Tidak Ada Media Yang Netral
TAK ADA MEDIA YANG NETRAL
Adakah media massa di era Reformasi ini yang benar-benar netral ? Benar-benar menyuguhkan kebenaran di atas segala-galanya? Menyuguhkan fakta yang benar-benar murni dan bukan hasil rekayasa? Masih adakah media massa yang benar-benar peduli kepada nilai-nilai hakiki yang diperjuangkan oleh manusia dari jaman ke jaman, dari ke abad?
Pertanyaan-pertanyaan di atas memang teramat sulit untuk dijawab.
Dan kalaupun dijawab belum tentu memberi kepuasan yang berarti dan menyuguhkan semua kebenaran yang memang betul-betul ada. Beberapa waktu lalu harian Republika memuat sebuah berita besar di halaman pertama menyangkut GAM dan TNI. Judul yang diusung cukup ‘seram’ dan dinilai amat menyudutkan posisi TNI, karena ada kata-kata berbunyi : “TNI SIAPKAN LADANG PEMBANTAIAN BUAT GAM “. Kata-kata ladang pembantaian yang digunakan Republika membuat bulu kuduk kita berdiri, karena teringat kasus ‘the killing field’ di Vietnam saat pasukan merah membunuh ribuan orang yang dianggapnya anti revolusi dan lawan dari Khmer Merah yang komunis. Pertanyaan kita adalah, apakah tepat penggunaan istilah Ladang Pembantaian dalam konteks kasus Aceh? Apakah benar sudah terjadi pembunuhan terhadap ribuan warga Aceh yang tidak berdosa. Yang menjadi pertanyaan lagi, apakah dalam menumpas GAM yang jelas-jelas tidak mengakui kedaulatan Republik Indonesia dan ingin mendirikan Negara merdeka TNI harus memperdulikan HAM? Bagaimana hukum internasional terhadap penumpasan para teroris yang merongrong kedaulatan sebuah Negara yang berdaulat? Pertanyaan lainnya, sebenarnya bagaimana dan di mana posisi Republika di sini? Apakah dia berpihak kepada RI yang sah –yang jelas-jelas akan mempertahankan Aceh sebagai suatu bagian integral bagi Indonesia dan akan menumpas segala upaya pemberontakan dan makar—atau kepada Gerakan Aceh Merdeka yang memang ingin sekali melepaskan diri dari Republik Indonesia? Dari contoh di atas, ternyata sebuah teks berita bisa menjadi bahan kajian yang komprehensif tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Apakah dilihat dari sudut kepentingan masyarakat, kepentingan Negara atau kepentingan pihak lain yang turut bermain dalam pelontaran opini publik? Sebuah berita yang muncul di sebuah surat kabar seringkali diandaikan sebagai sesuatu kebenaran yang factual karena harus berdasarkan fakta , Padahal tidak semua berita itu memang benar-benar ‘netral’. Isi media banyak dipengaruhi oleh berbagai hal, diantaranya ‘ideologi’ si wartawan, pandangan politik organisasi media, kepentingan pemegang saham atau pemilik media dan system politik Negara. Sulit sekali menemukan sebuah teks berita benar-benar ‘netral’ dan tidak punya ‘bias’ atau kecenderungan berpihak pada kepentingan-kepentingan tertentu di luar teks. Bahkan kaum penganut aliran media kritis melihat bahwa adakalanya media massa merupakan cerminan dari kekuatan-kekuatan besar yang tengah bertarung, media sering dijadikan alat-alat bagi kekuasaan entah mayoritas atau minoritas untuk menciptakan public opini yang sesuai dengan kepentingan tertentu. Jadi?
Dan kalaupun dijawab belum tentu memberi kepuasan yang berarti dan menyuguhkan semua kebenaran yang memang betul-betul ada. Beberapa waktu lalu harian Republika memuat sebuah berita besar di halaman pertama menyangkut GAM dan TNI. Judul yang diusung cukup ‘seram’ dan dinilai amat menyudutkan posisi TNI, karena ada kata-kata berbunyi : “TNI SIAPKAN LADANG PEMBANTAIAN BUAT GAM “. Kata-kata ladang pembantaian yang digunakan Republika membuat bulu kuduk kita berdiri, karena teringat kasus ‘the killing field’ di Vietnam saat pasukan merah membunuh ribuan orang yang dianggapnya anti revolusi dan lawan dari Khmer Merah yang komunis. Pertanyaan kita adalah, apakah tepat penggunaan istilah Ladang Pembantaian dalam konteks kasus Aceh? Apakah benar sudah terjadi pembunuhan terhadap ribuan warga Aceh yang tidak berdosa. Yang menjadi pertanyaan lagi, apakah dalam menumpas GAM yang jelas-jelas tidak mengakui kedaulatan Republik Indonesia dan ingin mendirikan Negara merdeka TNI harus memperdulikan HAM? Bagaimana hukum internasional terhadap penumpasan para teroris yang merongrong kedaulatan sebuah Negara yang berdaulat? Pertanyaan lainnya, sebenarnya bagaimana dan di mana posisi Republika di sini? Apakah dia berpihak kepada RI yang sah –yang jelas-jelas akan mempertahankan Aceh sebagai suatu bagian integral bagi Indonesia dan akan menumpas segala upaya pemberontakan dan makar—atau kepada Gerakan Aceh Merdeka yang memang ingin sekali melepaskan diri dari Republik Indonesia? Dari contoh di atas, ternyata sebuah teks berita bisa menjadi bahan kajian yang komprehensif tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Apakah dilihat dari sudut kepentingan masyarakat, kepentingan Negara atau kepentingan pihak lain yang turut bermain dalam pelontaran opini publik? Sebuah berita yang muncul di sebuah surat kabar seringkali diandaikan sebagai sesuatu kebenaran yang factual karena harus berdasarkan fakta , Padahal tidak semua berita itu memang benar-benar ‘netral’. Isi media banyak dipengaruhi oleh berbagai hal, diantaranya ‘ideologi’ si wartawan, pandangan politik organisasi media, kepentingan pemegang saham atau pemilik media dan system politik Negara. Sulit sekali menemukan sebuah teks berita benar-benar ‘netral’ dan tidak punya ‘bias’ atau kecenderungan berpihak pada kepentingan-kepentingan tertentu di luar teks. Bahkan kaum penganut aliran media kritis melihat bahwa adakalanya media massa merupakan cerminan dari kekuatan-kekuatan besar yang tengah bertarung, media sering dijadikan alat-alat bagi kekuasaan entah mayoritas atau minoritas untuk menciptakan public opini yang sesuai dengan kepentingan tertentu. Jadi?