MEDIA DAN DRAMATISME MAFIA PAJAK
oleh Indiwan Seto Wahju Wibowo
Jakarta, 8/4 (ANTARA)- Dunia ini panggung sandiwara. Cerita yang mudah berubah. Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani.Setiap kita dapat satu peranan Yang harus kita mainkan Ada peran wajar ada peran berpura pura, Ada peran yang jahat, ada peran pahlawan dan ada 'dalang' yang menjalankannya.
Lirik lagu yang pernah populer di tangan Ahmad Albar penyanyi kribo ini rasa-rasanya cocok dengan suasana di tanah air, terkait dengan kasus mafia pajak yang membuat malu dan mencoreng nama para penegak hukum yakni kepolisian ,ke jaksaan dan Ditjen Pajak. Semua mata terbeliak terkaget-kaget melihat sepak terjang Gayus Tambunan – seorang pegawai golongan III A Ditjen Pajak yang memiliki simpanan rekening puluhan milyar rupiah. Dan ini belum cukup. Gayus mengaku ‘bahwa orang-orang Pajak seperti dia jumlahnya banyak’ dan itu merupakan hal yang biasa. Kalau Gayus dalam sebuah panggung ibarat ‘wayang’ atau ‘boneka’ lantas siapa dalang sesungguhnya yang perlu diseret segera, dan siapa yang bisa mengungkap habis persoalan di seputar pajak ini karena begitu besarnya ‘mafia’ yang ada di baliknya. Dengan gaji PNS golongan III A, Gayus Tambunan mustahil bisa membeli rumah berharga miliaran di Gading Park View, Jakarta Utara. Kecuali dia memiliki penghasilan sampingan. Gayus sendiri adalah lulusan Diploma 4 STAN tahun 2000 Jurusan Akuntansi analisis itu disampaikan oleh peneliti hukum dan politik anggaran dari Indonesia Budget Center (IBC), Roy Salam, kepada media , Kamis (25/3/2010). "Kalau dilihat dari sisi pendapatan terlalu jauh," katanya. Dia merinci, gaji PNS golongan III A sekitar Rp 1,7 juta. Jika ditambah tunjangan, gaji yang dibawa pulang sekitar Rp 5 juta. "Tidak mungkin bisa beli rumah mewah. Kecuali punya penghasilan lain," ujar Roy. Penghasilan kotor PNS itu masih harus dipotong dengan biaya kebutuhan anak, istri, dan kebutuhan rumah tangga. Menurut Roy, memang sangat mencurigakan jika Gayus bisa membeli rumah semewah itu. Karena untuk pejabat yang punya penghasilan Rp 15 juta setiap bulan harus menabung sekian tahun untuk bisa membeli rumah semewah itu. Hebatnya lagi, Gayus mengatakan dia tidak sendirian. Ada banyak rekannya sesama pegawai di Ditjen Pajak yang biasa melakukan hal semacam itu dan jumlahnya tidak sedikit. Drama ini semakin diperhebat dengan testimoni Susno Duadji yang mengungkap adanya sejumlah pejabat di Kepolisian yang biasa menjadi makelar kasus terkait Gayus ini. Kasus menjadi dramatis setelah orang yang ditunjuk melontarkan serangan balik. Edmond meradang dan menuding Susno tahu laporan soal Gayus. Mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji membantah tudingan eks Dir Eksus Polri Brigjen Pol Edmond Ilyas soal kasus Gayus Tambunan. Susno mengaku tidak pernah menerima laporan kasus itu. “Manajemen perkara tidak sampai ke Kabareskrim. Urusan menangkap, menahan, memanggil, dan melimpahkan ke Kejaksaan sepenuhnya urusan Direktur,” kata pengacara Susno, Zul Armain saat dihubungi sebuah media online. Zul yang saat dihubungi tengah bersama Susno menegaskan, untuk menentukan ditahan atau tidaknya seseorang, sepenuhnya kewenangan penyidik. Mekanismenya penyidik melapor ke kepala unit (Kanit), Kanit melapor ke wakil direktur atau direktur. “Dan soal Gayus, itu tidak sampai ke Susno. Jadi apa yang disampaikan Pak Edmond adalah kebohongan publik,” terangnya. Pertanyaannya, mengapa persoalan gayus ini ibarat sebuah panggung sandiwara yang tak lelahnya dimainkan orang? Semua pihak merasa penting dan ingin tampil ke muka terkait kasus ini. DPR, Kepolisian, Kejaksaan bahkan Dirjen Pajak pun merasa berkepentingan tampil dalam melodrama soal mafia pajak ini. Apalagi media, sangat berkepentingan dalam meramu cerita melodramatis yang bisa membuat oplah mereka naik. Panggung DPR dan media? Sementara itu ibarat gayung bersambut, DPR pun ‘sigap’ berperan dalam ‘panggung dramatis ini’. Seolah takut kehilangan muka, DPR ambil ancang-ancang membentuk pansus untuk ‘menguak’ persoalan di balik Gayus dan markus yang tengah ramai dibicarakan masyarakat. Fraksi-fraksi DPR setuju pembentukan panitia khusus (pansus) pengusutan mafia pajak. Pansus tersebut nantinya akan membongkar siapa saja pejabat yang terlibat dalam kasus mafia pajak, merekomendasikan proses hukum terhadap mafia pajak, dan merekomendasikan penyempurnaan undang-undang pajak. Fraksi yang setuju pembentukan pansus yakni Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai PDIP, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Hanura, dan Fraksi PPP. Hanya Fraksi PKS yang tidak setuju pembentukan pansus tersebut. Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin mengatakan fraksinya sangat setuju pembentukan pansus mafia pajak. "Pansus ini nanti akan membongkar kasus mafia pajak, karena kasus pajak Gayus Tambunan itu hanya kasus kecil ibarat ujung kuku saja dari kasus-kasus yang ada. Masih banyak kasus yang jauh lebih besar yang melibatkan pejabat di Kementerian Keuangan, Direktorat Pajak, kejaksaan, kehakiman, dan kepolisian. Bahkan ada laporan jenderal bintang juga ada yang terlibat," ujar Aziz, Rabu (7/4). Lantas bagaimana peran media dalam drama panjang sekitar mafia pajak ini? Setelah habis-habisan mengulas kemelut dan skandal dibalik Bank Century –bahkan sampai ada yang siaran langsung--, media seolah mendapat amunisi baru untuk mengejar peningkatan tiras. Setelah ‘puas’ memberitakan Susno dan perseteruannya dengan koleganya di Kepolisian, media juga mengupas habis sosok Gayus hingga ke Purworejo tempat keluarga Gayus berada. Media mengungkap soal Gayus dan mafia perpajakan ini dengan bumbu-bumbu yang tak kalah dramatisnya bahkan bisa menguras air mata; saat dipertontonkan betapa sederhananya rumah orang tua gayus, betapa lugunya saudara-saudara Gayus di daerah yang tidak tahu menahu dan tidak ‘kecipratan’ pundi-pundi kekayaan lelaki muda itu. ibu dari tersangka kasus mafia pajak, Gayus Tambunan adalah warga Megulung Lor, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo. Pernikahan dengan Amir Syarifudin (bapak Gayus) bermula dari perkenalan ketika almarhumah ibu Gayus, Khaeriyah, kuliah di Akademi Maritim Semarang, dan Amir Syarifudin kuliah di Akpelni, Semarang. Ibu dari Gayus merupakan putra pertama dari pasangan HM Ismangil dan Darminah. Tiga bersaudara dari keluarga Ismangil terdiri Khairiyah, Wasilatun, dan Tursiyah. Kini rumah peninggalan Ismangil-Darminah dihuni janda Wasilatun beserta tiga putranya. Letak rumahnya tidak terlalu jauh dari jalan kabupaten yang lewat desa itu. Bila dicari lokasi rumah keluarga Gayus ini dekat sebuah toko bahan bangunan di pinggir jalan kabupaten yang menghubungkan Purworejo-Kebumen masuk gang ke arah utara tak lebih dari 500 meter. Di lokasi ini, ada rumah ukuran besar yang bagian depannya berbentuk joglo.Bangunan ruang tamunya cukup luas. Jika malam hari terlihat sunyi lantaran lampu penerangan yang disediakan hanya satu dan dayanya hanya beberapa watt. Cerita soal Gayus ini juga muncul dalam tajuk pemberitaan sejumlah media. Dalam Tajuknya, sejumlah media juga memperlihatkan drama yang lain saat Ditjen Pajak ‘bertemu’ DPR. Dalam rapat kerja antara Komisi XI DPR dengan Dirjen Pajak, sejumlah masukan dilontarkan anggota DPR untuk memulihkan kondisi lembaga penarik pajak itu yang digoyang kasus Gayus H Tambunan.Ada tiga masukan yang disampaikan anggota Komisi XI Andi Rahmat. Pertama, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) segera turun tangan untuk melakukan audit investigasi terhadap lembaga perpajakan. Kedua, semua pegawai Ditjen Pajak wajib melaporkan kekayaan.Ketiga,tingkatkan pengawasan mulai dari pembentukan tim pengawas internal untuk mengevaluasi kinerja pegawai hingga pengefektifan komite pengawasan perpajakan. Menanggapi kritikan Panja Pajak tersebut, Tjiptardjo mengaku telah melakukan pengawasan melekat kepada semua pejabat pajak. Kalau ada satu atau dua kasus, itu karena pelaksana atau pejabatnya yang tidak sempurna. ”Kalau masalah penonaktifan direktur, akan kita kaji lebih lanjut,”katanya. Tapi media paling tidak Seputar Indonesia, menggambarkan ‘reaksi dari Dirjen Pajak dengan Lead yang cukup Dramatis juga. ....” Diberi masukan bagaimana membersihkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dari aksi mafia pajak oleh Komisi XI DPR RI, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Tjiptardjo hanya terlihat manggut-manggut seraya tersenyum tipis. Kemudian media itu menambah.....”Entah apa yang dipikirkan? Apakah aksi manggut-manggut itu pertanda mengerti atas masukan dari wakil rakyat tersebut dan layak untuk diterapkan di instansi yang kini goyang akibat ulah salah seorang pegawai yang telah mengkhianati amanat rakyat? Atau jangan-jangan bila masukan tersebut diberlakukan, Ditjen Pajak hanya akan tinggal nama saja karena begitu kronisnya praktik mafia pajak di lembaga itu Dramatisme Terkait soal dramatisme dan komunikasi , Dua pakar, Keneth Burke dan Erving Goffman (dalam buku Little John, Theories Of Human Communications 2009), menyebut kecenderungan orang bermain drama ketika sedang melakukan komunikasi, terlebih ketika ingin memengaruhi sasarannya. Melalui Teori Dramatisme yang mereka kemukakan, keduanya menyebut, ketika berkomunikasi tersebut, para komunikator cenderung memanfaatkan faktor metafora theatrical (akting) sesuai dengan sifat manusia melakukan aksi untuk meyakinkan sasarannya sehingga mereka tertarik serta mengikuti apa yang diinginkannya. Kenneth Duva Burke (May 5, 1897 – November 19, 1993) seorang teoritis literatur Amerika dan filosof memperkenalkan konsep dramatisme sebagai metode untuk memahami fungsi sosial dari bahasa dan drama sebagai pentas simbolik kata dan kehidupan sosial. Pandangan Burke adalah bahwa hidup bukan seperti drama, tapi hidup itu sendiri adalah drama. Tertarik dengan teori dramatisme Burke, Erving Goffman (11 Juni 1922 – 19 November 1982), seorang sosiolog interaksionis dan penulis, memperdalam kajian dramatisme tersebut dan menyempurnakannya dalam bukunya yang kemudian terkenal sebagai salah satu sumbangan terbesar bagi teori ilmu sosial The Presentation of Self in Everyday Life. Dalam buku ini Goffman yang mendalami fenomena interaksi simbolik mengemukakan kajian mendalam mengenai konsep Dramaturgi. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”. Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (“front stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada impression management diatas). Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan Yang tampak di media sekarang adalah banyak pejabat dan tokoh penting di negeri ini 'melakukan' akting agar tampak hebat dan peduli terhadap rakyat. Dan media massa , apalagi televisi sebagai panggung yang paling tepat untuk mengesahkan pertunjukannya. Pihak kepolisian, --dalam hal ini diwakili oleh kadivhumas Polri terus berupaya menampilkan citra bahwa polri serius dalam mengusut tuntas soal mafia pajak ini; begitu juga sebaliknya Susno sebagai mantan orang dalam di Kepolisian perlu tampil dalam front stage lewat statement-statementnya yang memihak kepentingan rakyat meski harus membuka borok di dalam tubuh lembaganya sendiri, Aktor drama yang lain, seperti DPR, Ditjen Pajak dan sejumlah pihak terus tampil kemuka, menegaskan sikap mereka yang ingin menegakkan keadilan dan hukum, terkait dengan penangan kasus ini. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan itu juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Dan media yang mereka pilih adalah media massa. Setelah puas tampil dalam drama yang begitu dramatis dan penuh dengan 'tepuk' tangan penonton, kemudian panggung akan kembali sepi. Menanti panggung dramatisme lain yang bakalan muncul kemudian, meninggalkan para penonton yang kebingungan; sama bingungnya mereka seperti saat lalu saat drama pansus bank Century berakhir tanpa ending yang jelas karena lenyap dan tergantikan panggung lain yang lebih memukau. (J.006) * penulis adalah kandidat doktor Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia
Lirik lagu yang pernah populer di tangan Ahmad Albar penyanyi kribo ini rasa-rasanya cocok dengan suasana di tanah air, terkait dengan kasus mafia pajak yang membuat malu dan mencoreng nama para penegak hukum yakni kepolisian ,ke jaksaan dan Ditjen Pajak. Semua mata terbeliak terkaget-kaget melihat sepak terjang Gayus Tambunan – seorang pegawai golongan III A Ditjen Pajak yang memiliki simpanan rekening puluhan milyar rupiah. Dan ini belum cukup. Gayus mengaku ‘bahwa orang-orang Pajak seperti dia jumlahnya banyak’ dan itu merupakan hal yang biasa. Kalau Gayus dalam sebuah panggung ibarat ‘wayang’ atau ‘boneka’ lantas siapa dalang sesungguhnya yang perlu diseret segera, dan siapa yang bisa mengungkap habis persoalan di seputar pajak ini karena begitu besarnya ‘mafia’ yang ada di baliknya. Dengan gaji PNS golongan III A, Gayus Tambunan mustahil bisa membeli rumah berharga miliaran di Gading Park View, Jakarta Utara. Kecuali dia memiliki penghasilan sampingan. Gayus sendiri adalah lulusan Diploma 4 STAN tahun 2000 Jurusan Akuntansi analisis itu disampaikan oleh peneliti hukum dan politik anggaran dari Indonesia Budget Center (IBC), Roy Salam, kepada media , Kamis (25/3/2010). "Kalau dilihat dari sisi pendapatan terlalu jauh," katanya. Dia merinci, gaji PNS golongan III A sekitar Rp 1,7 juta. Jika ditambah tunjangan, gaji yang dibawa pulang sekitar Rp 5 juta. "Tidak mungkin bisa beli rumah mewah. Kecuali punya penghasilan lain," ujar Roy. Penghasilan kotor PNS itu masih harus dipotong dengan biaya kebutuhan anak, istri, dan kebutuhan rumah tangga. Menurut Roy, memang sangat mencurigakan jika Gayus bisa membeli rumah semewah itu. Karena untuk pejabat yang punya penghasilan Rp 15 juta setiap bulan harus menabung sekian tahun untuk bisa membeli rumah semewah itu. Hebatnya lagi, Gayus mengatakan dia tidak sendirian. Ada banyak rekannya sesama pegawai di Ditjen Pajak yang biasa melakukan hal semacam itu dan jumlahnya tidak sedikit. Drama ini semakin diperhebat dengan testimoni Susno Duadji yang mengungkap adanya sejumlah pejabat di Kepolisian yang biasa menjadi makelar kasus terkait Gayus ini. Kasus menjadi dramatis setelah orang yang ditunjuk melontarkan serangan balik. Edmond meradang dan menuding Susno tahu laporan soal Gayus. Mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji membantah tudingan eks Dir Eksus Polri Brigjen Pol Edmond Ilyas soal kasus Gayus Tambunan. Susno mengaku tidak pernah menerima laporan kasus itu. “Manajemen perkara tidak sampai ke Kabareskrim. Urusan menangkap, menahan, memanggil, dan melimpahkan ke Kejaksaan sepenuhnya urusan Direktur,” kata pengacara Susno, Zul Armain saat dihubungi sebuah media online. Zul yang saat dihubungi tengah bersama Susno menegaskan, untuk menentukan ditahan atau tidaknya seseorang, sepenuhnya kewenangan penyidik. Mekanismenya penyidik melapor ke kepala unit (Kanit), Kanit melapor ke wakil direktur atau direktur. “Dan soal Gayus, itu tidak sampai ke Susno. Jadi apa yang disampaikan Pak Edmond adalah kebohongan publik,” terangnya. Pertanyaannya, mengapa persoalan gayus ini ibarat sebuah panggung sandiwara yang tak lelahnya dimainkan orang? Semua pihak merasa penting dan ingin tampil ke muka terkait kasus ini. DPR, Kepolisian, Kejaksaan bahkan Dirjen Pajak pun merasa berkepentingan tampil dalam melodrama soal mafia pajak ini. Apalagi media, sangat berkepentingan dalam meramu cerita melodramatis yang bisa membuat oplah mereka naik. Panggung DPR dan media? Sementara itu ibarat gayung bersambut, DPR pun ‘sigap’ berperan dalam ‘panggung dramatis ini’. Seolah takut kehilangan muka, DPR ambil ancang-ancang membentuk pansus untuk ‘menguak’ persoalan di balik Gayus dan markus yang tengah ramai dibicarakan masyarakat. Fraksi-fraksi DPR setuju pembentukan panitia khusus (pansus) pengusutan mafia pajak. Pansus tersebut nantinya akan membongkar siapa saja pejabat yang terlibat dalam kasus mafia pajak, merekomendasikan proses hukum terhadap mafia pajak, dan merekomendasikan penyempurnaan undang-undang pajak. Fraksi yang setuju pembentukan pansus yakni Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai PDIP, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Hanura, dan Fraksi PPP. Hanya Fraksi PKS yang tidak setuju pembentukan pansus tersebut. Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin mengatakan fraksinya sangat setuju pembentukan pansus mafia pajak. "Pansus ini nanti akan membongkar kasus mafia pajak, karena kasus pajak Gayus Tambunan itu hanya kasus kecil ibarat ujung kuku saja dari kasus-kasus yang ada. Masih banyak kasus yang jauh lebih besar yang melibatkan pejabat di Kementerian Keuangan, Direktorat Pajak, kejaksaan, kehakiman, dan kepolisian. Bahkan ada laporan jenderal bintang juga ada yang terlibat," ujar Aziz, Rabu (7/4). Lantas bagaimana peran media dalam drama panjang sekitar mafia pajak ini? Setelah habis-habisan mengulas kemelut dan skandal dibalik Bank Century –bahkan sampai ada yang siaran langsung--, media seolah mendapat amunisi baru untuk mengejar peningkatan tiras. Setelah ‘puas’ memberitakan Susno dan perseteruannya dengan koleganya di Kepolisian, media juga mengupas habis sosok Gayus hingga ke Purworejo tempat keluarga Gayus berada. Media mengungkap soal Gayus dan mafia perpajakan ini dengan bumbu-bumbu yang tak kalah dramatisnya bahkan bisa menguras air mata; saat dipertontonkan betapa sederhananya rumah orang tua gayus, betapa lugunya saudara-saudara Gayus di daerah yang tidak tahu menahu dan tidak ‘kecipratan’ pundi-pundi kekayaan lelaki muda itu. ibu dari tersangka kasus mafia pajak, Gayus Tambunan adalah warga Megulung Lor, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo. Pernikahan dengan Amir Syarifudin (bapak Gayus) bermula dari perkenalan ketika almarhumah ibu Gayus, Khaeriyah, kuliah di Akademi Maritim Semarang, dan Amir Syarifudin kuliah di Akpelni, Semarang. Ibu dari Gayus merupakan putra pertama dari pasangan HM Ismangil dan Darminah. Tiga bersaudara dari keluarga Ismangil terdiri Khairiyah, Wasilatun, dan Tursiyah. Kini rumah peninggalan Ismangil-Darminah dihuni janda Wasilatun beserta tiga putranya. Letak rumahnya tidak terlalu jauh dari jalan kabupaten yang lewat desa itu. Bila dicari lokasi rumah keluarga Gayus ini dekat sebuah toko bahan bangunan di pinggir jalan kabupaten yang menghubungkan Purworejo-Kebumen masuk gang ke arah utara tak lebih dari 500 meter. Di lokasi ini, ada rumah ukuran besar yang bagian depannya berbentuk joglo.Bangunan ruang tamunya cukup luas. Jika malam hari terlihat sunyi lantaran lampu penerangan yang disediakan hanya satu dan dayanya hanya beberapa watt. Cerita soal Gayus ini juga muncul dalam tajuk pemberitaan sejumlah media. Dalam Tajuknya, sejumlah media juga memperlihatkan drama yang lain saat Ditjen Pajak ‘bertemu’ DPR. Dalam rapat kerja antara Komisi XI DPR dengan Dirjen Pajak, sejumlah masukan dilontarkan anggota DPR untuk memulihkan kondisi lembaga penarik pajak itu yang digoyang kasus Gayus H Tambunan.Ada tiga masukan yang disampaikan anggota Komisi XI Andi Rahmat. Pertama, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) segera turun tangan untuk melakukan audit investigasi terhadap lembaga perpajakan. Kedua, semua pegawai Ditjen Pajak wajib melaporkan kekayaan.Ketiga,tingkatkan pengawasan mulai dari pembentukan tim pengawas internal untuk mengevaluasi kinerja pegawai hingga pengefektifan komite pengawasan perpajakan. Menanggapi kritikan Panja Pajak tersebut, Tjiptardjo mengaku telah melakukan pengawasan melekat kepada semua pejabat pajak. Kalau ada satu atau dua kasus, itu karena pelaksana atau pejabatnya yang tidak sempurna. ”Kalau masalah penonaktifan direktur, akan kita kaji lebih lanjut,”katanya. Tapi media paling tidak Seputar Indonesia, menggambarkan ‘reaksi dari Dirjen Pajak dengan Lead yang cukup Dramatis juga. ....” Diberi masukan bagaimana membersihkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dari aksi mafia pajak oleh Komisi XI DPR RI, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Tjiptardjo hanya terlihat manggut-manggut seraya tersenyum tipis. Kemudian media itu menambah.....”Entah apa yang dipikirkan? Apakah aksi manggut-manggut itu pertanda mengerti atas masukan dari wakil rakyat tersebut dan layak untuk diterapkan di instansi yang kini goyang akibat ulah salah seorang pegawai yang telah mengkhianati amanat rakyat? Atau jangan-jangan bila masukan tersebut diberlakukan, Ditjen Pajak hanya akan tinggal nama saja karena begitu kronisnya praktik mafia pajak di lembaga itu Dramatisme Terkait soal dramatisme dan komunikasi , Dua pakar, Keneth Burke dan Erving Goffman (dalam buku Little John, Theories Of Human Communications 2009), menyebut kecenderungan orang bermain drama ketika sedang melakukan komunikasi, terlebih ketika ingin memengaruhi sasarannya. Melalui Teori Dramatisme yang mereka kemukakan, keduanya menyebut, ketika berkomunikasi tersebut, para komunikator cenderung memanfaatkan faktor metafora theatrical (akting) sesuai dengan sifat manusia melakukan aksi untuk meyakinkan sasarannya sehingga mereka tertarik serta mengikuti apa yang diinginkannya. Kenneth Duva Burke (May 5, 1897 – November 19, 1993) seorang teoritis literatur Amerika dan filosof memperkenalkan konsep dramatisme sebagai metode untuk memahami fungsi sosial dari bahasa dan drama sebagai pentas simbolik kata dan kehidupan sosial. Pandangan Burke adalah bahwa hidup bukan seperti drama, tapi hidup itu sendiri adalah drama. Tertarik dengan teori dramatisme Burke, Erving Goffman (11 Juni 1922 – 19 November 1982), seorang sosiolog interaksionis dan penulis, memperdalam kajian dramatisme tersebut dan menyempurnakannya dalam bukunya yang kemudian terkenal sebagai salah satu sumbangan terbesar bagi teori ilmu sosial The Presentation of Self in Everyday Life. Dalam buku ini Goffman yang mendalami fenomena interaksi simbolik mengemukakan kajian mendalam mengenai konsep Dramaturgi. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”. Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (“front stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada impression management diatas). Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan Yang tampak di media sekarang adalah banyak pejabat dan tokoh penting di negeri ini 'melakukan' akting agar tampak hebat dan peduli terhadap rakyat. Dan media massa , apalagi televisi sebagai panggung yang paling tepat untuk mengesahkan pertunjukannya. Pihak kepolisian, --dalam hal ini diwakili oleh kadivhumas Polri terus berupaya menampilkan citra bahwa polri serius dalam mengusut tuntas soal mafia pajak ini; begitu juga sebaliknya Susno sebagai mantan orang dalam di Kepolisian perlu tampil dalam front stage lewat statement-statementnya yang memihak kepentingan rakyat meski harus membuka borok di dalam tubuh lembaganya sendiri, Aktor drama yang lain, seperti DPR, Ditjen Pajak dan sejumlah pihak terus tampil kemuka, menegaskan sikap mereka yang ingin menegakkan keadilan dan hukum, terkait dengan penangan kasus ini. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan itu juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Dan media yang mereka pilih adalah media massa. Setelah puas tampil dalam drama yang begitu dramatis dan penuh dengan 'tepuk' tangan penonton, kemudian panggung akan kembali sepi. Menanti panggung dramatisme lain yang bakalan muncul kemudian, meninggalkan para penonton yang kebingungan; sama bingungnya mereka seperti saat lalu saat drama pansus bank Century berakhir tanpa ending yang jelas karena lenyap dan tergantikan panggung lain yang lebih memukau. (J.006) * penulis adalah kandidat doktor Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia