--> Skip to main content

WASPADAI MITOS-MITOS WARTAWAN

Sebuah asosiasi profesi merasa heran, karena acara jumpa pers yang diselenggarakan mereka hanya dihadiri oleh dua orang wartawan dari dua media massa, padahal dia sudah mengontak sejumlah media untuk meliput acara mereka, bahkan jauh hari sebelumnya. Mengapa tak banyak wartawan yang hadir ? Padahal, khan seharusnya wartawan itu adalah sebangsa makhluk yang harusnya siap sedia 24 jam ? Begitu juga, panitia sebuah seminar maha penting di Jakarta, teramat kecewa karena acara seminar mereka yang menampilkan sejumlah pembicara penting, hanya dimuat media cetak dalam satu buah kolom dengan panjang sekitar 10 cm saja.
Padahal, menurut mereka, sudah terlalu banyak informasi diberikan kepada wartawan dan panitia sudah memberi ‘uang amplop’ yang lumayan besar. Lain lagi dengan pengalaman panitia seminar yang sama di perguruan tinggi yang begitu ‘kewalahan’ menghadapi begitu banyaknya wartawan yang hadir pada acara yang menampilkan seorang Menteri, padahal mereka secara resmi hanya mengundang tiga orang wartawan. Panitia merasa kewalahan karena fasilitas tempat dan makalah yang disediakan sangat terbatas. Mengapa wartawan datang tapa diundang? Mengapa wartawan sering mengabaikan ‘aturan-aturan’ formal dalam proses pencarian berita? Mengapa wartawan datang tak diundang? Jawabannya cukup sederhana, meski agak sulit dijelaskan lewat kata-kata. Ini terkait dengan sejumlah mitos yang berada ‘di sekitar’ figure wartawan, bahkan tidak sedikit lembaga Public Relations yang justru belum memahami dengan benar apa itu ‘wartawan’. MITOS-MITOS ‘MENYESATKAN’ 1. Mitos Pertama Wartawan Bisa Diundang Kapan Saja? 2. Wartawan Selalu Memberitakan Hal-Hal Negatif 3. Wartawan Selalu Komersial 4. Wartawan Selalu Urakan 5. Wartawan Manusia Pintar 6. Wartawan Yang Membutuhkan Berita 7. Wartawan Manusia Kebal Hukum 8. Wartawan Sosok Yang Menakutkan 9. Wartawan Bisa Menulis Apa Saja 10. Wartawan Manusia “Sakti” Ad.1 Mitos pertama, melihat bahwa wartawan seolah tidak mengenal jam kerja yang pasti, karena itu ada yang menilai tak ada alasan buat wartawan untuk tidak hadir dalam sebuah acara. Mitos itu melihat bahwa profesi wartawan yang baik tidak mengenal waktu ‘liputan’. Artinya, jam berapa pun atau sedang apa pun, apabila mendengar sebuah informasi, seperti kebakaran, kereta api terguling, pesawat jatuh atau tragedy lainnya, seorang wartawan harus mengejar sumber berita tadi. Tetapi ini adalah mitos, yang tidak berlaku mutlak. Perlu diketahui bahwa watawan juga manusia biasa , sehingga di tengah-tengah kelelahannya seharian mengejar berita dan kemudian menuliskannya, rasanya sulit dan tidak mungkin untuk tiba-tiba harus datang pada sebuah acara jumpa pers apalagi materi yang dibahas amat sederhana. Karena itu, istilah ‘wartawan bisa diundang kapan saja’ jelas merupakan mitos belaka. Ad.2 Mitos kedua adalah anggapan bahwa wartawan selalu memberitakan hal-hal yang negative. Memang ada kecenderungan seperti itu, bahkan ada pemeo mengatakan bahwa wartawan melihat Bad News Is Good News. Kalau sesuatu itu Cuma biasa-biasa saja, maka jangan harap wartawan mau hadir pada acara kita. Tapi ini hanyalah sebuah mitos yang tidak selamanya benar. Selama kita mengerti bahwa ada yang lebih dibutuhkan oleh wartawan yakni ‘bahan berita’ yang punya ‘nilai berita’ sehingga layak diberitakan. Selama kita bisa menyajikan tampilan acara atau materi yang punya nilai berita, maka wartawan pun akan datang dan meliputnya. Ad.3. Mitos ketiga adalah bahwa semua wartawan itu komersil dan ‘gila amplop’. Mitos ini memang tidak bisa dipukul rata buat seluruh wartawan , karena masih banyak wartawan yang menolak dibayar atau bahkan akan tersinggung dan marah-marah justru kalau anda tawarkan amplop kepadanya. Ad 4. Wartawan selalu tampil urakan. Mitos ini perlu dikaji ulang, sebab dengan semakin makmurnya media massa, dan semakin tingi pendidikan wartawan maka penampilan mereka akan berbeda. Wartawan masa kini yang berpendidikan tinggi, sudah bisa membedakan pakaian mana yang cocok di lapangan dan mana pakaian untuk acara resmi. Jangan heran kalau di lingkungan tertentu, wartawan yang hadir umumnya berpakaian necis dan berdasi. Buka hanya itu, ada juga sejumlah penerbitan yang mengharuskan wartawannya berpakaian rapi dan berdasi. Ad 5. Wartawan Manusia Pintar. Mitos ini perlu kembali ditelaah. Sebab hingga kini belum ada penelitian resmi soal itu. Angapan ini tidak salah namun tidak benar jika wartawan hanya mengandalkan kepintarannya bisa dan selalu menjerumuskan sumber beritanya. Intelektual wartawan terasah karena setiap hari dia berhadapan dengan berbagai masalah dan bertemu dengan tokoh-tokoh masyarakat, pakar dan pejabat tinggi, bahkan hadir dalam forum seminar internasional. Namun, ini Cuma mitos. Mengingat, tidak semua wartawan memiliki intelektualitas seperti ini karena dari ribuan media cetak yang terbit di seluruh Indonesia masih banyak penerbitan –karena keterbatasannya- tidak atau belum mampu meningkatkan SDM wartawannya. Karena itu jangan heran kalau dalam sebuah jumpa pers, masih sering ditemui ada wartawan yang bertanya dengan pertanyaan yang teramat sederhana, bahkan terkesan tidak mengerti apa yang sedang dipresentasikan oleh pembawa acara atau panitia pengundang jumpa pers. Ad 6. Wartawan Yang Membutuhkan Berita. Ini memang mitos bahwa pers selalu membutuhkan informasi sehingga pers bakal selalu mau seandainya disuruh membayar atau membeli bahan informasi. Memang pers membutuhkan bahan untuk dibuat berita. Akan tetapi, apakah pihak penyelenggara kegiatan tidak membutuhkan publisitas? Adakalanya sebuah kegiatan dilakukan semata-mata demi kegiatan kehumasan atau publisitas sehingga peran pers sangat dibutuhkan. Ad.7. Wartawan Manusia Kebal Hukum. Wartawan sebagai sosok yang kebal hokum adalah hanya mitos. Dalam kenyataannya, wartawan sama seperti warga Negara lain yang tidak kebal hokum dan bisa dihukum bila memang melanggar peraturan. Dalam kenyataannya ada banyak wartawan yang berhadapan dengan pengadilan karena melanggar hokum seperti melakukan pencemaran nama baik . Karena itu bila kita menghadapi masalah dengan wartawan, misalnya diancam, diperas sebaiknya dilaporkan ke kantor media, PWI maupun ke pihak kepolisian. Ad.8. Wartawan Sosok Yang Menakutkan. Profesi wartawan sering dimitoskan sebagai sosok yang menakutkan, khususnya bagi mereka yang memiliki masalah di perusahaan atau lembaganya. Ini yang sering menyuburkan munculnya wartawan Tanpa Surat kabar atau wartawan gadungan untuk memeras. Seharusnya kita tidak usah takut. Dalam kesehariannya, justru kebanyakan wartawan memiliki sosok jauh dari kesan menakutkan. Mereka relative sopan santun, bahkan banyak wartawati yang justru lemah lembut. Ad.9 Wartawan Bisa Menulis Apa saja. Salah satu hal yang menyebabkan wartawan menjadi sosok menakutkan karena ada mitos bahwa wartawan bisa menulis apa saja. Padahal itu hanya mitos. Dalam kenyataannya, tidak mungkin semua bidang dikuasai oleh seorang wartawan. Lagipula tidak bisa wartawan seenaknya menulis berita tanpa mengindahkan kaedah-kaedah jurnalistik yang ada. Karena itu adalah mitos besar jika wartawan bisa menulis apa saja sekehendak hatinya karena teknik dan pola penulisan berita sudah ada aturannya, disamping wartawan itu harus menaati kode etik jurnalistik Wartawan Indonesia. Ad. 10. Wartawan manusia Sakti Mitos lain dari wartawan Indonesia adalah bahwa wartawan itu manusia ‘sakti’ yang bisa mengurus apa saja dan mampu menembus apa saja termasuk birokrasi yang rumit. Wartawan dianggap bisa jalan melenggang masuk ke stadion sepakbola atau panggung seni musik sementara orang lain harus berdesak-desakan berebut tiket. Sebetulnya wartawan itu tidak sakti. Tatkala ia mengurus pembuatan SIM atau STNK dia juga harus melengkapi persyaratan yang diminta. Jadi tidak benar bahwa wartawan tidak perlu melengkapi aturan-aturan yang berlaku. Ihwal kemampuan wartawan menembus rumitnya birokrasi disebabkan karena wartawan memiliki pergaulan yang amat luas. Seorang Menteri bisa mengobrol dengan waratwan sambil menikmati makanan ringan dalam sebuah acara, tapi belum tentu bisa dilakukan oleh bawahannya yang telah bertahun-tahun bekerja di sana. Namun seorang wartawan pun harus mau menunggu berjam-jam tatkala dia akan menemui pimpinan BUMN atau Gubernur DKI untuk sebuah wawancara khusus yang beberapa hari sebelumnya sudah membuat perjanjian dengan sekretarisnya.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar