayaan Publik Dewan Pers, Wina Armada Sukardi, ketika dihubungi media mengungkapkan bahwa pihaknya sudah menerima laporan terkait kasus markus palsu dari Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Edward Aritonang. Laporan diterima di Gedung Dewan Pers di Jl Kebon Sirih, Jakarta, Kamis (8/4) sore. Wina yang juga Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers itu mengungkapkan, Polri melaporkan dugaan pemalsuan dan rekayasa narasumber TVOne. Terkait dengan pengaduan tersebut, Wina mengatakan Dewan Pers akan meminta konfirmasi penanggung jawab pemberitaan TVOne. Soal pilihan laporan Polri ke Dewan Pers, Wina mengatakan, dalam menyelesaikan masalah terkait pers, Polri masih menghormati mekanisme sesuai UU Pers. Kepada perusahaan dan insan pers, Wina mengingatkan bahwa pers harus bekerja untuk kepentingan publik. 

Oleh sebab itu, siapapun tidak boleh menodai kemerdekaan pers “Jangan hanya karena mengejar banyaknya penonton dan rating, kemudian melakukan hal-hal yang menodai kemerdekaan pers,? jelas Wina sebagaimana dikutip sebuah media online. Sementara manajer pemberitaan News dan Sport TV One Totok Suryanto membantah adanya rekayasa. Totok mempertanyakan apakah benar narasumbernya yang diwawancarai TV One yang ditangkap polisi. Dijelaskannya, Indi merupakan presenter sekaligus reporter andalan yang dimiliki stasiun televisi tersebut. 

Mengenai uang Rp 1,5 juta yang diberikan kepada nara sumber, Totok mengakui itu sebagai honor yang biasa dikeluarkan pihak TV One. Mungkin kecurigaan polisi berlebihan, mungkin juga pihak TV One perlu diberi ruang pembelaan, tetapi kalau kesaksian Andris itu benar maka TV One sudah melecehkan kepercayaan publik akan kebenaran. Padahal orang-orang press pasti tahu bahwa pilar utama jurnalisme yang baik adalah kebenaran. Menurut Bill Kovach & Tom Rosenstiel dalam bukunya " Sembilan Elemen Jurnalisme' elemen pertama dalam sembilan elemen jurnalistik adalah kewajiban jurnalisme terhadap kebenaran. Dalam arti jurnalisme harus dan bisa mengejar kebenaran di dalam pengertian yang bisa masyarakat jalankan dari hari ke hari. Memahami kebenaran jurnalistik adalah sebuah proses menuju pemahaman yang sebenarnya lebih membantu dan realistis. Sementara itu mantan anggota Komisi Penyiaran Indonesia, Ade Armando, menilai kasus dugaan rekayasa narasumber oleh TV One sebagai imbas negatif persaingan media.

Praktik pelanggaran etika ini sudah lazim terjadi di pertelevisian. Menurut Ade Armando yang juga staf pengajar Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia ini, distorsi fakta melalui rekayasa narasumber atau gambar harus mendapatkan saksi tegas. Ancaman sanksi maksimal untuk jenis pelanggaran ini adalah pencabutan izin siaran. “Pelanggaran etika ini sudah sangat lama. Tapi apa yang dilakukan TV One melalui siaran langsung, sudah terlalu jauh,” kata Ade Armando ketika dihubungi via telepon oleh sebuah media online. Ade Armando mengatakan, kasus ini dapat meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas media. Apalagi, kasus ini terjadi di TV One yang dianggap sebagai stasiun televisi dengan kredibilitas baik. 

Terlepas bahwa kasus markus dan siapa mr X ini tengah jalan terus, sementara DPR sendiri sudah mengantongi nama yakni SJ sebagaimana diungkap oleh Susno, semestinya media menjaga kredibilitasnya dengan tetap independen dan objektif dalam menyampaikan pemberitaannya. Media memang butuh makan, media butuh banyak dana untuk menutup seluruh biaya operasionalnya. Tetapi jangan kemudian melakukan dramatisasi fakta bahkan melakukan rekayasa berita yang bermuara pada munculnya ketidakpercayaan publik. Biarkan saja polisi dan penegak hukum mencari tahu dan menyelidiki serta menangkap semua pihak yang memang terlibat, dan media berperan sebagai pemberi informasi yang santun,jujur dan bermartabat, tanpa melanggar etika atau melakukan pembohongan publik. (T.J006)
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar