--> Skip to main content

TEORI JURNALISTIK TELEVISI

MASIHKAH RELEVAN? Oleh Indiwan Seto Wahju Wibowo Msi Televisi. Siapa yang tidak kenal medium terheboh decade ini. Tak ada satu acarapun yang tidak punya pengemar, semua punya penggemar-penggemar tersendiri. Acara-acara televisi dibuat semenarik mungkin dan mampu menghibur.
Tapi tahukah anda bahwa di balik pesonanya ada bahaya besar mengancam? Di balik gemulai pesonanya, pengaruh buruk televisi bisa menghancurkan para penontonnya? Sebagai bagian dari industri, stasiun televisi lebih menyandarkan diri pada kepentingan bisnis demi kelangsungan hidupnya. Bisa jadi mereka tak terlalu peduli apakah program itu berpengaruh buruk atau baik untuk keluarga Anda. Salah satu faktor yang menjadi perhatian pengelola stasiun televisi adalah bagaimana membuat program yang bisa menarik minat pengiklan. John Budd, Kepala Seksi Advokasi & Mobilisasi Sosial Unicef, mengatakan, televisi telah menjangkau sekitar 90 persen rumah tangga di Asia, termasuk Indonesia. Artinya, pengaruh televisi dalam kehidupan sehari-hari keluarga Indonesia tak bisa diremehkan. Dan ini bisa lebih ngeri lagi Sebab berdasarkan penelitian YKAI seperti dikemukakan B Guntarto, sekarang ini umummya anak sudah menghabiskan waktunya di depan televisi selama 35 jam seminggu atau sekitar lima jam sehari. Danacara yang sekarang jadi primadona adalah reality show dan entertainment yang amat menyedot perhatian dan kocek pemirsa lewat kuis SMSnya. Bisa dibilang acara dengan tema yang berat sekalipun, di televisi bisa tampil memukau lewat perpaduan suara dan gambar, Bahkan seolah sudah menjadi trend bahwa tak ada televisi tanpa entertainment……..tak ada televisi tanpa infotainment. Nilai-nilai kode etik jurnalistik seperti penghargaan terhadap kehidupan privacy, anti penyebaran fitnah dan kabar bohong dipandang sebelah mata oleh pengelola televisi. Bagi mereka berita selebritis adalah menarik dan laku dijual persetan bagaimana cara mereka mendapatkannya. Undang-undang penyiaran bagi sejumlah pengelola televisi ibarat undang-undang jadi-jadian atau mistik karena tidak pernah berhasil diterapkan bagi mereka. Ibaratnya biar Undang-Undang Penyiaran menggonggong Televisi siaran ( baca teve swasta) tetap berlalu. Bila dikaitkan dengan teori-teori komunikasi atau jurnalistik, acara news televisi memang cukup berpengaruh pada audiensnya dan ini perlu dicermati secara serius. Selain itu system rating yang ‘menjadi primadona sekaligus hantu’ efektif membuat media televisi sebagai bisnis yang paling mengiurkan.Sehingga demi mengejar rating, unsur pendidikan dan memberi ajaran yang baik bagi masyarakat terkadang terabaikan. Seberapa besar dampak televisi bagi kehidupan kita ilustrasi berikut mungkin penting untuk dicermati: “…..Ketika seorang ibu di Jakarta menulis surat pembaca tentang anak balitanya (berusia di bawah lima tahun) yang tiba-tiba gagap dan tidak lagi berbicara normal seperti biasa, ibu tersebut amat terkejut. Setelah diselidiki ternyata si anak mengikuti cara bicara Yoyo dalam sinetron Si Yoyo yang ditontonnya lewat layar kaca. Meski ada keluhan yang mengemuka, toh sinetron itu tetap ditayangkan seperti biasa. Bagi umumnya pengelola stasiun televisi, sepanjang program tersebut bisa mengundang pengiklan berarti tak ada masalah. Hal ini juga berlaku, misalnya, pada protes sebagian orangtua ketika stasiun televisi menayangkan acara anak-anak pada pagi hari. Acara itu menyerap perhatian si anak hingga mengganggu persiapan mereka pergi ke sekolah. Namun, ibarat pepatah anjing menggonggong kafilah berlalu, maka program itu pun tetap berjalan. Silakan para orangtua sibuk membujuk anaknya agar mengalihkan perhatiannya dari layar kaca….” Kompas.com) Sejumlah pengamat pun termasuk para psikolog mengkhawatirkan terjadinya ‘sekularisasi siaran televisi demi keuntungan komersial’. DARI pengamatan psikolog Elly Risman seperti dikemukakannya pada lokakarya "Mengkritisi Draf Standar Tayangan Anak dan Remaja" yang diadakan Unicef bekerja sama dengan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) beberapa waktu lalu, orangtua yang diharapkan bisa berfungsi sebagai "sensor" untuk anak-anaknya dalam menonton televisi, kerap kali justru berfungsi sebaliknya, menjadi "pendorong" bagi anaknya untuk menonton televisi. Dari penelitian kecil yang dilakukannya, Elly berkesimpulan, sebagian besar orangtua-terutama dari kalangan masyarakat kelas menengah dan bawah-justru menjadikan anak-anaknya sebagai pemirsa televisi setia. "Kalau ibunya bekerja, mereka akan berpesan pada anaknya untuk menonton sinetron anu. Setelah ibunya pulang, si anak menceritakan kisahnya agar si ibu tak ketinggalan cerita. Atau si ibu minta anaknya nonton AFI supaya ibunya tak ketinggalan berita siapa saja yang kena eliminasi," tuturnya. Padahal, berdasarkan penelitian YKAI seperti dikemukakan B Guntarto, sekarang ini umummya anak sudah menghabiskan waktunya di depan televisi selama 35 jam seminggu atau sekitar lima jam sehari. Sedangkan idealnya, anak menonton televisi tak lebih dari dua jam per hari. "Meskipun belakangan ini sebagian stasiun televisi sudah mencantumkan tanda bahwa program itu untuk orang dewasa, memerlukan bimbingan orangtua, atau memang acara yang dianggap pantas ditonton anak-anak, kenyataannya hanya sekitar 15 persen saja anak yang mengatakan selama menonton televisi didampingi oleh orangtuanya," Guntarto menambahkan. Artinya, masih banyak orangtua Indonesia yang tak sadar pada dampak televisi terhadap perkembangan anak-anak mereka, apalagi mengkritisi acara-acara yang ditayangkan dari pagi hingga malam hari. Padahal, televisi sekarang ini bisa dikatakan bukan lagi barang mewah. “…Sebuah penelitian tentang pengaruh televisi dan kemampuan otak anak yang dilakukan para ahli dari University of Washington, Seattle, Amerika Serikat, dan dimuat dalam jurnal Pediatrics menyebutkan, televisi telah mengubah cara berpikir anak. Anak-anak yang terlalu banyak menonton televisi biasanya akan tumbuh menjadi sosok yang sulit berkonsentrasi dan kurang perhatian pada lingkungan sekitar. Mereka hanya terpaku pada televisi. Penelitian yang melibatkan lebih dari 2.500 anak itu juga menyebutkan bahwa satu jam menonton televisi sehari pada anak-anak usia 0 sampai tiga tahun akibatnya baru tampak ketika mereka berusia sekitar tujuh tahun. Sebagian anak itu mengalami problem berkonsentrasi. Padahal di Jakarta, misalnya, tak jarang seorang ibu justru mendudukkan anak balitanya di depan televisi agar si anak mau makan, atau supaya anaknya asyik menonton televisi sementara si ibu mengerjakan pekerjaan lainnya. Mereka tak sadar bahwa tayangan televisi itu akan mempengaruhi perkembangan otak si anak. Pada usia balita perkembangan otak tumbuh pesat, dan ini dipengaruhi oleh stimulasi yang diterima si anak dari lingkungan sekitarnya. Agar tak menimbulkan masalah pada anak di kemudian hari, The American Academy of Pediatrics bahkan merekomendasikan agar orangtua tak membiarkan anaknya yang berusia di bawah dua tahun untuk menonton televisi. (Kompas.Com) Ini sebenarnya tantangan bagi pengelola televisi….mampukah mereka tidak mengabaikan fungsi mereka yang ideal…..memberi informasi, mendidik masyarakat dan menghibur tidak semata-mata mengejar keuntungan finansial lewat acara-acara yang tidak mendidik meski ratingnya tinggi. Ada sejumlah teori yang dilemparkan ilmuwan Komunikasi terkait dengan pengaruh media massa khususnya televisi. Teori yang pertama adalah Catharsis Effect yang dilontarkan Feshbach (1961). Teori ini berangkat dari ranah psikologi Freudian. Teori ini punya argumen penting yaitu bahwa : “….it asserts that the stresses of daily life build up such a degree of frustration in the individual that it may lead to aggression. …the viewing may in fact act as a deterrent to real life violence because watching violence on our screens relieves our feelings of frustrations….” Pokok terpenting dari teori ini adalah bahwa menonton televisi bukanlah penyebab seseorang melakukan tindakan kekerasan sebagaimana yang ditontonnya di layar kaca, tetapi justru dengan menonton kekerasan di televisi bisa mengurangi frustrasi dan Bad Feeling mereka. Teori yang lain adalah Stimulating effects theory yang diungkap Berkowitz (1962). Teori ini sangat berlawanan dengan teori kartasis, argumen pentingnya adalah bahwa dengan menonton televisi akan menstimulasi respons emosional dan psiklogis sehingga bisa dipastikan akan meningkatkan perilaku agresif para penontonnya. Meskipun begitu Berkowitz juga menyadari bahwa respon dari penonton ini amat tergantung pada perasaan individu yang mengalami frustasi sebelum dan sesudah menonton televisi. Teori berikutnya adalah Observational Learning effect. Yang diusung oleh Bandura dan Waters (1963). Mereka berargumen bahwa penonton akan mempelajari kekerasan dari televisi. “….people learn to be aggressive. People may model their aggressive behaviour on screened violence. Therefore television increases the likelihood of aggression and violence by showing situation that the viewer can imitate. The audience are more likely to imitate violent screen behaviour if they perceives that the behaviour is rewarded by others…” Jadi menurut teori ini, seorang penonton televisi akan meniru apa yang diperagakan –termasuk juga kekerasan dan agresivitas sebagaimana ditampilkan oleh aktor atau tooh yang mereka kagumi di televisi. Teori lain yang juga tak kalah peting adalah teori Reinforcement effect dan Cultivation Theory. Menurut aliran ini acara televisi sebenarnya tidak banyak mempengaruhi tetapi lebih pada bagaimana meneguhkan apa-apa saja yang sebenarnya sudah dimiliki atau sudah dihayati oleh pemirsa di dalam hatinya. Pengusung teori ini J.Klapper ( 1960) menyebut bahwa kekerasan tidak diciptakan oleh mediamassa, tetapi ini terjadi sebagai hasil dari interaksi yang kompleks dari nilai-nilai norma yang ada, situasi pertemanan ( peer situations), kehidupan keluarga dan peranan social si individu tersebut di tengah masyarakat. Sedangkan di sisi lain, Gerbner dan teman-temannya memperkenalkan teori yang disebutnya sebagai Cultivation Analysis (1980). Menurut Gerbner media televisi telah melakukan banyak distorsi pada informasi dan televisi “ Television portrays a distorted view of social reality. Violence is significantly over represented on screen and social groups such as blacks, women, gay and lesbians are noticeably under presented . As a result of this media representation, heavy viewers of television develop very distorted views of the outside world and as a result express more prejudiced attitudes towards some minority groups….”
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar