APA ITU JURNALISME DAMAI
Keprihatinan terhadap banyaknya konflik kekerasan seperti di Bosnia, Rwanda, Kosovo, dan beberapa bagian dunia lain, mendorong kalangan ilmuwan sosial melakukan workshop yang membahas jurnalisme anti kekerasan. Pada tanggal 25-29 Agustus 1997 di Tapllow Court, Buckinghamshire Inggris kalangan ahli membahas konsep Peace Journalism.
Lokakarya tersebut diikuti peserta dari kalangan wartawan, akademik yang berasal dari berbagai negara Asia, Afrika, Eropa, Australia dan Amerika. Diskusi yang menghadirkan ahli-ahli jurnalisme seperti Prof Johan Galtung, Prof Rune Ottosen, Prof Wilhem Kempt, wartawan Maggie O’Kane dan beberapa nama terkenal lain, telah memformulasikan konsep awal mengenai jurnalisme damai. Dua orang ilmuwan yang sekaligus mantan praktisi media, kemudian merangkum pemikiran workshop tersebut, dan mengembangkan konsepnya dalam tulisan-tulisan di situs internet (www.conflictandpeace.org) serta mengajarkannya dibeberapa universitas, dan berbagai pelatihan untuk para jurnalis di berbagai negara termasuk Indonesia. Mereka itu adalah Jake Lynch dan Anabel McGoldrick. Peace Journalism mendasarkan pada standard jurnalisme modern, yang berpegang pada obyektivitas berita, yang unsurnya terdiri atas imparsialitas, dan faktualitas. Kemudian dilengkapi dengan prinsip-prinsip yang bertujuan untuk menghindarkan konflik dengan kekerasan. Atau mencegah terjadinya kekerasan di dalam masyarakat. Makanya jurnalisme ini mengajarkan, wartawan jangan menjadi bagian dari pertikaian, melainkan harus menjadi bagian dari upaya solusi. Disini pers tetap mempunyai tanggung jawab moral terhadap kebenaran informasi. Pada alam demokrasi, kebenaran tidaklah bisa dilihat hany dari satu pihak. Tapi harus dikonfirmasikan menurut kebenaran pihak lain. Inilah yang kemudian dikenal dengan azas impartiality. Yakni dalam memberitakan suatu peristiwa kontroversi, harus didasarkan pada lebih dari satu perspektif. Atau dalam praktek sering disebut cover both side, pers menyajikan semua pihak yang terlibat, sehingga mempermudah pembaca menemukan kebenaran. Sebagaimana secara lebih lengkap dituturkan oleh McQuail; “information should be objective in the sense of being accurate, honest, sufficiantly complete, true to reality, realible, and separating fact from opinion. Informatinon should be balanced and fair (impartial)—reporting alternative perspectives in a non-sensational, unbiased wayy” (McQuail, Mass Communacation Theory (2000:148). Ppada saat media massa dihadapkan pada pertikaian dengan kekerasan, Jurnalisme Damai menyarankan tetap diungkapkan realitas itu, namun menerapkan prinsip-prinsip objektivitas berita. Menerapkan framing yang berorientasi pada pengungkapan formasi konflik, mengungkap akar masalah, dan menunjukkan konsekuensi negatif konflik tersebut. Di sini pers dituntut mampu mengungkap fakta secara lebih lengkap, menggambarkan atau melakukan maping, memetakan konflik untuk memunculkan solusi. Prinsip jurnalisme 5W + 1H, ditambah dengan unsur S, yaitu solusi. Artinya pers memberikan ruang yang cukup untuk pemikiran lain yang netral, yang rasional, dan kredibel, agar terjadi diskusi sosial untuk mencari solusi yang paling kecil resikonya. Jurnalisme Damai juga menampilkan berita dengan framing, konflik dengan kekerasan merupakan suatu problem kemanusiaan yang harus dihentikan dan dicegah, konflik dengan kekerasan hanya akan memunculkan jerugian, penderitaan kemanusiaan, trauma psikologis, hilangnya masa depan, rusaknya struktur sosial, moral dan budaya. Atau menunjukkan invisible effect of violence. Yang penyembuhannya membutuhkan waktu lama, dan sulit. Intinya media secara etis berkewajiban mencari empati pada audience-nya, bahwa kekerasan hanyalah membuahkan kesengsaraan. Karena itu suara-suara orang yang menginginkan perdamaian, ataupun korban-korban kekerasan yang sudah cukup banyak di negeri ini, yang biasanya wanita, orang tua dan anak-anak harus diberi tempat di dalam pemberitaan. Dengan demikian agenda media tidak hanya dipenuhi oleh statement elite yang bertikai, yang acapkali “memanaskan telinga” pihak lain. Tapi lebih banyak menampung suara pecinta perdamaian, atau jeritan korban pertikaian politik,, giving voice to the violence, memberikan kesempatan bersuara pada mereka yang tidak terdengar, agar teriakan segera diwujudkannya perdamaian dapat terlaksana. (sumber Hari Subiakto JURNALISME PERDAMAIAN, ADAKAH DALAM PEMBERITAAN SIDANG ISTIMEWA MPR? 2005)
Lokakarya tersebut diikuti peserta dari kalangan wartawan, akademik yang berasal dari berbagai negara Asia, Afrika, Eropa, Australia dan Amerika. Diskusi yang menghadirkan ahli-ahli jurnalisme seperti Prof Johan Galtung, Prof Rune Ottosen, Prof Wilhem Kempt, wartawan Maggie O’Kane dan beberapa nama terkenal lain, telah memformulasikan konsep awal mengenai jurnalisme damai. Dua orang ilmuwan yang sekaligus mantan praktisi media, kemudian merangkum pemikiran workshop tersebut, dan mengembangkan konsepnya dalam tulisan-tulisan di situs internet (www.conflictandpeace.org) serta mengajarkannya dibeberapa universitas, dan berbagai pelatihan untuk para jurnalis di berbagai negara termasuk Indonesia. Mereka itu adalah Jake Lynch dan Anabel McGoldrick. Peace Journalism mendasarkan pada standard jurnalisme modern, yang berpegang pada obyektivitas berita, yang unsurnya terdiri atas imparsialitas, dan faktualitas. Kemudian dilengkapi dengan prinsip-prinsip yang bertujuan untuk menghindarkan konflik dengan kekerasan. Atau mencegah terjadinya kekerasan di dalam masyarakat. Makanya jurnalisme ini mengajarkan, wartawan jangan menjadi bagian dari pertikaian, melainkan harus menjadi bagian dari upaya solusi. Disini pers tetap mempunyai tanggung jawab moral terhadap kebenaran informasi. Pada alam demokrasi, kebenaran tidaklah bisa dilihat hany dari satu pihak. Tapi harus dikonfirmasikan menurut kebenaran pihak lain. Inilah yang kemudian dikenal dengan azas impartiality. Yakni dalam memberitakan suatu peristiwa kontroversi, harus didasarkan pada lebih dari satu perspektif. Atau dalam praktek sering disebut cover both side, pers menyajikan semua pihak yang terlibat, sehingga mempermudah pembaca menemukan kebenaran. Sebagaimana secara lebih lengkap dituturkan oleh McQuail; “information should be objective in the sense of being accurate, honest, sufficiantly complete, true to reality, realible, and separating fact from opinion. Informatinon should be balanced and fair (impartial)—reporting alternative perspectives in a non-sensational, unbiased wayy” (McQuail, Mass Communacation Theory (2000:148). Ppada saat media massa dihadapkan pada pertikaian dengan kekerasan, Jurnalisme Damai menyarankan tetap diungkapkan realitas itu, namun menerapkan prinsip-prinsip objektivitas berita. Menerapkan framing yang berorientasi pada pengungkapan formasi konflik, mengungkap akar masalah, dan menunjukkan konsekuensi negatif konflik tersebut. Di sini pers dituntut mampu mengungkap fakta secara lebih lengkap, menggambarkan atau melakukan maping, memetakan konflik untuk memunculkan solusi. Prinsip jurnalisme 5W + 1H, ditambah dengan unsur S, yaitu solusi. Artinya pers memberikan ruang yang cukup untuk pemikiran lain yang netral, yang rasional, dan kredibel, agar terjadi diskusi sosial untuk mencari solusi yang paling kecil resikonya. Jurnalisme Damai juga menampilkan berita dengan framing, konflik dengan kekerasan merupakan suatu problem kemanusiaan yang harus dihentikan dan dicegah, konflik dengan kekerasan hanya akan memunculkan jerugian, penderitaan kemanusiaan, trauma psikologis, hilangnya masa depan, rusaknya struktur sosial, moral dan budaya. Atau menunjukkan invisible effect of violence. Yang penyembuhannya membutuhkan waktu lama, dan sulit. Intinya media secara etis berkewajiban mencari empati pada audience-nya, bahwa kekerasan hanyalah membuahkan kesengsaraan. Karena itu suara-suara orang yang menginginkan perdamaian, ataupun korban-korban kekerasan yang sudah cukup banyak di negeri ini, yang biasanya wanita, orang tua dan anak-anak harus diberi tempat di dalam pemberitaan. Dengan demikian agenda media tidak hanya dipenuhi oleh statement elite yang bertikai, yang acapkali “memanaskan telinga” pihak lain. Tapi lebih banyak menampung suara pecinta perdamaian, atau jeritan korban pertikaian politik,, giving voice to the violence, memberikan kesempatan bersuara pada mereka yang tidak terdengar, agar teriakan segera diwujudkannya perdamaian dapat terlaksana. (sumber Hari Subiakto JURNALISME PERDAMAIAN, ADAKAH DALAM PEMBERITAAN SIDANG ISTIMEWA MPR? 2005)