--> Skip to main content

SEJARAH KONTROVERSI KEKERASAN MEDIA

Hoberman (1998) mendiskusikan kasus awal kontroversi seputar kekerasan media yang tidak seperti kasus modern seperti Battle Royale. Pada kasus ini, polisi Chicago menolak mengeluaran izin pemutaran film The James Boys In Missouri (1909) di bioskop. Seperti kasus Battle Royal 90 tahun kemudian, masalah yang dirasa adalah film tersebut memiliki pengaruh potensial terhadap perilaku kriminal.
Banyak ahli yang melihat Penelitian Payne Fund sebagai permulaan formal dari penelitian ilmiah mengenai dampak media. Penelitian ini menimbulkan respon pada peningkatan keprihatinan masyarakat mengenai kemuningkinan efek gangguan dari seks dan kekerasan dalam film. Studi Payen Fund merupakan hasil dari yayasan sosial dan undangan terhadapa isu ilmiah oleh William Short, seorang direktur eksekutif grup pendidikan privat. Dua penelitian yang mendorong kesadaran mengenai kekerasan media adalah 1. Dale (1935) yang melakukan analisis isi 1500 film yang mengandung tekanan kuat terhadap kejahatan. 2. Blumer (1933) yang melakukan survey terhadap 2000 responden yang menunjukkan kesadaran mereka terhadap fakta bahwa mereka telah meniru secara langsung aksi kekerasan yang telah mereka tonton dalam film kekerasan. Buntut penelitian ini meningkatkan kesadaran publik terhadap kekerasan media. Perhatian ini diperburuk dengan hadirnya analisis Wertham (1954) mengenai isi komik yang tesisnya berbunyi ketidakseimbangan jumlah buku komik yang mengandung gambar-gambar kekerasan yang menakjubkan memberikan kontribusi terhadap kejahatan anak muda laki-laki, banyak dari mereka merupakan konsumen kelas berat dari gambar-gambar tersebut. Perhatian ilmuwan terhadap kekerasan media tidaklah berlarut-larut sampai 1950an ketika terdapat kemungkinan efek televisi publik menarik perhatian pemerintah yang melihat adanya pengaruh negatif pada anak dan kontribusi potensial terhadap kejahatan remaja. Perkembangan televisi di Amerika menimbulkan era baru kontroversi kekerasan media. Schramm, Lyle, dan Parker (1961) mendiskusikan sejumlah contoh peniruan kekerasan yang disebarkan oleh sumber berita pada tahun 1950an. Mereka menyatakan bahwa hubungan antara penggambaran kekerasan di tv dan peniruan kejahatan kekerasan bukanlah tidak sengaja. Perhatian pemerintah Amerika terhadap kekerasan media dimulai dari Senator Estes Kefauver yang mempertanyakan perlunya kekerasan pada tv melalui laporan 1972 dari 23 proyek riset yang berbeda yang didanai Institut Kesehatan Mental Nasional. Walaupun studi-studi tersebut gagal menghasilkan konsensus mengenai efek kekerasan media, mereka memberikan sinyal bahwa topik ini akan menjadi prioritas di masa datang. Seorang ahli, Gerbner mendefinisikan kekerasan sebagai ekspresi terang-terangan dari kekuatan fisik melawan diri sendiri atau orang lain, atau aksi pemaksaan melawan keinginan seseorang terhadap sakitnya disakiti atau dibunuh. Dari definisi tersebut ia menemukan bahwa prime-time tv mengandung delapan contoh kekerasan per jam, rata-rata yang mengindikasikan sedikit perubahan dari studi sebelumnya untuk Komisi Nasional. Dengan lazimnya kekerasan di tv, pintu bagi ahli untuk mempertanyakan dampak isipun terbuka. Pertanyaan apakah menonton kekerasan media mempengaruhi perilaku agresif memang menarik. Sudah begitu banyak ahli melakukan penelitian menganai hal tersebut dengan berbagai metode baik survey maupun eksperimen laboraturium. Kritik terhadap tesis kaitan perilaku agresif sebagai akibat tontonan adegan kekerasan di media salah satunya adalah alat ukur konstruksi tindakan agresif (misalnya memukuli boneka) dianggap tidak berkaitan dengan perilaku agresif manusia. Menurut Bandura, kekerasan media merupakan fasilitator perilaku agresif. Ahli lain, Huesmann menyatakan bahwa kebiasaan agresif diduga dipelajari pada tahap awal kehidupan, sekali ia hadir maka ia akan resisten dan sulit diubah. Bila seorang anak terbiasa menyaksikan tayangan kekerasan dan membntuk pola kebiasaan yang agresif maka menurut Huesmann kebiasaan menyaksikan televisi usia dini berkaitan dengan kriinalitas pada masa dewasa nanti. Kontroversi mengenai efek kekerasan media berkaitan dengan konsep kepentingan statistik, signifikansi statistik, dan kepentingan sosial. Setidaknya terdapat dua aspek yang meminimalkan besarnya efek kekerasan media dan kaitannya dengan perilaku agresif yaitu efek yang timbul sering ditinggalkan oleh pneliti dan kedua, studi yang bisa dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari sering tidak jelas. Selain itu, juga dipertanyakan karena tayangan media sangat banyak dan penonton pun banyak. Apakah bila seseorang berperilaku agresif setelah menonton satu tayangan berarti seluruh lapisan masyarakat yang juga menyaksikan acara tersebut juga memiliki masalah yang sama? Mekanisme teoritis Katarsis. Feshbach (1955) mengemukakan ide yang berpihak pada media yaitu prediksi bahwa tampilan kekerasan pada media akan menyalurkan kemarahan atau kefrustasian penonton untuk menyingkirkan perasaan tersebut, setelah menonton kekerasan media mereka akan mengurangi keinginan berlaku agresif. Ide dasarnya adalah dengan menonton kekerasan media akan memberi jalan bagi penonton melakukan tindakan agresif fantasi mengukung permusuhan dengan jalan pemuasan dan mengurangi perlunya membawa sikap agresif pada dunia nyata. Namun, hasil yang didapat adalah sebaliknya, studi terhadap murid asrama yang menonton kekerasan media (kartun woody woodpecker) menunjukkan hal sebaliknya, mereka berperilaku lebih agresif setelah menonton tontonan kekerasan. Pembelajaran Sosial Bandura (1965) mengemukakan teori bahwa karakter media yang menyajikan model untuk perilaku agresif mungkin dihadirkan oleh penonton, dan tergantung apakah perilaku dihargai atau tidak akan tidak mencegah atau mencegah imitasi perilaku berturut-turut. Studi Bandora menawarkan dukungan yang dapat dipertimbangkan bagi proses pembelajaran sosial. Pernyataan Bandura mengenai teori kognitif sosial menunjukkan bagaimana formulasi awal telah berkembang dan telah berdiri menjadi teori pokok untuk memahami efek kekerasan media. Priming. Berkowits memfokuskan perhatian pada kekerasan media dengan memperhatikan “petunjuk agresif” yang dimiliki dalam isi tipe ini. Menurutnya, petunjuk-petunjuk tersebut akan mengkombinasikan psikis dengan tingkat kemarahan dan frustasi penonton dan akan memicu agresi yang berikut. Jo dan Berkowitz menyempurnakan ide ini dengan menyatakan kekerasan media bisa membentuk pikiran mengenai perilaku agresif dan konsekuensinya membuat perilaku agresif yang nyata semakin disukai. Penelitian lain yang dipengaruhi teori ini adalah pernyataan Bargh yang menyatakan ide bahwa kekerasan tersebut tidaklah bernilai sesaat saja setelah media ditonton, tetapi memiliki efek jangka panjang. Arousal. Zillmann (1991) mengemukakan dugaan bahwa penyebab pemunculan sifat kekerasan media sangat penting untuk memahani intensitas reaksi emosional yang muncul seketika setelah menonton. Arousal juga bisa memperkuat emosi positif yang muncul setelah menonton. Desensitization. Satu jalan mengapa kekerasan media meningkatkan perilaku agresif adalah melalui ketidaksensitifan emosional. Pemunculan kekerasan media yang berulang kali akan menyebabkan kejenuhan psikologis atau penyesuaian emosional terhadap level ketegangan, kegelisahan, atau mengurangi rasa jijik atau lemah. Hal tersebut akan mengurangi kepentingan untuk merespon kekerasan dalam dunia nyata. Ketika sensitivitasan manusia terhadap kekerasan memudar, perilaku kekerasan meningkat karena sudah tidak terdeteksi lagi sebagai perilaku yang seharusnya dibatasi/tidak dilakukan. Cultivation and Fear. Berkaitan dengan kemungkinan menonton kekerasan dalam waktu yang lama akan menumbuhkan sudut pandang partikular mengenai kenyataan sosial dan menyebaban level yang tinggi terhadap ketakutan yang bisa terpatri selama berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Penelitian Mendatang Akhir-akhir ini, ilmuwan semakin tertarik meneliti dampak kekerasan video games terhadap perilaku agresif. Dill dan Dill mengungkapkan permainan tersebut memang meningkatkan agresivitas, sebuah penemuan yang sejalan dengan penemuan lain. Sparks dan Sparks juga mengungkap sedikit data yang menyimpulkan fakta bahwa program yang mengandung kekerasan media lebih disukai dari program yang tidak mengandung kekerasan. Zillmann dan Weaver mendemonstrasikan bahwa lai-laki dengan psikologis tinggi lebih mudah dipengaruhi kekerasan media. Akhirnya, setidaknya terdapat tiga asumsi dalam lingkaran akademik dan politik mengena efek kekerasan media (1) materi kekerasan lebih sering menghasilkan efek dan efek ini sifatnya cenderung negatif (2) kekerasan media lebih sering menghasilkan pemikiran dan perilaku kekerasan daripada pelukisan media lain (3)kekerasan media lebih layak mendapatkan perhatian peneliti dan tindakan sosial politik daripada penggambaran media lainnya. dari berbagai sumber*
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar